Memaknai Gerakan Anti Islamopobia Menjadi Gerakan Kebangsaan Indonesia
Oleh ; Anton Permana - (Direktur Tanhana Dharma Manggruva Institute
Hadir hari ini bersama para Ulama, tokoh nasional, aktifis dan emak/emak di aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar sungguh memberi makna dan arti yang esensial holistik bagi saya yang notabone baru keluar penjara dan di vonis 10 bulan.
Kenapa esensial? Karena in put pertemuan hari ini dalam mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islam Phobia, menandakan sebuah kesadaran kolektif bersama dari ummat Islam di Indonesia khususnya mulai muncul dan tumbuh mekar mewangi.
Sebuah kesadaran kolektif, yang secara holistik merupakan out put dari sebuah ghiroh (semangat) dan cinta terhadap agama yang mayoritas serta berperan besar atas berdirinya sebuah bangsa bernama Indonesia. Peran ummat Islam yang terbesar bagi bangsa ini adalah sebuah fakta sejarah yang tak akan bisa di pungkiri.
Sebuah kesadaran kolektif, bahwa ada masalah bahkan musibah besar yang sedang menimpa ummat Islam saat ini. Bagaimana sebuah komunitas besar spritual keagamaan yang secara quantity dan quality sejatinya adalah sebuah kekuatan besar dunia, namun saat ini bagaikan tak berdaya di perlakukan semena/mena oleh banyak kelompok. Bahkan dari kalangan ummat Islam itu sendiri.
Sebuah komunitas spritual keagamaan yang ikut juga berkonstribusi membangun peradaban agung dunia ini setidaknya selama 1333 tahun lamanya, dalam enam masa ke Khalifahan yang dalam catatan sejarah menjadi salah satu dari tiga kekuatan imperium terbesar yang pernah ada di muka bumi. Yaitu imperium Islam, Romawi (barat) dan imperium mongolia (timur).
Namun mirisnya, pasca perang dunia ke dua sejak runtuhnya ke khalifahan Utsmani Ottoman 1924 (Turkey), peran dan kewibawaan ummat Islam mulai kalah oleh kolonialisasi dan terpecah belah dalam sekat negara-negara bangsa.
Out putnya seperti yang kita rasakan hari ini. Ummat Islam banyak tapi bagaikan buih di lautan. Punya sumber kekayaan alam yang melimpah, tapi justru miskin di peras oleh kekuasaan elit global. Adapun kaya raya tapi juga menjadi budak dunia. Punya Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman kehidupan, tapi kalah di singkirkan oleh pemikiran/pemikiran liberalisme-sekulerisme-atheisme-zionisme atas nama moderenisme kemajuan zaman.
Di banyak tempat, negara Islam yang lemah di invansi dan di perangi. Siapa saja pemimpin Islam yang tidak ikut keinginan elit global, maka akan di jatuhkan dengan berbagai cara. Arab spring, Libya, Mesir, Sudan, adalah contoh konkritnya. Ketika Islam kuat dan mayoritas, maka akan di tuduh diktator, ketika Islam minoritas maka akan di injak dan di tuduh radikal.
Tidak sampai di situ. Atas nama modernisme, atas nama HAM, atas nama kekuasaan dan konstitusi hukum, ajaran Islam justru sering di nistakan dan di buang sejauh/jauhnya. Ibarat sampah menakutkan dengan berbagai alibi dan rekayasa berita.
Makanya, Gerakan Nasional Anti Islamphobia hasil dari turunan resolusi PBB 15 maret tahun 2022 yang lalu adalah sangat tepat dan jitu. Karena ;
Pertama, secara falsafah negara kita Pancasila. Upaya dan prilaku Islamphobia (menciptakan rasa kerakutan berlebihan terhadap ajaran Islam) sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Seperti, sila pertama Ke Tuhanan Yang Maha Esa, dimana nilai tauhid adalah sandaran utama dalam konsepsi bernegara kita. Karena ini juga jelas tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 (ayat) 1 yang berbunyi, “Negara Indonesia berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi sangat tidak mungkin ada satu agamapun di muka bumi ini tujuannya adalah untuk kejahatan dan menakutkan. Agama lahir dan di turunkan Tuhan sebagai pedoman hidup manusia agar lebih baik. Artinya, menciptakan rekayasa, menstigmanisasi wajah Islam menjadi seolah ancaman dan menakutkan adalah salah dan bertentangan dengan sila pertama Pancasila.
Selanjutnya sila ke dua Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Artinya, ber-agama adalah hak azazi kemanusiaan setiap manusia yang harus di junjung tinggi kehormatan dan martabatnya. Islamphobia hampir sama dengan upaya melecehkan dan menistakan agama sudah pasti juga sama melecehkan sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Manusia yang benci agama hanya mereka yang berpaham komunis dan atheis.
Selanjutnya, prilaku Islamphobia ini juga pasti akan merusak rasa persatuan Indonesia. Karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Membangun rasa ketakutan berlebihan dan tidak proporsional terhadap agama Islam, itu juga tergolong sebuah penistaan terhadap Islam. Dimana otomatis tentu hal ini juga akan melahirkan rasa ketidak adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke lima Pancasila).
Dengan demikian, prilaku Islam phobia ini seharusnya kalau bangsa dan pemerintahan ini jernih dan fair, harus menjadi sebuah gerakan bersama kebangsaan. Karena prilaku Islam phobia ini jelas melanggar konstitusi, hukum positif, konstitusi, dan etika moralitas yang hidup di bumi Nusantara.
Apalagi kalau kita berbicara dalam hal penegakan hukum. Seharusnya tidak pernah terjadi prilaku seperti para buzzer yang “dengan sengaja” seolah berjibaku menggoreng sedemikian rupa Islamphobia ini. Mengidentifikasi cadar, celana cingkrang, rajin ibadah, bendera tauhid, dan pesantren yang kuat Islam dengan radikalisme bahkan teroris. Isu khilafah di jadikan isu menakutkan melebihi korupsi dan narkoba.
Lalu yang mesti juga kita pahami bersama adalah. Bagaimana melihat permasalahan Islamphobia ini kedalam bentuk dua cara pandang. Pertama yaitu Islamphobia secara Makro dan secara Mikro.
Cara pandang Islam phobia secara Mikro itu adalah, bagaimana melihat program Islamphobia ini adalah sebagai instrumen yang tidak berdiri sendiri. Dimana Islamphobia ini adalah bahagian dari sebuah instrumen besar dari sebuah kelompok elit global (invisible hand) yang memusuhi Islam dalam rangka program bagaimana ajaran Islam, symbol Islam, peradaban Islam itu di jauhi, di tinggalkan, bahkan di buang oleh pemeluk Islam itu sendiri karena menakutkan.
Islamphobia adalah ujung tombak dari sebuah instrumen “sekulerisasi dan liberalisasi” ummat Islam dari agamanya. Bagaimana Ummat Islam itu, secara identitas KTP adalah Islam, tapi secara pikiran, budaya, cara hidup, jauh dari ajaran Islam. Maka dibuatkah skenario Islamphobia, bagaimana menciptakan stigmanisasi wajah Islam itu sangat menakutkan dan di jauhi ummatnya. Apalagi pemeluk agama lain.
Apa tujuannya ? Tidak lain adalah dalam rangka, agar ummat Islam ketika jauh dan meninggalkan agamanya mudah di kuasai dan di taklukan. Karena sudah sunatullah, dimanapun ummat Islam berada maka di bawah tanah, laut dan udaranya Allah SWT memberikan berkah kekayaan yang melimpah. Dan ajaran Islam yang rahmatan lilalamin sangat bertentangan dengan konsep pemikiran para musuh Islam itu. Seperti dalam hal riba, prositusi, narkoba, alkohol, LGBT, semuanya haram dalam Islam. Namun di satu sisi semua itu adalah boleh dan sumber pundi-pundi ekonomi bagi para musuh Islam.
Cara pandang kedua adalah, melihat program dan instrumen Islamphobia ini secara makro. Yaitu, melihat dan menjadikan program Islamphobia ini adalah bentuk nyata dari sebuah kebatilan dan kemungkaran yang di lakukan oleh para musuh Islam secara sistematis dan terencana. Dimana hal ini juga sudah sunatullah terjadi sejak zaman para Nabi.
Artinya, pertarungan terhadap Islamphobia ini adalah pertarungan nyata antara Haq dan kebatilan. Secara mikro dalam konteks kita bernegara yang di jamin dan di lindungi konstitusi. Secara makro, ini adalah “beranda” awal dari pertarungan hegemoni ideologis (peradaban) seperti yang di tulis Samuel P Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilization”.
Jadi, untuk menghadapinya tentu juga tidak lain juga dengan cara pendekatan amar ma’ruf dan Nahi munkar. Kalau perlu Jihad Fisabilillah dalam menegak kan kalimatullah. Jangan sampai, sudah jelas Islamphobia ini adalah kemungkaran, namun kita sebagai ummat Islam masih berleha-leha menganggapnya sebagai hal yang biasa dan perbedaan pikiran atau aliran biasa semata.
Cuma permasalahannya adalah, bagaimana kalau program Islamphobia ini di topang, di lahirkan, di dukung penuh oleh kekuasaan dan kekuatan elit global yang besar ?
Jawabannya juga sederhana. Inilah saatnya ummat Islam instropeksi diri dan mulai memilah serta memetakan mana yang musuh dan mana yang kelompok satu perjuangan. Ummat Islam tak bisa berbasa-basi lagi. Artinya, inilah momentum yang sangat tepat ummat Islam untuk mengkonsolidasikan diri secara berjamaah. Karena kekuatan utama ummat Islam itu ada pada persatuan dan kesatuan ukuwah Islamiyah. Kalau ummat Islam bersatu dalam satu kalimatullah, maka atas izin Allah tak ada satu kekuatan di dunia yang bisa mengalahkannya. Ini sudah terbukti dan menjadi fakta nyata dalam sejarah peradaban ummat Islam.
Dan dalam konteks negara Indonesia, GNAI ini harus segera menjadi gerakan dakwah bersama yang masif, terstruktur dan elegan. Tanpa memandang kelompok, mahzab, aliran dan partai politik. Karena saat ini, ummat Islam sudah punya musuh bersama yang sama yaitu “Pelaku Islamphobia”.
Siapapun, apapun, kelompok manapun, yang tidak mau ikut atau justru berada di pihak pelaku Islamphobia maka dialah musuh bersama, musuh negara, musuh bangsa dan musuh agama yang harus di lawan dan di kalahkan.
Dan semoga GNAI ini tidak hanya berhenti sampai di sini, tapi terus di gerak kan, menjalar, bagai gelombang tsunami sampai ke daerah-daerah. Agar kedepan tidak ada lagi yang sewenang-wenang melecehkan dan menistakan agama Islam. InsyaAllah. Di tunggu kerja keras dan kerja cerdas para Mujahid Islam dimanapun berada. Allahu Akbaru !
Jakarta, 15 Juli 2022.