Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!
by Mochamad Toha
Surabaya, FNN - Nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko hari-hari ini viral di berbagai media. Pasalnya, mantan Panglima TNI era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini “terendus” berniat akan “mengkudeta” Ketum Partai Demokrat Agus Harimurty Yudhoyono.
Semula, nama Moeldoko masih remang-remang sebagai salah satu tokoh di luar Demokrat yang berkolaborasi dengan “orang dalam” partai besutan SBY itu. Adalah Kepala Bappilu Demokrat Andi Arief menyebut, orang yang dimaksud adalah Moeldoko.
Gerakan dan manuver politik oleh segelintir kader dan mantan kader yang akan mengkudeta Demokrat sampai ke telinga AHY. Disebutkan, ada lima orang yang menggalang kudeta itu. Mereka berasal dari internal dan eksternal partai, dilakukan secara sistematis.
AHY menyebut, mereka terdiri dari 1 kader Demokrat aktif, 1 kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, 1 mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum akibat korupsi, dan 1 mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun yang lalu.
Sementara satu lagi adalah non kader partai yang kini menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ialah Moeldoko. “Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di Demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko,” ujar Andi Arief.
Pernyataan tersebut selaras dengan apa yang disampaikan Wasekjen DPP Demokrat Jansen Sitindaon, orang itu adalah pejabat militer yang pernah dibesarkan oleh Presiden SBY yang mengangkat Moeldoko sebagai Panglima TNI.
Sementara itu mengenai kader Demokrat aktif yang turut menggalang kudeta, kabar yang beredar mengerucut pada nama Johny Alen Marbun, Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat itu memang pernah berbeda pandangan dengan DPP saat Pilpres 2019 lalu.
Sedangkan untuk nama kader yang disebut tidak aktif lagi sejak 6 tahun lalu, kabarnya adalah Marzuki Alie. Mantan Ketua DPR RI dari Demokrat ini sudah menghilang sejak 6 tahun lalu, tepatnya saat gagal lolos ke Senayan pada Pileg 2014.
Pada 2015, nama Marzuki Alie sudah tidak ada lagi bercokol di pengurus Demokrat. Adapun nama kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena kasus korupsi ini diduga adalah Muhammad Nazaruddin.
Nama Nazaruddin memang sudah tak asing bagi dunia politik di negeri ini. Pada 9 tahun lalu dia ditangkap di Bogota, Kolombia setelah menjadi buron dalam kasus Wisma Atlet. Sedang nama mantan kader yang sudah keluar sejak 4 tahun lalu diduga adalah Max Sopacua.
Nama Max Sopacua memang kerap muncul ketika ada gaduh mengenai internal Demokrat. Max Sopacua beberapa kali juga mendengungkan untuk dilakukan Kongres Luar Biasa di tubuh Partai Demokrat.
Namun, belum ada kabar resmi siapa 4 orang di luar nama Moeldoko yang dimaksud AHY sedang menjadi “dalang kudeta” itu.
Demokrat Melawan
“Kita ikuti saja terus perkembangan situasi eksternal, sambil perkuat konsolidasi internal kita. Perkuat terus narasi dan persepsi bahwa kita secara internal memang solid dan kompak, dan siap Lawan siapapun yang mau merusak soliditas dan kekompakan itu,” tegas AHY.
Karena saat ini mereka tengah berupaya membangun narasi (termasuk melalui media) bahwa di tubuh PD ada gerakan besar yang ingin kudeta. Padahal, lanjut AHY, ya pelakunya hanya segelintir orang (dan orangnya ya itu-itu saja).
“Bedanya kini ada Aktor Eksternal yang sudah sangat kebelet ingin jadi Presiden. Karena perlu “kendaraan” untuk nyapres nanti, makanya dia ingin rebut Demokrat secara paksa dan dengan cara-cara yang inkonstitusiona l, keluar jauh dari nilai-nilai moral dan etika,” ujarnya.
Para pelaku gerakan juga seenaknya beranggapan bahwa Demokrat for Sale. Lantang katakan kalau Demokrat is Not for Sale!
“Yang jelas, mereka tidak menyangka kalau kita akan berani se-frontal dan setegas itu untuk menguak kebenaran dan menuntut keadilan. Tunjukkan terus sikap seperti ini kepada Rakyat kita,” tegas AHY.
“Mengapa kita harus berani? Karena kalau takut kita akan diinjak-injak. Dan kalau kita takut, lalu siapa lagi yang akan berani berdiri tegak membela kebenaran dan keadilan tadi? Kalau Demokrat merasa lemah dan tak berdaya, apalagi rakyat kita?”
“Dan, mari kita ingatkan diri kita, bahwa kita hanya boleh takut kepada Tuhan, dan Rakyat; karena Suara Rakyat, Suara Tuhan. Mereka bisa saja ngeles ke kiri dan ke kanan; mencoba escape dari situasi sebenarnya,” ungkap AHY.
Mereka juga mencoba menunjukkan sikap “santai”, menyederhanakan permasalahan. Bahkan mereka coba membuat persepsi kalau Demokrat “Cari Perhatian”, “Baper”, “Playing Victim”, “Halusinasi” atau sedang bermain “Drama”.
“Tegaskan bahwa kita bukan Pemain Drama, kita adalah Politisi yang Kesatria. Bukan seperti Mereka. Jangan ragu, apalagi kita sudah kumpulkan berbagai bukti, yang pasti akan membuat mereka sulit untuk tidur nyenyak,” tegas AHY.
Jadi, lanjutkan perjuangan para pengurus DPP! Lanjutkan untuk membangun opini sekaligus kontra-opini melalui media mainstream maupun media sosial. Lawan segala bentuk Fitnah dan Hoax yang merusak citra partai kita, termasuk yang dilakukan oleh para Buzzer.
“Akhirnya, marilah kita ambil hikmah dari ini semua. Justru jadikan ujian yang sedang kita hadapi bersama ini sebagai momentum yang baik untuk merapatkan barisan dan menguatkan Otot Politik kita,” pinta AHY.
Dalam organisasi apapun (apalagi Partai Politik), secara internal sangat wajar kalau ada perbedaan pandangan atau sikap di antara kita terkait berbagai hal. Menurut saya, perbedaan (dalam takaran tertentu) justru Sehat bagi sebuah organisasi.
Namun, yang mungkin tidak mereka sadari adalah: semua perbedaan itu akan segera kita tinggalkan ketika ada ancaman Musuh Bersama dari luar.
“Kini, tanpa kita minta dan tanpa kita sangka, Musuh Bersama itu telah hadir mengusik dan mengancam soliditas, kedaulatan dan kehormatan Partai kita. Oleh karena itu, marilah kita fokuskan pikiran, energi, dan daya kita untuk Hadapi Musuh Bersama kita hari ini!”
Sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tidak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis".
Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil dulu sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena dipikir Demokrat sudah lemah betul di bawah kendali AHY.
Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa RI1 dan RI2 pilihannya.
Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya.
Ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik!
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.