Koalisi Masyarakat Resmi Gugat Perpu No.1/2020 ke MK

By Marwan Batubara

Jakarta FNN – Jum’at (17/04). Selasa, 14 April 2020, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK) telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan pengujian ke MK terhadap ketentuan sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Permohonan itu telah resmi diterima petugas yang bekerja di kantor MK pada Rabu, 15 April 2020.

Puluhan pemohon Judicial Review (JR) atas Perppu No.1/2020 berasal dari berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Mereka antara lain Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Prof. Dr. M. Amien Rais, Dr. Marwan Batubara, Drs. M.Hatta Taliwang , KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr. MS Ka’ban, Dr. Ahmad Redi, Dr. Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Rosalina Berlian, dan sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Adapun para Advokat dan Konsultan Hukum yang berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 13 April 2020 akan bertindak untuk dan atas nama para pemohon. Antara lain Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH., Dr. Dewi Anggraini, dan lain-lain.

Para advokat telah bekerja dengan sangat intens, sehingga dokumen JR atas Perppu No.1 Tahun 2020 telah disampaikan kepada MK dalam waktu yang tidak lama. Dokumen gugatan telah diterima secara resmi oleh Panitra MK pada Selasa tanggal 14 April 2020.

Sebagai salah satu pemohon, Prof. Din Syamsuddin mengatakan lahirnya Perppu No.1/2020 di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, dimana justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil. Ada hal substansial dalam Perppu No.1/2020 yang melanggar amanat kosntitusi, sehingga sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu Prof. Sri-Edi Swasoso menyampaikan dalam lima tahun terakhir, pemerintah sebenarnya gagal mengelola ekonomi nasional dan mencapai target-target yang dijanjikan. Sebeleum datangnya pandemi corona, bukan saja nilai tukar dollar terhadap rupiah turun jauh di bawah target Rp 10.000 yang dijanjikan, namun malah menjadi sekitar Rp 15.000.

Selain itu, jumlah utang meningkat tajam, sebesar Rp 2.600 triliun atau 40%. Target pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7% pun tidak pernah tercapai. Lantas, melalui Perppu No.1/2020 ini, pemerintahan Jokowi bukan saja ingin menutupi kegagalan tersebut, tetapi bermaksud menjalankan agenda kekuasaan dan rekayasa ekonomi tanpa kendali dengan melebarkan defisit di atas 3%.

Menurut Prof. M. Amien Rais, pemerintah mengakui prilaku moral hazard akan menjadi perhatian dalam menjalankan Perppu No.1/2020. Tetapi yang tertulis dalam Pasal 27 justru hal sebaliknya. Dimana disebutkan uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara. Kebijakan keuangan yang dikeluarkan, juga bukan merupakan objek gugatan di PTUN.

Amien Rais mengingatkan, sesuai Pasal 1 UUD 1945, NKRI adalah negara hokum. Kedudukan Perppu itu kedudukan urutan hukumnya berada di bawah konstitusi. Perppu No.1/2020 tidak bisa menihilkan UUD 19145. Moral hazard akan dapat dicegah jika prinsip moral dalam Pancasila dan amanat penegakan hukum dalam UUD 1945 konsisten dijalankan.

Dr Ahmad Redi mengatakan Perppu No.1/2020 harusnya hanya fokus pada upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari ancaman pendemi Covid-19. Tidak ada kegentingan memaksa selain kepentingan pencegahan dan penanganan Covid-19 dalam perppu.

Ikhwal ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam Perppu ini merupakan penumpang gelap yang tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa sesuai perintah Pasal 22 UUD 1945. Menjadi modus post pactum yang sangat potensial menjadi komodifikasi abuse of power oleh penguasa.

Sedangkan Prof. Syaiful Bahri sebagai kuasa hukum para pemohon menjelaskan, keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Di luar penanganan Covid-19 secara prosesdur.

Ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, sama sekali tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa. Perppu tersebut menjadikan eksekutif dalam arti sempit akan berjalan tanpa kontrol atau melampaui kewenangan yang diamanatkan konstitusi dan UU. Perppu No.1/2020 memangkas tiga kewenangan dari tiga lembaga negara sekaligus. Ia memaparkan Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting DPR.

Dr Ibnu Sina Chandranegara menambahkan, permohonan pengujian ini dimaksudkan untuk menguji konstitusionalitas produk hukum dalam merespon keadaan darurat yang ternyata memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari UU yang ada, seperti Pasal 28 Perppu No.1/2020. Selain itu, menguji norma-norma yang dikesampingkan dalam 12 undang-undang menjadi penting mengingat konsistensi penerapan konstitusionalisme Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945.

Menurut Dr. Ahmad Yani, seluruh norma yang diatur dalam Perppu No.1/2020 terlihat mengada-ada. Dapat dijadikan jalan untuk membenarkan segala tindakan dan kebijakan yang melawan hokum. Juga sekaligus melucuti kewenangan lembaga-lembaga negara seperti DPR, BPK dan Peradilan.

DPR, BPK dan Peradilan itu mendapat mandat langsung dari konstitusi UUD 1945. Dengan alas an darurat Covid-19, mau merusak dan mengacak-acak sistem ketatanegaraan yang ada. Sudah baku 75 tahun. Norma yang diatur dalam Perppu tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi dan menabrak banyak ketentuan yang khusus dalam undang-undang yang lain.

Sebagai salah satu koordinator pemohon, Marwan Batubara meminta agar MK dapat mengadili perkara JR Perppu No.1/2020 dengan jujur, independen, sportif, amanah, bertanggungjawab, terhormat, punya rasa malu, mandiri dan bermartabat. Diharapkan menghasilkan keputusan yang objektif dan adil bagi negara dan seruluh rakyat Indonesia.

Sedangkan Hatta Taliwang meyakini, dengan terselenggaranya sidang-sidang di MK untuk mengadili perkara JR ini kelak, rakyat memperoleh pengetahuan dan pencerdasan tentang berbagai hal dan motif busuk dan persekongkolan korporasi besar dengan penguasa dibalik terbitnya Perppu No.1/2020.

Penulis adalah Koordinator Pemohon JR ke MK Atas Perppu No. 1 Tahun 2020

681

Related Post