Memikirkan Ulang Periode Jabatan Presiden

by Tamsil Linrung

Jakarta, FNN - Wacana presiden tiga periode kembali muncul. Isu lawas ini mencuat dengan tensi yang seketika meninggi, menjadi bahan diskusi di banyak tempat.

Diskursus politik era demokrasi memang memungkinkan membicarakan segala hal. Tetapi tema-tema yang memunggungi konstitusi seharusnya tabu, tidak boleh dibiarkan beranak pinak. Selain membahayakan demokrasi, juga mengancam kelangsungan bangsa. Bagaimana mungkin kita mendiskusikan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi?

Konstitusi telah membatasi kepemimpinan nasional hanya dua periode, titik. Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi menyuburkan oligarki, melanggengkan korupsi, selain melahirkan diktator baru. Wacana presiden tiga periode tak lebih akal bulus dari pikiran yang dahaga kekuasaan.

Memberikan tempat pada diskursus tersebut bukan tidak mungkin justru melecut momentumnya. Dan kita tahu, politik adalah tentang momentum. Kalau momentumnya pas, kalkulasi politik bisa berjalan lancar. Jamak terdengar, menciptakan momentum adalah bagian dari seni berpolitik.

Wacana presiden tiga periode telah beberapa kali memburu momentum dalam dinamika politik tanah air. Penghujung 2019 lalu, isu ini mengedepan seiring bergulirnya wacana amandemen UUD NKRI 1945. Untung saja tidak kejadian.

Yang menggelontorkannya bukan orang sembarangan. Jejak digital mencatat, yang pertama kali mewacanakan adalah Wakil Ketua MPR Asrul Sani. Kita tahu, MPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NKRI 1945. Lebih mengerikan lagi, Ketua DPR Puan Maharani tercatat juga mewacanakan.

Walau sempat tenggelam, wacana tiga periode tidaklah mati. Malah diduga menggelinjang di bawah tanah. Dugaan ini disampaikan terbuka oleh Pendiri Partai Umat Amien Rais. Konon, ada usaha pemerintahan Jokowi menguasai seluruh lembaga tinggi negara. Amien Rais rupanya mendeteksi sinyal politik atau skenario yang mengarah agar Presiden Jokowi bisa terpilih lagi hingga tiga periode.

Pasca-viralnya pernyataan Amien di kanal youtube, mengalir aneka kritikan tajam kepada tokoh gerakan reformasi 98 ini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Tjahjo Kumolo, misalnya, menilai tudingan Amien Rais sebagai manuver murahan. Tetapi, tak sedikit pula yang bersimpati.

Lepas dari kontroversi tersebut, pernyataan Amien Rais ada hikmahnya juga. Paling tidak, pernyataan ini telah menggedor dan mengembalikan sikap kehati-hatian kita terhadap upaya-upaya melawan konstitusi. Soalnya, perhatian rakyat selama ini dibuai atraksi berbagai manuver di panggung politik nasional.

Muncul Dukungan

Kita mengapresiasi penolakan Presiden Jokowi terhadap wacana presiden tiga periode. Presiden bilang, tidak ada niat dan juga tidak berminat. Presiden juga menegaskan, konstitusi mengamanahkan dua periode dan harus kita jaga bersama.

Namun, politik punya banyak wajah. Wajah yang lain, sejumlah elit partai pendukung pemerintah menyatakan dukungannya. Sebutlah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid.

Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono lebih ekstrim lagi. Dia meminta Presiden Jokowi menerima keinginan rakyat untuk memimpin hingga tiga periode. Alasannya, demi menyelamatkan rakyat dari bencana pandemi dan dampaknya.

Kita tidak tahu rakyat mana yang dimaksud Poyuono. Bila yang dimaksud anggota dewan terpilih sebagai representasi rakyat, mungkin logikanya tidak sepenuhnya benar. Sebab, manuver politik penghuni Senayan tidak selalu muncul karena keinginan rakyat. Terkadang manuver itu dipicu oleh inisiatif pribadi atau permintaan partai. Dengan begitu, dukungan elit politik tidak serta merta paralel atau merepresentasikan dukungan akar rumput.

Lagi pula, sejarah mencatat bahwa kemunculan wacana presiden tiga preiode telah memperlihatkan penolakan rakyat dari waktu ke waktu. Pertanyaannya, atas dasar dan tujuan apa wacana ini bersemi kembali?

Kantor Staf Presiden mencurigai ada pihak yang ingin menjerumuskan Presiden. Sementara itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin berpendapat ada kemungkinan orang terdekat Jokowilah yang memunculkannya.

Untungnya, isu amendemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dibantah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meyakinkan itu.

Kita berharap pimpinan MPR konsekuen. Pun dengan Anggota DPR dan DPD yang juga merupakan Anggota MPR RI, agar saling menjaga, menutup peluang sidang istimewa MPR RI.

Cukup Satu Periode

Jadi, perbincangan soal masa periode jabatan presiden sebaiknya dihentikan saja. Kalau pun ingin membahasnya lebih serius, wacana yang dikedepankan harusnya yang relevan dengan demokrasi dan percepatan pertumbuhan regenerasi kepemimpinan.

Dalam perspektif itu, ada baiknya yang dipikirkan secara bersama adalah memangkas periode jabatan presiden, bukan malah menambahnya. Pakar hukum tata negara Refly Harun pernah menggagas ide ini, dengan usulan masa jabatan tujuh tahun atau cukup lima tahun saja. Selebihnya, ia mengusulkan mantan presiden dapat mengajukan diri kembali, tetapi tidak berurutan.

Hemat saya, periode presiden dibatasi cukup satu periode atau lima tahun saja. Namun, dengan satu opsi tambahan yakni masa jabatannya dapat diperpanjang hingga dua atau maksimal tiga tahun.

Opsi tambahan masa jabatan ini tidak otomatis. Kewenangan diperpanjang atau tidaknya dikembalikan kepada MPR. Dengan begitu, anggota legislatif sebagai pengawas pemerintah punya peran tambahan dalam mengevaluasi hasil kerja presiden.

Artinya, opsi itu sekaligus menjadi reward atau punishment bagi presiden. Bila MPR menganggap kinerja presiden selama lima tahun di bawah standar, jatah dua tahun perpanjangan jabatan boleh tidak diberikan. Sebaliknya, jika kinerja presiden terlihat baik atau berhasil, masa jabatan itu dapat diberikan sebagai penghargaan.

Ke depan, bila penerapannya memenuhi ekspektasi, keran diskursus selanjutnya dapat dibuka untuk kemungkinan penerapan di level kepemimpinan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Setidaknya, ada tiga hal yang mendasari pikiran tersebut. Pertama, regenerasi kepemimpinan dapat berjalan dengan cepat. Berbarengan dengan itu, pertumbuhan oligarki kekuasaan sekaligus bisa diminimalisir.

Kedua, dua periode jabatan menyita banyak waktu dan konsentrasi presiden pada periode pertama guna menyiapkan diri pada perebutan kekuasaan selanjutnya. Hampir separuh dari periode pertama biasanya dihabiskan untuk konsolidasi menuju tampuk kekuasaan periode kedua.

Ketiga, dalam konteks pemilihan presiden, petahana dipandang mempunyai nilai lebih karena menguasai sistem dan pemerintahan. Terbuka potensi menyalahgunakan wewenang dalam perhelatan Pilpres yang melibatkan dirinya. Satu periode jabatan presiden menutup kemungkinan tersebut.

Jadi, persoalan periode jabatan presiden bukan sebatas pertimbangan ditambah atau dikurangi. Yang lebih mendasar adalah alasan di balik penambahan atau pengurangan itu. Pemilik gagasan presiden tiga periode perlu ditanya, apa relevansi gagasan itu terhadap demokrasi dan pembangunan bangsa?

Penulis adalah Senator DPD RI.

347

Related Post