Koalisi Teuku Umar Bikin Merinding Trio Ubur-ubur Wiranto, SBY & Paloh

By Luqman Ibrahim Soemay

(Bagian Pertama)

Jakarta, FNN - Kerja politik Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan berbuah manis dan indah. Kalau ibarat barang dagangan, kerja Budi Gunawan ini bisa dibilang meraih sukses besar atau untung besar. Wajar bila ada yang memperkirakan kesepakatan itu sudah mencapai 90%. Megawati dan Jokowi bakal berkoalisi dengan Prabowo.

Jadilah koalisi nasionalis sejati antara Megawati, Jokowi, dan Prabowo. Koalisi ini pasti bakal membuat banyak pihak yang blingsatan. Mereka seperti mimpi di siang bolong. Penolakan paling keras pasti datang dari mereka, khususnya elit politik yang selama ini manjadikan Prabowo sebagai musuh abadi. Bahkan mungkin sampai di dalam kubur sekalipun mereka tetap saja memusuhi Prabowo.

Penyebabnya hanya karena Prabowo terlalu banyak tahu tentang sepak terjang mereka selama masih aktif menjadi tentara. Mereka umumnya menunggangi dan menjadikan jabatan untuk kepentingan pribadi. Namun berlaga seperti orang yang paling berpihak kepada kepentingan rakyat. Selain Prabowo, Megawati adalah orang paling tahu tentang kepalsuan dan kebusukan mereka selama ini.

Kubu pertama yang paling resisten dengan lahirnya koalisi Mega Jokowi Prabowo adalah “Trio Wekwek”. Personilnya adalah AM. Hendropriyono, Luhut Binsar Pandjaitan dan Gories Mere. Sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa Trio Wekwek ini salah satu hobinya adalah membenturkan pemerintah Jokowi dengan kelompok Islam kanan.

Pendukung Prabowo, hampir dua pertiga adalah kelompok Islam kanan. Trio Wekwek berhasil memframming wajah Islam Indonesia yang identik dengan Islam teroris, Islam ekstrim, Islam radikal dan Islam intoleran. Trio Wekwek banyak mendapatkan manfaat dari memframming wajah Islam seperti ini.

Kelompok elit politik lain yang sangat terpukul dengan lahirnya koalisi Teuku Umar ini adalah Trio Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Surya Paloh. Saya namakan mereka bertiga dengan sebutan “Trio Ubur-ubur”. Berbeda dengan Trio Wekwek dalam bekerja di lapangan. Trio Wekwek sering bekerja secara tim.

Meskipun mempunyai musuh bersama, yaitu Prabowo, namun Trio Ubur-ubur ini tidak bekerja secara tim. Personil Trio Ubur-ubur cenderung bekerja sendiri-sendiri dalam menjegal atau menghadapi Prabowo. Mereka lebih nyaman bekerja menghalangi Prabowo dengan menggunakan tim-tim kecilnya sendiri, daripada bersama-sama.

Syahwat kekuasaan yang paling menonjol dari Trio Ubur-ubur ini adalah memperjuangkan kepentingan pribadi mereka dan anak-anaknya saja. Trio Ubur-ubur jarang sekali berjuang untuk kepentingan kelompok atau teman-teman dekatnya.

Boleh dibilang tidak terlintas sedikitpun di benak Trio Ubur-ubur untuk memikirkan kepentingan dan keselamatan bangsa. Laga-laganya seperti hidupnya hanya untuk bangsa dan negara. Sebaliknya, Trio Ubur-ubur selalu berusaha dengan segala cara menunggangi bangsa dan negara untuk kepentingan pribadi mereka.

Wiranto misalnya, kalo meminjam sinyalemen mantan Kasum TNI Letjen TNI (Purn.) J. Suryo Prabowo menjadi spesialis penjilat kekuasaan. Wiranto mulai menjilat kekuasaan sejak eranya Presiden Soeharto. Setelah itu dilajutkan dengan menjilat B.J. Habibie.

Saat Gus Dur menjabat presiden, Wiranto menjilat Gus Dur untuk menjadi Menkopolhukam. Namun dipecat oleh Gus Dur di tengah jalan. Bahkan Gus Dur memecat Wiranto dari dalam pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari Amerika menuju Jakarta. Sekarang giliran Wiranto kembali menjilat Jokowi untuk masuk dalam pusat kekuasaan.

Saat menjabat sebagai Panglima TNI dan Menhankam, Presiden Habibie pernah melamar Wiranto untuk menjadi wakil presiden di Pemilu 1999, jika pertanggung jawaban presiden mandataris MPR diterima Sidang Umum MPR. Namun ketika itu Wiranto menolak ajakan Habibie. Padahal sejatinya ajakan Habibie kepada Wiranto adalah perintah dari seorang Presiden/Penglima Tertinggi Angkatan Bersenjata—sekarang TNI.

Alasan Wiranto menolak permintaan Habibie adalah memilih berada di tengah-tengah semua kelompok politik dan masyarakat. Wiranto mengatakan, “dalam kondisi seperti sekarang ini, tempat yang terbaik bagi saya adalah berada dan berdiri di tengah-tengah semua kelompok masyarakat”.

Sayangnya diam-diam Wiranto punya rencana lain. Dengan bermodalkan Fraksi ABRI, Fraksi Utusan Daerah dan Fraksi Golkar di MPR, Wiranto berharap dirinya yang dicalonkan sebagai presiden oleh MPR. Wiranto ketika itu berharap pertangung jawaban Presiden Habibie sebagai Presiden Mandataris ditolak oleh MPR. Dengan demikian Habibie tidak lagi maju sebagai calon presiden periode 1999-2004.

Hasil Sidang Umum MPR memang menolak pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Mandataris. Akibatnya Habibie juga batal untuk mencalonkan diri lagi sebagai Presiden. Namun bukannya Wiranto yang dicalonkan oleh fraksi-fraksi di MPR, tatapi Gus Dur dan Mewagati dicalonkan dan dipilih MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1999-2004.

Keputusan menolak perintah Habibie sebagai Presiden/Panglima Tertinggi TNI bukanlah yang pertama kali bagi Wiranto. Pada tahun 1998, Wiranto juga menolak perintah Presiden Soeharto untuk melakukan langkah-langkah pemulihan keamanan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 16 tahun 1998.

Jawaban Wiranto kepada Presiden Soeharto ketika itu adalah “Saya tidak bisa melaksanakan Inpres ini Pak”. Dijawab lagi oleh Soeharto kepada Wiranto “Dasar kamu memang jenderal banci. Saya sudah tahu kamu tidak mampu melaksanakan Inpres ini”.

Mengomentari sikap Wiranto menolak Inpres Nomor 16 Tahun 1998 tersebut, seorang pensiunan Jenderal TNI mengatakan, “Waktu itu Panglima ABRI-nya bukan Wiranto, tetapi Wiranti. Pastilah tidak punya nyali dan keberanian. Kalau saya yang dikasih kewenangan Inpres tersebut, pasti sudah saya sapu besih itu gedung DPR, “ujar sang pensiunan.

Menolak perintah Presiden/Penglima Tertinggi Militer adalah tindakan insubordinasi bagi seorang prajurit TNI. Perbuatan Wiranto ini, termasuk katagori pelanggaran paling berat di militer, karena dapat membahayakan kepentingan negara. Hukumannya juga dipilih hukuman yang paling memberatkan. Beberapa negara tertentu menerapkan sanksi hukuman mati atau penjara seumur hidup untuk pelanggaran seperti ini.

Untuk masuk dalam kekuasaan, Wiranto tidak peduli siapa presiden yang sedang berkuasa. Wiranto akan melakukan segala cara, daya, dan upaya untuk menjilat presiden yang berkuasa. Targetnya diterima masuk dalam kekuasaan. Wiranto juga sepertinya tidak bisa survive di tengah-tengah masyarakat tanpa manyandang label bagian dari kekuasaan.

Wiranto bukan saja lihai dan jago dalam menjilat penguasa. Untuk mewujudkan ambisinya, mantan ajudan Soeharto ini bisa juga menjadi raja tega. Wiranto bisa dengan sadar rela mengorbankan teman-teman dekatnya demi memuluskan ambisi masuk dalam kekuasaan.

Lihat saja, berapa banyak teman-teman lamanya ketika masih aktif di TNI bisa bertahan berada di samping Wiranto sekarang? Kalaupun masih ada, ya bisa dihitung dengan jari. Paling-paling hanya satu dua orang yang bisa bertahan mengikutinya. Yang masih bertahan ikut Wiranto tinggal Jendral TNI (Purn.) Fahrul Rozy, Jendral TNI (Purn.) Subagyo HS dan Marsekal Madya TNI (Purn.) Daryatmo.

Selain itu, jenderal-jenderal loyalis Wiranto pada kabur meninggalkan Wiranto. Sebut saja Letjen TNI (Purn.) Suadi Marasabessy, Komjen Polisi (Purn.) Nugroho Djajusman, Letjen TNI (Purn.) Sarwan Hamid, Letjen TNI (Purn.) Agus Wijoyo, Letjen TNI (Purn.) Djamari Chaniago, Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman dan Letjen TNI (Purn.) Sudi Silalahi.

Lihat kelakuan Wiranto untuk bisa masuk menjadi Menkopolhukam. Dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dua kadernya dari Partai Hanura yang sedang menjabat menteri. Mereka adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yudi Chrisnandi dan Menteri Perindustrian Saleh Husein. Hanya orang gila kekuasaan yang rela korbankan kadernya demi ambisi pribadinya. Dan manusia langka itu hanya Wiranto

Wiranto juga dengan sangat sadar rela mengorbankan Partai Hanura yang didirikannya lima belas tahun lalu. Saat itu Jokowi mempunyai kebijakan, para menteri tidak boleh merangkap Ketua Umum Parpol. Wiranto lalu menyerahkan Partai Hanura bulat-bulat ke Oesman Sapta Odang (OSO) yang bukan kader Hanura. Kabarnya OSO bisa menjadi Ketua Umum Hanura dengan sejumlah cerita miring adanya angka-angka keberuntungan yang menyertainya.

Hasil Pemilu Legislatif 2019 cukup jelas dan nyata bagi Wiranto. Partai Hanura terjun bebas dari gedung DPR Senayan. Hanura tidak lolos ambang batas Parliamentary Threshold di DPR, yang dipatok minimal empat persen.

Akibatnya, untuk pertama sejak kelahirnya, Partai Hanura tidak lagi mempunyai kursi di perlemen senayan. Wiranto memang sukses menggusur Partai Hanura keluar dari DPR demi memenuhi syahwat dan ambisi pribadinya.

Selain tidak bisa eksis tanpa menjilat penguasa, Wiranto juga tak bisa hidup tanpa embel-embel jabatan “ketua”. Mau “ketua” apa saja tidaklah penting. Yang terpenting nama dari jabatan tersebut adalah “ketua”. Jabatan “ketua” itu menjadi penting karena akan dijadikan Wiranto sebagai bargaining positioning dan pintu masuk menjilat kekuasaan.

Seorang teman sambil bergurau mengatakan, Wiranto itu kalau malaikat pencabut nyawa “Malaikat Izrail” mau menjemputnya, Wiranto masih sempat-sempatnya bertanya dulu, “Sabar malaikat. Kalau di akherat sana, saya bisa punya jabatan sebagai ketua apa?"

Terakhir Wiranto juga masih sempat bertanya kepada Malaikat Izrail, “Nanti saya bisa diterima ngga menjadi bagian dari penguasa di sana? Jabatan apa saja oke okelah, yang penting bisa masuk ke dalam kekuasaan. Syukur syukur bisa jadi Menkopolhukam lagi”. (bersambung ke SBY & Paloh).

30447

Related Post