Masa Depan Suram, Ganjar Makin Ambyar
Ganjar Pranowo dicitrakan sebagai sosok calon presiden yang mampu menggantikan Presiden Jokowi. Namun ia tak sadar punya masa lalu yang membelitnya. Impian Ganjar bisa ambyar.
Oleh Fikri Dwi Nugroho | Jurnalis Yunior FNN
MENJELANG tahun politik 2024, sejumlah partai politik (parpol) mulai bermanuver menyiapkan kandidat presiden dan wakil presiden, hingga melakukan kunjungan kepada Parpol lain untuk membentuk koalisi yang kuat.
Adapun, tiga kandidat yang memiliki elektabilitas besar dari berbagai lembaga survei adalah Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo, Gubenur Jawa Tengah. Dari ketiga nama tersebut yang digadang-gadang oleh presiden Joko Widodo adalah Ganjar Pranowo. Meski tidak dikatakan secara eksplisit, namun dari perkataannya dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Projo di Balai Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022), "jangan tergesa-gesa, meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini." Hal itu menunjuk pada Ganjar yang juga berada di sana.
Telah banyak dukungan yang diberikan oleh masyarakat dari berbagai daerah kepada kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut. Namun, meski memiliki elektabilitas yang tinggi dari berbagai survei, hal itu tidak lantas menjadikannya mendapatkan dukungan dari partainya. Melihat manuver yang dilakukan oleh Jokowi dan Ganjar itu pun membuat Ketum PDI-P, Megawati Soekarnoputri membuka suara. Megawati mewanti-wanti kepada kader partai untuk tidak bermanuver dalam ajang Pemilihan Presiden 2024. Hal itu karena dirinya memiliki hak prerogatif sebagai Ketum partai untuk menentukan bakal calon presiden.
Mendengar hal itu, Ganjar hanya bisa pasrah dan mengikuti aturan main partai. Walaupun pada kenyataannya, dirinya masih digadang-gadang oleh berbagai pihak untuk dicalonkan, oleh partai Nasional Demokrat atau NasDem misalnya.
Namun, meski memiliki elektabilitas yang tinggi dan mendapatkan restu dari Jokowi, apakah Ganjar benar-benar layak untuk menjadi presiden Indonesia?
Memanglah benar bahwa privilese presiden begitu tinggi dalam memberikan restu. Akan tetapi, hal itu tidak akan ada artinya mengingat Ganjar pernah terseret dalam kasus kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP).
Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan tidak menemukan bukti bahwa Ganjar Pranowo terlibat dalam kasus tersebut. Demikian Ganjar pun mengatakan ditawarkan, tetapi dia tolak. Namun, hal itu sangat bertentangan dengan kesaksian dari M. Nazaruddin dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (20/11/2017). Dalam kesaksiannya, Nazaruddin mengatakan bahwa Ganjar menerima sejumlah uang senilai 500 ribu Dollar AS, setelah menolak tawaran sebesar 150 ribu Dollar AS.
Tak hanya itu, dalam kepemimpinannya pun, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) menjadi provinsi termiskin di pulau Jawa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik regional bruto (PDRB) Jateng per kapita pada 2021, sebesar Rp38,67 juta per tahun atau Rp3,22 juta perbulan.
Angka tersebut adalah yang terendah di pulau Jawa buka dibandingkan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebesar Rp40,23 juta per tahun. Diikuti Jawa Barat Rp45,3 juta per tahun, Banten Rp55,21 juta per tahun, dan Jawa Timur Rp60,04 juta per tahun, dan Jakarta yang tertinggi sebesar Rp274,71 juta per tahun.
Besaran kemiskinan di Jateng pun sebesar 11,79 persen pada semester satu dan 11,25 persen pada semester 2 tahun 2021. Adapun jumlah itu lebih besar dari Jawa Timur sebesar 10,59 persen, Jawa Barat sebesar 7,97 persen, DKI Jakarta sebesar 4,6 persen, dan Banten sebesar 6,50 persen persemester 2 tahun 2021.
Adapun jumlah penduduk miskinnya lebih dari 4,1 jiwa. Dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Jateng 0,3 persen yang merupakan angka lebih rendah dibanding IPM Jabar, Jatim, dan Banten.
Meskipun, angka kemiskinan menurun sebesar 0,55 persen. Hal itu belumlah cukup untuk menjadikan Ganjar sebagai pemimpin yang ideal. Masih banyak kemiskinan dan suara-suara rakyat yang tidak didengar olehnya. Salah satunya adalah peristiwa di Wadas.
Masyarakat Wadas telah menolak penambangan batu andesit dan juga pembangunan waduk Bener sejak tahun 2016. Masyarakat menuntut Ganjar untuk mencabut Izin Penetapan Lokasi (IPL) terkait pembangunan waduk Bener di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.
Masyarakat mendapatkan tekanan dari polisi yang tidak menurut, hingga terjadinya penangkapan bagi warga Wadas yang menolak pembangunan strategi nasional tersebut. Lantas apa yang dilakukan oleh Ganjar terhadap insiden yang terjadi pada 8 Februari 2022 itu?
Ganjar hanya meminta maaf kepada warga Wadas. Meski telah tiga kali datang, tak ada ketuntasan dari kasus tersebut. Polisi yang harusnya menjadi institusi untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, malah digunakan sebagai alat menekan rakyat. Hal itu telah menyalahi aturan dan bahkan nurani.
Tidak ada kelanjutan terhadap nasib warga Wadas yang mengalami ketakutan sampai trauma. Mengapa tidak, tindak kekerasan sampai penangkapan oleh pihak berwenang nyata adanya dialami oleh warga Desa Wadas.
Meski telah menolak dengan aksi, pamflet, hingga menuntut melalui jalur hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, tetap saja suara rakyat Wadas tidak didengarkan. Seakan, kedatangan Ganjar sebagai Gubernur Jateng hanyalah menjadi momen cuci muka terhadap warga Wadas.
Lantas pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Ganjar layak untuk dicalonkan sebagai presiden? Mungkin tiga fakta tadi adalah satu alasan PDIP tidak menjadikan Ganjar sebagai bakal calon presiden?
Tidak ada yang pasti dalam politik, mari bersama-sama kita kawal pesta politik, pesta demokrasi yang dilakukan lima tahun sekali itu dan menjadikan politik Indonesia bersih hingga mendapatkan pemimpin yang layak dan tepat. (fik)