Kualifikasi Artifisial PT Nol Persen
Oleh Radhar Tribaskoro, Presidium KAMI
Di dalam demokrasi, setiap orang berhak dipilih dan memilih. Penjelasannya sederhana, bila rakyat berdaulat maka rakyat berhak terlibat dalam mengelola negara. Keterlibatan itu dituangkan dalam hak memilih dan dipilih.
Pada dasarnya hak itu bersifat universal, namun pembatasan boleh diberikan untuk menjamin bahwa hak dipergunakan secara efektif dan bertanggungjawab.
Pembatasan atas hak memilih telah dilakukan dengan banyak alasan. Di awal demokrasi hak memilih hanya diberikan kepada orang bermilik (orang yang punya kekayaan), orang biasa (seperti tukang sado, buruh tani, petani kecil, dsb) tidak punya hak itu. Di Amerika Serikat, diperlukan hampir 250 tahun agar perempuan boleh ikut mencoblos. Namun sekarang, hak memilih di Amerika Serikat, dan seluruh dunia, sudah bersifat universal bagi mereka yang dianggap telah dewasa (di atas 17 tahun di Indonesia, di atas 18 tahun di Amerika). Hak memilih memiliki trend yang semakin lama semakin meluas.
Trend tersebut perlu juga dimaknai bahwa dengan semakin moderen dan maju suatu bangsa, semakin mudah pula bagi warganegara untuk terlibat dalam pengelolaan negara. Ini sebuah prinsip empiris.
Prinsip di atas mestinya berlaku juga untuk hak dipilih. Kita tidak menyangkal bahwa seorang pejabat memikul tanggung-jawab yang besar. Wajar bila pejabat yang dipilih memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Kemampuan itu terbaca dari track record kandidat. Soekarno misalnya, dipilih menjadi presiden karena semua orang mengakui tidak ada orang lain yang lebih berjasa dari dia dalam proses memerdekakan Indonesia dari kolonialisme. Soeharto tujuh kali dipilih menjadi presiden karena ia dianggap berjasa menyingkirkan PKI dan menggalakkan pembangunan. Kita juga bisa menerima Gus Dur menjadi presiden karena ia adalah pemimpin oposisi terkuat terhadap rejim Orde Baru.
Tetapi bagaimana bila presiden dipilih secara langsung? Di dalam pemilihan langsung keputusan akhir berada di tangan pemilih. Pemilih pada umumnya sudah pasti sulit menilai kualifikasi seorang kandidat. Padahal kualifikasi itu sangat penting, sebab jabatan presiden tersedia hanya untuk satu orang.
Kualifikasi calon presiden?
Menurut hemat saya seorang calon presiden setidaknya harus memenuhi kualifikasi kepemimpinan, ideologis dan profesional. Semua kualifikasi itu dapat diuji oleh partai politik. Oleh karena itu saya tidak bermasalah bila calon presiden diusulkan oleh partai politik, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 ayat 6A butir 2.
Kedudukan partai politik dalam hal ini mirip dengan kedudukan underwriter di bursa efek. Partai politik melakukan seleksi ketat capresnya dan berusaha keras "menjual" capres itu untuk dipilih rakyat.
Kualifikasi Artifisial Presidential Threshold
Di bursa efek, suatu perusahaan underwriter dapat bersindikasi dengan underwriter lain untuk kesuksesan pemasaran sahamnya. Namun, sindikasi itu tidak boleh menjadi syarat atau kewajiban bagi emiten. Sindikasi seperti itu akan merusak prinsip fairness yang membentuk permintaan dan penawaran di pasar saham. Di dalam teknis ekonomi sindikasi yang dipaksakan itu akan menyebabkan munculnya sifat-sifat monopolistik di lantai bursa.
Presidential threshold mirip dengan sindikasi underwriter di bursa efek. Presidential threshold merupakan kualifikasi artifisial dalam bursa pemilihan presiden. Disebut artifisial karena kualifikasi itu tidak memiliki fungsi yang meningkatkan kualitas pemilu maupun calon terpilih. Efeknya justru sebaliknya. Presidential threshold menyebabkan jumlah capres menyusut dan sifat monopolistik yang melekat di dalamnya menyebabkan kualitas capres yang ditawarkan juga menurun.
Lebih dari itu, presidential threshold membuat hak warganegara untuk menjadi calon presiden menyusut. Dengan presidential threshold 20%, secara teoretis, paling banyak menghasilkan 4 pasang capres. Dalam kondisi paling ekstrim koalisi pemerintahan yang menggabungkan 82% kekuatan partai politik di DPR dapat menciptakan satu pasang calon berhadapan dengan 'kotak kosong'.
Kondisi di atas bertentangan dengan prinsip empirik "Semakin moderen suatu bangsa, hak memilih dan dipilih mestinya semakin meluas."
Mahkamah Konstitusi seharusnya mencegah terjatuhnya sistem pemilu Indonesia ke dalam bursa monopolistik oligarki. Karena kalau tidak, demokrasi akan punah. Indonesia akan dipimpin oleh penguasa yang tidak mencintai rakyat, namun bersetia kepada oligarki yang memenangkan dirinya. (*)