Melawan Komunisme (Bagian-1)
by Dr. Masri Sitanggang
Jakarta FNN – Senin (28/09). Komunisme itu paham. Bukan organisasi dan bukan pula nasab. Orang bisa saja menjadi komunis tanpa harus terdaftar sebagai anggota organisasi komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukan pula dari keturunan atau anak komunis. Jadi, jangan salah sangka.
Orang berfaham, lebih tepat lagi ideologi komunis bisa berada di organisasi apa saja. Mulai dari organisasi sosial kemasyarakatan, propesi , keagamaan sampai organisasi partai politik. Begitu juga soal nasab, anak yang lahir dari seorang alim pun bisa jadi terjangkit faham komunis. Sebaliknya, anak seorang komunis belum tentu juga sepaham dengan komunis.
“Dik Gaffar, kamu ajari saya agama. Nanti kamu saya ajari Marxisme,” kata Sukarno satu ketika. Yang dipanggilnya “dik Gaffar” adalah A. Gaffar Ismail, ayah dari Taufiq Ismail, dokter hewan yang lebih dikenal sebagai penyair itu. Taufiq Ismail menceritakan kisah persahabatan Sokarno dengan ayahnya itu dalam “Katastrofi Mendunia” (2004).
Sukarno, yang begitu menghargai ilmu, lebih dahulu dipenuhi oleh ajaran Karl Marx, “nabi” -nya orang-orang Sosialis-komunis. Dia bangga menguasai Marxisme, sehingga berani menawarkan barter dengan pengajaran”ilmu-ilmu” Islam. Boleh jadi, sebagai muslim yang belum “terisi” dengan hakikat islam, Soekarno memandang Islam sebagai sebuah cabang Ilmu yang setara degan Marxisme. Ya, hanya sebuah ilmu dalam tumpukan ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Maka, Soekarno yang rajin bertanya soal-soal Islam kepada Gaffar dan Hasan Bandung. Itu pun Soekarno tetap sebagai seorang nasionalis sekuler, dan memimpin Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemikiran Soekarno tentang ke-Islaman dan sosial kemasyarakatan tidak lepas dalam perspektif ilmu-ilmu sekuler itu, sehingga tulisan-tulisannya sering mengundang tanggapan kritis dari Mohammad Natsir, tokoh Partai Islam Masyumi.
Begitu pun dalam langkah selanjutnya. Ketika menjadi Presiden Indonesia, Soekarno menggabungkan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme yang dikenal dengan Nasakom. Masyumi menolak ideologi gabungan itu, sehingga Masyumi diultimatum untuk dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI. Itulah Soekarno, lebih dekat ke komunis dari pada Islam.
Bagaimana dengan ayah sang Penyair Taufiq Ismail? Meski pun di -coach langsung oleh mentor besar Marxisme, Soekarno, tetapi Gaffar tidak lantas jadi Komunis. Ikut Soekarno di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pun tidak. Ia justeru aktif di Partai Islam Masyumi yang anti Komunis. Itu karena sikap dan pandangan hidupnya telah dibentuk oleh Islam terlebih dahulu. Putra Minang ini tamatan Sumatera Thawalib Parabek dan pernah nyantri di Padang Panjang.
Sikap dan pandangan hidup seseorang itu sangat ditentukan oleh pengajaran. Ajaran apa yang lebih awal atau lebih intens diterima, lebih kuat mempengaruhi dan memenuhi pikirannya. Jadi, jangan main-main dengan pangajaran. Ia adalah mesin cetak keperibadian dan pandangan hidup seseorang.
Semaoen, Darsono, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo (orang-orang Indonesia pertama yang jadi komunis) awalnya adalah pengikut H.O.S Tjokroaminoto, sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Bahkan pernah menduduki jabatan penting di SI. Semaoen misalnya, menjadi Ketua SI Semarang. Tetapi mereka kemudian menjadi tokoh penting pula di Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang pernah beberapa kali menorehkan sejarah kelam bangsa ini, dan di pecat dari SI.
Semaoen menjadi anggota SI pada 1914 di afdeeling Surabaya. Usianya terbilang masih terlalu muda, 14 tahun. Setahun kemudian, 1915, Samaoen berkenalan dan akrab dengan seorang sosialis Belanda, Sneevliet, ketua Indische Sosial Democratische Vereniging (ISDV) dan Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel (VSTP) di Semarang.
Semaoen bersimpati berat kepada Sneevliet dan menyapa orang Belanda itu sebagai “guru”. Tidak salah juga. Karena di tengah orang-orang Belanda bermental kolonial dan merasa superior, Sneevliet justeru menawarkan persamaan dan semangat revolusiner. Maka, Semaoen pun ikut aktif di dua organisasi beraliran komunisi itu. Alimin dan Darsono ikut pula di ISDV.
Penguasaan bahasa Belanda yang baik, minat belajar yang sangat kuat dan hubungan dekatnya dengan Sneevliet membuat Semaoen dipercaya sebagai ketua propagandis VSTP dan mendapat gaji. Jabatan ini membuat Semaoen harus intens mempelajari ideologi Marxis, dan harus pindah pula ke Semarang, tempat kedudukan Pengurus besar VSTP, Juli 1916. Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, dia terpilih pula menjadi ketua SI Semarang.
Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, 23 Mei 1920. Ia menduduki posisi ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua. Belakangan organisasi ini menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Semaoen adalah ketua pertama, sementara Alimin memimpin Wilayah Jakarta sejak 1918.
Pada akhir tahun 1921, Semaoen meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow. Kedudukannya di PKI digantikan olehTan Malaka. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum PKI dan mengganti nama SI yang dipimpinnya menjadi Sarekat Rakyat, bagian dari PKI, di tahun 1924.
Dari sekilas perjalanan Semaoen dan kawan-kawannya, terbukti bahwa meski pun mereka aktivis SI, tetapi lebih intens mendapat asupan dan bergulat dengan pemikikiran Sosialisme-komunisme Marxis, dari pada Islam. Namun begitu, pada saat itu, Semaoen dan juga orang-orang SI lainnya, kemudian menjadi PKI tidak mengetahui bahwa di dalam ajaran sosialisme Marxisme itu terkandung prinsip-prinsip ateisme yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sukendar, Ketua Perwakilan PKI dalam Kongres SI tahun 1922, misalnya, ketika diminta tanggapannya terkait SI yang akan menjadi Partai Sarekat Islam, menyatakan bahwa menjadi komunis bukan berarti tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi ia mengakui gerakan mereka netral dalam urusan agama. Orang-orang PKI tak ingin Islam di bawa-bawa ke ranah politik. Hal ini mengagetkan para peserta kongres. Betapa tidak, ada orang yang percaya kepada Allah tetapi netral agama!
Jadi, ada yang tidak beres pada diri Semaoen dan kawan-kawannya. Kata Mohammad Hatta, “kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang muslim mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.”
Maka, “tidak sedikit orang yang tersinggung karena merasa banyak yang tak beres pada dirinya. Tetapi yang tak tersinggung karena tak tahu, lebih banyak lagi .”, kata Tufiq Ismail.
Kalimat terakhir Taufiq Ismail itu justeru menjadi kekhawatiran terbesar kita sekarang ini. Lebih banyak yang tidak tersinggung karena tidak tahu. Betapa banyak orang tidak tahu kalau “netral dalam urusan agama” atau “mengharamkan agama dibawa ke ranah politik” berarti sudah kerasukan bibit faham komunis. Malah, mereka yang tidak tahu itu justeru banyak pula aktivis oraganisasi Islam.
Banyak juga yang tidak tahu kemudian terhasut. Misalnya, seperti pemberontakan PKI tahun 1927 di Sumatera Barat. Taufiq Ismail mengutip Brackman menggambarkan pemberontakan itu sebagai, “more in the nature of a ‘holy war’ by Islamic zealots than Communist rebellion”. Pemberontakannya malah berciri Islami ketimbang komunis.
Karena komunis adalah faham yang berasal dari pengajaran, maka ajaran yang berbau komunis dalam segala bentuknya memang wajib diharamkan. Yang paling dasar, misalnya ajaran yang merendahkan nilai agama atau ketuhanan. Memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau ajaran netral agama. Sebab, anggapan ini adalah bagian dari ajaran komunis untuk tumbuh berkembangnya komunis lebih lanjut.
Adalah tugas dan kewajiban negara mencerdaskan bangsa. Bukan menjadi kewajiban individu dan keluarga. Melalui pendidikan, baik formal mau pun non formal, pemerintah berkewajiban membangun anak bangsa menjadi insan cerdas. Cerdas yang dimaksud adalah cerdas berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan cita-cita pendirian negara ini.
Oleh karena itu, semua materi ajar dan metode yang digunakan harus mampu mengarahkan anak didik pada pembentukan insan yang cerdas ber-Ketuhahan Yang Maha Esa. Secara khusus, mata pelajaran agama harus mendapat perhatian utama untuk senantiasa ditingkatkan kulitasnya.
Mengurangi atau bahkan menghilangkan mata peajaran agama di sekolah, dan menyerahkan pendidikan agama kepada keluarga adalah ide yang sangat keliru. Ini dapat dilihat sebagai langkah melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah terhadap pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia yang bertaqwa.
Upaya untuk melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah dalam mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila. Ini sebagai ide buruk mengingkari Pembukaan UUD 1945. Ide menumbuhkan generasi sekuler, generasi yang menjadi lahan subur tumbuh berkembangnya faham komunisme.
Selanjutnya, paham komunis harus dilawan. Secara khusus, pendidikan Islam (Dakwah Islamiyah) harus membekali jemaah untuk mampu mematahkan argumentasi kaum komunis. Konstruksi berpikir Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Salallaahu Alaihi Wasallam yang demikian kuat harus dimiliki jemaah, sehingga mampu dengan mudah mematahkan dan membongkar habis pemikiran komunis.
Faham dan pemikirankomunis dibangun berdasarkan “Madilog” (material-dialektika- logika). Demikian juga karakter pribadi jemaah harus sampai pada “Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillah Rabbil ‘alamin”. Sehingga tak adalagi jemaah yang berpikir-laku sukuler dan netral agama.
Dakwah Islamiyah harus segera keluar dari lingkup kamar mandi (bersuci) dan menakar pahala dan dosa. Dakwah Islamiyah harus segera memenuhi fungsinya memuaskan intelektualitas dan rohani manusia sekaligus. Jangan biarkan ada ruang kosong dalam kehidupan manusia ini, tanpa terisi oleh Islam. Sehingga faham apa pun tidak akan bisa masuk lagi. Wallah a’lam bisshawab.
Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.