Membaca Aura Politik Anies

Tampaknya aura politik Anies akan terus menyala nyalang tak terkirakan dalam menyuarakan suara perubahan.

Oleh: Ady Amar | Kolumnis

Anies Baswedan memang tak melaju di Pilkada DKJ. Anies diganjal. Dijegal keras begal nomor wahid. Mulyono namanya. Modal kuasa yang dimiliki mampu menutup peluang partai politik mencalonkannya.

Meski elektabilitas keterpilihan Anies tak terkejar dari paslon yang disiapkan istana (KIM Plus), Ridwan Kamil dan Suswono, tetap saja tak ada partai yang bernyali mengusungnya.

Keterpilihan Anies tak bisa dibandingkan pula dengan paslon yang diusung PDIP, Pramono Anung dan Rano Karno. Apalagi dengan paslon independen yang disiapkan sebelum putusan MK--PDIP saat itu tidak bisa mengusung calonnya sendiri--agar paslon yang didukung istana tidak kehilangan muka jika harus melawan kotak kosong.

Putusan MK 60 dan 70 itu menyelamatkan PDIP untuk bisa ikut dalam Pilkada DKJ. Partai yang hasil pilegnya mendapat suara pemilih 7,5% bisa mencalonkan sendiri calonnya. Karenanya, PDIP terselamatkan. Mestinya putusan MK itu juga berdampak pada Anies Baswedan. 

Lain nasib PDIP lain pula nasib Anies, yang memang harga mati tak boleh diusung partai manapun. PDIP yang semula ingin mengusungnya dibuat berpikir ulang. Istana menyodorkan Pramono Anung sebagai _win win solution_. Pramono memang kader senior PDIP. Namun Pramono terlalu lama menyusu di istana. Hampir sepuluh tahun. Karenanya, ia calon yang diikutkan untuk sekadar ikut. Tidak sampai diharapakan bisa memenangkan kontestasi.

Sebagai begal politik, tentu tak ada kamus rasa malu dinalar Mulyono. Berbangga partai politik bisa jadi sanderanya. Dibuat tak berkutik. Tak berani bersikap dengan independensi selayaknya. Tapi ada juga partai yang luput dari sanderanya, namun justru menyodorkan diri untuk disandera. Memilih masuk dalam lingkar kekuasaan, meski dengan meninggalkan suara konstituennya.

Anies yang sedianya diusung PDIP, Senin (26 Agustus) lalu sudah hadir di kantor DPP PDIP untuk diumumkan namanya. Rencana pukul 13.00 namanya diumumkan Megawati Soekarno Putri. Tapi urung dilakukan.

Konon sejam sebelum PDIP mengumumkan nama Anies dan Rano Karno, muncul sprindik ancaman dilayangkan Mulyono. Jika PDIP tetap nekat maka kasus korupsi BTS yang menyeret Hapsoro Sukmonohadi, suami Puan Maharani akan diangkat. Sprindik yang mampu buat nyali PDIP _mingsrut_.

Pengumuman paslon PDIP untuk Pilkada DKJ pun ditunda. Agar tak mencolok Pilkada PDIP beberapa wilayah lain pun diundur. Keesokan harinya nama Pramono Anung dan Rano Karno resmi diusung PDIP.

Sekali lagi Anies terkunci. Pintu yang dibuka MK tak mampu buat partai bisa mengusung calonnya sendiri tergerak mencalonkannya. Partai yang tergahung dalam KIM Plus, yang karena putusan MK disinyalir bisa jalan sendiri-sendiri menentukan paslonnya lalu bergeming. Partai-partai itu layak dicatat dalam benak publik telah melakukan persekongkolan jahat membunuh Anies.

Aura politik Anies coba dimatikan dengan dipaksa tak bisa mengikuti Pilkada DKJ. Tak ingin Anies jadi pemenangnya. Bahkan Anies diharap tak lagi bisa bersuara menghangatkan atmosfer perpolitikan. Anies dicukupkan sampai disitu saja. Di 2029 Anies diharapkan tak lagi jadi ancaman. Belum juga Prabowo Subianto dilantik pada 20 Desember 2024, sebagai Pesiden RI ke-8, panitia persiapan agar ia terpilih kembali di 2029 sudah bekerja dengan rapi. Maka, tak boleh ada Anies yang bisa jadi penghalangnya.

Lantas apakah aura politik Anies menjadi redup? Belum tentu. Bahkan bisa jadi sebaliknya. Di mana Anies mampu membuat sendiri panggung besarnya  mengorkestrasi rakyat yang berharap perubahan. 

Rakyat pendukungnya, setidaknya yang memilihnya pada Pilpres 2024, menuntut dihadirkannya partai baru yang dinahkodainya. Partai yang membawa semangat perubahan. Tampaknya aura politik Anies akan terus menyala nyalang tak terkirakan dalam menyuarakan suara perubahan.**

933

Related Post