Kisruh Pemberangkatan Haji 2021, Rakyat Makin Tidak Percaya pada Pemerintah
PEMERINTAH melalui Menteri Agama Yaqult Cholil Qoumas mengumumkan tidak memberangkatkan jemaah haji untuk tahun 2021. Pertimbangannya, karena adanya pandemi Covid-19, dan pemerintah Kerajaan Arab Saudi belum memberi akses bagi jemaah haji Indonesia.
Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, Indonesia tidak mendapat kuota haji.
Kalau toh akhirnya Indonesia diberi kuota, persiapan secara teknis tidak mungkin dilaksanakan.
Pengumuman Menag itu memunculkan sejumlah kontroversi. Situs resmi Kemenag menyebut keputusan pembatalan itu karena alasan pertimbangan pandemi.
Ada kesan, pemerintah mencoba berlindung dan menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada pandemi. Selain itu, dengan menyatakan, pertimbangannya pandemi, maka pemerintah sangat melindungi keselamatan rakyatnya. Gagah benar.
Jika kita amati dinamika yang muncul sebelum akhirnya pemerintah memutuskan “membatalkan” pelaksanaan haji tahun 2021, ada beberapa hal yang penting kita catat. Pertama, buruknya penanganan pandemi di Indonesia. Sementara Indonesia tercatat sebagai negara paling banyak mendapatkan kuota hajinya. Ini tentu saja mengkhawatirkan pemerintah Arab Saudi. Masuknya jemaah haji dari Indonesia dikhawatirkan akan membawa gelombang Covid-19.
Kedua, Indonesia menggunakan vaksin Sinovac. Padahal, vaksin tersebut belum mendapat sertifikasi dari lembaga kesehatan dunia WHO. Dampaknya bukan hanya haji, tapi jemaah umroh kita juga dilarang masuk Arab Saudi.
Ketiga, lemahnya diplomasi dan lobi kita dengan Kerajaan Arab Saudi. Sisi ini sudah lama menjadi catatan dari DPR RI. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia setiap tahun paling banyak mengirimkan jemaah haji dan umroh ke Arab Saudi. Artinya, Indonesia adalah negara terbesar menyumbangkan devisanya ke Arab Saudi. Dengan posisi seperti itu, seharusnya Indonesia mendapat berbagai keistimewaan.
Faktanya tidak demikian. Fasilitas pemondokan, maktab dan tenda-tenda di Arafah, dan terutama di Mina, kalah bagus dan kalah strategis dibandingkan negara tetangga Malaysia. Kuota Malaysia pada tahun 2019 hanya 31.000. Sementara jemaah haji Indonesia sebanyak 221.000.
Indonesia juga gagal melobi pemerintah Arab Saudi untuk mengubah bahasa yang digunakan sebagai petunjuk, dari bahasa Melayu, menjadi bahasa Indonesia. Sejauh ini, jika kita mengikuti pemberitaan media, kiprah yang menonjol dari Dubes RI di Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel hanya memata-matai dan mempersulit Habib Rizieq Shihab selama mukim di Mekah.
Pemerintahan Jokowi tampaknya tidak melihat lobi dengan Kerajaan Arab Saudi, dan pos Dubes sebagai prioritas penting. Hal itu setidaknya bisa kita lihat, pemerintah baru saja menunjuk Zuhairi Misrawi sebagai calon Dubes baru di Arab Saudi.
Selain tidak punya jam terbang dalam diplomasi internasional, caleg gagal dari PDIP itu juga anti umroh dan haji. Dia menyebutnya sebagai kegiatan ibadah yang mahal dan hanya memperkaya Arab Saudi.
Keempat, masih berkaitan dengan buruknya diplomasi kita, tercermin dari surat Duta Besar (Dubes) Arab Saudi di Jakarta kepada Ketua DPR Puan Maharani. Dalam surat tersebut Dubes Arab Saudi Essam Bin Ahmed Abid Althaqafi mempersoalkan pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dan Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily.
Kepada media, kedua pimpinan DPR itu pernah mengungkapkan, Indonesia tidak mendapat kuota haji. Menurut Essam, pernyataan tersebut tidak benar dan tidak bersumber dari pemerintah Arab Saudi. Sebab, sampai sekarang pemerintah Arab Saudi belum memberikan instruksi apapun berkaitan dengan pelaksanaan haji.
Essam meminta agar semua yang berkaitan dengan pelaksanaan haji dikomunikasikan terlebih dahulu dengan pihaknya. Agar mendapat informasi yang benar dan dapat dipercaya. Surat itu, selain merupakan “teguran” kepada Dasco dan Ace, secara tidak langsung merupakan protes ke Menag yang mengambil keputusan, tanpa konsultasi dengan Kedubes Arab Saudi.
Kelima, respon negatif masyarakat, khususnya ummat Islam, berkaitan dengan kinerja Kementerian Agama dan pengelolaan dana haji, menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap pemerintah. Beberapa catatan tadi menunjukkan betapa buruknya pengelolaan haji Indonesia, sehingga rakyat semakin tidak percaya kepada pemerintah, khususnya Kemenag. **