Ketika Kaum Intelektual Menjadi Budak Kekuasaan

Oleh Ahmad Sastra, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, tinggal di Bogor.

SECARA historis, pertumbuhan intelektualitas terjadi sejak adanya manusia itu sendiri. Sebab karakter utama manusia adalah berakal yang maknanya memiliki potensi berfikir, berbeda dengan makhluk berjenis binatang yang hanya diberikan naluri. Intelektualitas adalah anugerah Allah kepada manusia. Dari intelektualitas inilah lahirnya berbagai peradaban di seluruh penjuru dunia dari masa ke masa.

Membungkam intelektualitas adalah bentuk kejahatan sekaligus kebodohan. Membungkam intelektualitas suatu bangsa berarti bangsa tersebut tengah mengizinkan kehancuran dan kemusnahan. Kekuasaan anti intelektualitas adalah kekuasaan diktator yang justru sedang membunuh dirinya sendiri. Kekuasaan anti argument adalah kekuasaan terburuk sepanjang sejarah peradaban.

Peradaban Islam patut menjadi contoh bagi peradaban manapun di dunia. Peradaban Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah telah bertahan lebih dari 13 abad menandakan bahwa peradaban ini sangat menjujung tinggi ilmu dan intelektualitas. Lahirnya para ilmuwan muslim yang sangat dikenal di dunia adalah fakta sejarah. 

Peradaban agung Islam adalah peradaban ilmu dan adab akan bisa bertahan lama. Sebaliknya, yang dilandasi oleh nafsu dan kepentingan duniawi tak pernah bertahan lama, ia akan segera tumbang oleh kecongkakannya sendiri. Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini harus banyak belajar dari peradaban Islam.

Peradaban fir’aunisme yang tumbang karena kecongkakannya juga ditopang oleh para budak-budak intelektual yang hanya menjadi stempel dan legitimasi apologetik kezoliman raja fir’aun. Budak-budak intelektual kepada kekuasaan diktator fir’aun lebih bahaya dari penjahat dan lebih hina dari seorang pelacur atau lonte sekalipun.

Karena bisikan para intelektual bermental budak, fir’aun begitu membenci dan memusuhi Musa yang seorang utusan Allah. Nabi Musa di mata Fir’aun adalah penjahat dan pemberontak  yang layak dimusuhi dan dimusnahkan. Pada awalnya, fir’aun begitu merendahkan Musa, selanjutnya memberikan ancaman, setelah gagal, maka fir’aun lantas mengadu domba rakyat agar memusuhi Musa.

Kaum intelektual idealnya berdiri tegak dan jauh dari kekuasaan, jika pada akhirnya hanya menjadi budak. Kaum intelektual yang bergabung dengan kekuasaan mestinya menjadi energi positif bagi lahirkan kekuasaan yang baik serta peradaban mulia. Kampus-kampus mestinya menjadi mimbar akal sehat yang mampu memberikan pencerahan atas perjalanan suatu bangsa.

Adalah kekelapan peradaban bagi bangsa jika kampus berubah menjadi penjara bagi argumentasi. Lebih ironis lagi jika kampus ikut menjadi budak kekuasaan sehingga bangsa tersebut tak lagi punya daya pikir. Kampus sesungguhnya adalah satu-satunya ruang bagi tumbuh kembang intelektual, jika telah membudak pada kekuasaan, maka akan lahir dari bangsa tersebut bangsa yang dungu dan terbelakang.

Ketika intelektualitas membudak kepada kekuasaan, maka itu pertanda kegelapan masa depan bangsa tersebut. Kegelapan kekuasaan fir’aun dan namrud mestinya cukup menjadi pelajaran bagi suatu bangsa. Padahal kekuasaan hanyalah sesaat yang pada waktunya akan runtuh dan berganti.

Peradaban demokrasi sekuler kapitalisme seperti Amerika pada akhirnya runtuh berkeping. Peradaban komunisme ateis seperti Uni Soviet juga tidak lama bertahan. Sementara peradaban Islam telah terbukti bertahan lama, sebab integrasi wahyu dan intelektualitas menjadi energinya.

Psikologi keterjajahan bangsa ini memang telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para intelektual dengan gagasan dan pemikirannya.

Tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut  Imam Syafi’i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah.

Nah. Bagaimana mau mengeluarkan negeri ini dari hegemoni neokolonialisme jika kaun intelektual justru tengah terjerembab pada kubangan pragmatisme kekuasaan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum intelektual bermental budak kekuasaan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum intelektual yang berubah jadi bunglon, beda saat masih di luar, berbeda lagi saat berkuasa.

Benarlah apa yang diungkapkan oleh George Washinton, presiden pertama Amerika bahwa jika ingin melihat manusia berubah, maka beri dia kekuasaan. Artinya kaum intelektual yang dekat dengan kekuasaan bisa jadi berubah jadi jahat dan bodoh, meskipun bisa jadi juga akan berubah menjadi lebih baik.

Kesadaran mendalam untuk terus memberikan  arah dan pencerahan bagi seluruh bangsa ini merupakan amanah abadi yang harus terus dipikul oleh kaum intelektual, terlebih intelektual muslim. Dengan manhaj Islam yang agung ini, insyaallah bangsa ini akan bermartabat. Sebab bermartabat bukan hanya soal kemajuan dan kedaulatan, namun juga soal kemuliaan.

Saatnya menjadi intelektual yang berdiri lurus memberikan pencerahan saat bangsa ini redup dan meluruskan saat bangsa ini bengkok. Saatnya menghidupkan kembali radisi ilmu, argumentasi dan akal sehat di kampus-kampus. Jangan pernah mau menjadi budak kekuasaan yang tiba-tiba jadi dungu. Sebab perbudakan adalah kematian bagi sebuah bangsa.

Nah disinilah letak peran strategis kaum intelektual agar tetap berdiri kokoh memerikan pencerahan dan peringatan bagi perjalanan sebuah bangsa dan peradabannya. Pantang seorang intelektual melacurkan diri kepada kekuasaan. Ingat diutusnya Rasulullah adalah sebagai pemberi kabar gembira sekaligus pemberi peringatan.

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS Al Baqarah : 119) (*)

479

Related Post