Pelihara Oligarki Pejabat Kaya Raya, Rakyat Kere
Oleh La Nyalla Mattalitti - Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI
Para pendiri bangsa telah menyusun redaksi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat cermat. Sebab Pasal tersebut, dalam naskah asli UUD 1945, ditulis dalam Bab Kesejahteraan Sosial.
Artinya sangat jelas, bahwa orientasi perekonomian bangsa ini mutlak dan wajib mensejahterakan rakyat. Apalagi salah satu cita cita nasional bangsa ini adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu tertulis dengan sangat jelas pada Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3), bahwa norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara. Karena sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.
Konsepsi ini sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam.
Dalam Islam, komoditas kepemilikan publik atau Public Good ini meliputi air, ladang atau hutan milik negara, serta api, yaitu energi baik mineral, batubara, panas bumi, angin, maupun minyak dan gas. Semua itu harus dikuasai Negara.
Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi Commercial Good. Seperti tertulis dalam Hadit Riwayat Ahmad, yang artinya; “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya.”
Jadi, jelas bahwa air, hutan, dan api atau energi itu merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh di komersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi.
Contoh konkrit dalam perspektif di atas adalah bagaimana Sahabat Usman bin Affan berusaha membeli sumur air milik seorang Yahudi di Madinah saat itu, yang kemudian setelah dibeli, dia gratiskan airnya untuk seluruh penduduk Madinah. Sehingga sampai hari ini sumur itu dikenal dengan nama sumur Usman.
Karena memang komoditas publik itu harus dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pertanyaannya, bukankah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam mineral? Dimana di dalamnya terdapat emas, perak, timah, tembaga, nikel, bauksit, pasir besi dan lain-lain. Bukankah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam batubara? Bukankah belasan juta hektar hutan di Indonesia telah berubah menjadi perkebunan sawit?
Tapi mengapa Lembaga Internasional OXFAM yang meneliti tentang ketimpangan sosial dan gap kekayaan menyatakan bahwa harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia.
Dan OXFAM juga mencatat, sejak Amandemen Konstitusi tahun 2002 silam, jumlah milyoner di Indonesia telah meningkat 20 kali lipat. Tapi kenapa ratusan juta penduduk Indonesia tetap kere?
Pasti ada yang salah dengan sistem atau metode yang dipilih oleh bangsa ini dalam mengelola kakayaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa ini.
Indonesia itu punya dua pilihan dalam sistem ekonomi. Pertama, sistem ekonomi untuk memperkaya negara dan rakyatnya. Atau, kedua, sistem ekonomi untuk memperkaya oligarki pengusaha yang juga penguasa. Kedua opsi ini tinggal dipilih oleh bangsa Indonesia.
Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden. Tetapi setelah itu, semua kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka.
Pilihan kedua itulah yang terjadi di Indonesia, terutama sejak Amandemen Konstitusi 2002 yang menghasilkan sistem Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Sehingga lahirlah bandar-bandar atau cukong pemberi biaya Pilpres dan Pilkada.
Akibatnya, sumber daya alam negara ini kita berikan kepada mereka dengan skema hak Kelola Tambang dan hak Konsesi Lahan. Negara hanya mendapat uang Royalti dan Bea Pajak Ekspor ketika mereka menjual mineral dan hasil bumi kita ke luar negeri.
Menurut catatan Saudara Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, disebutkan bahwa hasil produksi Batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi 2.299 triliun rupiah. Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas.
Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai 950 triliun rupiah, maka jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa gratiskan biaya Pendidikan dan memberi gaji Guru Hononer yang layak. Mungkin masih ada sisa dana untuk gratiskan minyak goreng untuk masyarakat kurang mampu.
Itu baru dari dua komoditi, Batubara dan Sawit. Bagaimana yang lain. Coba kita lihat datanya.
Masih menurut catatan Salamudin Daeng, Indonesia merupakan produsen Tembaga ke-9 terbesar di dunia. Urutan pertama produsen Nikel terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen Bauksit di dunia. Urutan ke-2 produksi Timah di dunia. Urutan ke-6 produksi Emas di dunia. Urutan ke-16 produksi Perak di dunia. Urutan ke-11 produksi Gas Alam di dunia. Urutan ke-4 produsen Batubara di dunia. Urutan pertama dan terbesar di dunia untuk produksi CPO Sawit. Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia. Urutan ke-2 produsen kayu di dunia, dan lain sebagainya.
Dan Indonesia masih memiliki cadangan besar yang meliputi Gas Alam, Batubara, Tembaga, Emas, Timah, Bauksit, Nikel, Timber, dan Minyak, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang besar.
Tapi coba kita lihat berapa Dana yang masuk ke Negara dari Royalti dan Bea Ekspor dari Sektor Mineral dan Batubara. Dari tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, Dana yang masuk dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor Minerba, setiap tahunnya tidak pernah mencapai 50 Triliun Rupiah. Kecuali di tahun 2021 kemarin, dimana harga Batubara dan sejumlah komoditi Mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus 75 Triliun Rupiah.
Itu adalah angka yang disumbang dari sumber daya alam Mineral dan Batubara. Artinya sudah termasuk Emas, Perak, Nikel, Tembaga dan lain-lain. Padahal hasil produksi Batubara nasional saja mencapai 2.299 triliun rupiah.
Jadi kembali kepada kita. Mau memilih sistem ekonomi yang memperkaya negara atau memperkaya oligarki. Tinggal kita putuskan. Tidak ada yang tidak bisa. Kedaulatan negara adalah mutlak dalam mengatur dan mengelola suatu negara yang merdeka.
Karena kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi negara untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, selama tidak melanggar kedaulatan negara lain.
Dan karena itu, dalam hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek, yaitu; yang pertama, kedaulatan yang bersifat eksternal, yaitu hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan dengan negara lain atau kelompok lain, tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
Yang kedua, kedaulatan yang bersifat internal, yaitu hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga, cara kerja dan hak membuat aturan dalam menjalankan.
Yang ketiga, kedaulatan teritorial, yang berarti kekuasaan penuh yang dimiliki negara atas individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah itu. Baik yang ada di darat, laut maupun udara.
Jadi sekarang tergantung dari leadership kita. Apakah pemimpin kita mau ‘memelihara’ dan ‘dipelihara’ oleh Oligarki, sehingga tinggal duduk manis dapat saham dan setoran. Atau memikirkan saat dia dilantik dan membaca sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Allah.
Jika memilih duduk manis dan terima setoran serta punya saham untuk anak cucu dan cicit, ya kita akan terus menerus berada dalam situasi seperti hari ini. APBN defisit. Kemudian ditutupi dengan Utang Luar Negeri. Lalu rakyat disuap dengan BLT-BLT untuk sekian puluh juta rakyat dan seterusnya. Meskipun tidak ada satu pihak pun yang bisa mengecek angka itu di lapangan.
Oleh karena itu, kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi. Bahwa Sistem Ekonomi Pancasila, yang disusun sebagai usaha bersama untuk kemakmuran rakyat, yang sudah kita tinggalkan itu, mutlak dan wajib untuk kita kembalikan. Tanpa itu, negeri ini hanya akan dikuasai oleh Oligarki yang rakus menumpuk kekayaan, dan rakyat akan tetap kere. (*)