Layaknya Peran Antagonis Menghabisi Anies Baswedan
Oleh Ady Amar | Kolumnis
SEBENARNYA menipu diri sendiri itu pekerjaan hina. Pastilah itu pekerjaan tanpa nalar zonder hati. Anehnya banyak yang merasa bangga dan bahagia, setidaknya tampak pura-pura bahagia, bisa menipu diri sendiri. Ketawa-ketiwi bisa menyampaikan pandangan dari hasil proses menipu diri sendiri.
Kelompok influencer, bisa buzzerRp atau politisi busuk, seperti sudah terlatih melihat hasil kerja Anies Baswedan dengan mata dan hati dibuat buta. Nyaris buta sempurna. Tidak merasa malu mengatakan hal tidak sebenarnya. Misal dengan yakin menampakkan, maaf mengambil istilah Bung Rocky Gerung, "dungu", bahkan dungu kelewat tanpa batas. Itu saat mengatakan dengan yakin mempertanyakan, coba tunjukkan apa yang dihasilkan Anies Baswedan selama 5 tahun ini.
Manusia model menipu diri sendiri ini beramai-ramai hadir menghiasi pemberitaan, utamanya di media sosial. Ingin meyakinkan publik, bahwa Anies selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, tidak bekerja apa-apa. Tidak menghasilkan apa-apa. Karenanya, tidak ada karya yang dihasilkan. Setelah mampu diri sendiri ditipu, sekarang publik coba ikut ditipunya. Jika belum berhasil, tidak mengapa, setidaknya jagat pemberitaan dipenuhi dengan berita menafikan Anies Baswedan.
Setidaknya itu yang belakangan--makin semarak menjelang berakhirnya masa jabatan Anies sebagai gubernur--seperti koor antara para buzzerRp dan beberapa politisi DPRD DKI Jakarta. Orangnya ya itu-itu saja. Layaknya peran antagonis menghabisi Anies Baswedan. Publik justru melihat Anies sebaliknya.
Prasetyo Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, tampak terang telanjang menghajar Anies dengan sadisnya. Seperti punya kepuasan tersendiri. Makin mendekati masa bakti Anies di Jakarta berakhir, makin menjadi-jadi lagaknya menghajar Anies sekenanya. Lupa bahwa jabatan yang disandangnya pun cuma sesaat, dan tidak tahu akan berakhir seperti apa. Semua kebijakan Pemprov DKI dimasalahkan.
Penggantian nama Rumah Sakit--khusus RSUD milik pemprov--menjadi Rumah Sehat dimasalahkan yang tidak seharusnya. Padahal penggantian nama itu punya filosofi yang baik. Tidak semua yang ada di sana, itu orang sakit. Dan yang sakit tentu ingin disembuhkan di tempat seharusnya, yaitu di Rumah Sehat.
Pun beberapa nama jalan yang diganti Anies dan Pemprov DKI dengan nama tokoh Betawi, yang memang punya jasa pada bidangnya masing-masing, itu terus dimasalahkan. Bahkan katanya, setelah Anies tidak menjabat maka ia meminta nama-nama jalan tadi dikembalikan pada nama semula. Pikiran Prasetyo ini pastilah pikiran offside hasil kendali nafsu.
Prasetyo yang dari Fraksi PDIP, ini memang salah satu yang hobi mencari kesalahan Anies. Tidak didapat lalu yang disasar hal-hal tidak seharusnya, itu justru memperlihatkan kualitasnya. Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), semacam _thing tank_ gubernur. Itu pun disebutnya membuat kacau pembangunan di Jakarta. Karenanya, setelah jabatan Anies selesai ia minta TGUPP dibubarkan. Permintaan mengada-ada.
Sepertinya ketua DPRD DKI Jakarta ini tidak tahu atau lupa, bahwa TGUPP itu ada sejak era Gubernur DKI Jakarta dijabat Joko Widodo, lalu dilanjut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Bukan Anies yang mengawali. Lagian TGUPP itu akan berakhir saat jabatan gubernur berakhir. Jadi tidak perlu dibubarkan akan bubar dengan sendirinya. Prasetyo Edi Marsudi tampak cuma asal ngomong, tanpa tahu persoalan. Meski itu hal sederhana.
Anies seperti biasanya tidak merespons hal-hal demikian. Anies terus gas pol menuntaskan apa yang sekiranya bisa dikerjakan untuk kesejahteraan warganya. Paripurna DPRD DKI Jakarta tanggal 13 September dibuat menjadi sesuatu yang menghebohkan. Seolah Anies diberhentikan pada tanggal itu. Padahal itu hal biasa yang memang semestinya. Dan terang-terangkan dinyatakan bahwa sejak paripurna itu Anies diminta untuk tidak buat kebijakan. Padahal masa bakti Anies berakhir 16 Oktober.
Permintaan yang dibuat mengada-ada. Seperti tidak senang kalau Anies buat happy warganya. Jadi wakil rakyat tapi justru menjegal kebijakan kebaikan yang akan dihadirkan eksekutif (gubernur). Anies, lagi-lagi seperti biasanya, tidak mempersoalkan riak-riak yang muncul disekitarnya, permintaan yang tak berdasar undang-undang atau peraturan yang berlaku.
Sepertinya Anies akan diganggu sampai atau bahkan pasca16 Oktober dengan segala cara yang dimungkinkan. Semua ditujukan untuk membuat stigma Anies bukanlah pemimpin baik. Mencoba menjegal Anies agar 2024 tak nyapres. Tapi aneh elektabilitas Anies tak beringsut tapi justru menaik, maka entah muslihat apalagi yang akan dimainkan. Sepertinya peran antagonis tak henti akan terus dihadirkan, tentu dengan motif menjegal Anies Baswedan. (*)