Memilih Menjadi Manusia Gagal
Oleh Ady Amar - Kolumnis
JIKA anda manusia biasa, seperti manusia pada umumnya, maka disebut sebagai manusia gagal mestinya malu. Bahkan jika pun marah sampai mencak-mencak segala, itu pun wajar. Tapi mau percaya atau tidak, ada individu atau kelompok manusia tertentu, yang justru memilih sebagai manusia gagal. Tapi meski memilih sebagai manusia gagal, ia tetap tak sudi disebut sebagai manusia gagal.
Disebut sebagai manusia gagal, itu lebih pada mereka yang memilih tidak menggunakan otaknya dengan sempurna. Sehingga tidak mampu menyimpulkan yang baik dan buruk. Tidak mampu membedakan antara yang nyata dan tersembunyi. Bahkan tidak mampu mencium antara aroma harum dan busuk sekalipun. Layak diserupakan lalat hijau yang menari-nari di tong sampah tanpa rasa jengah.
Jenis manusia yang memilih menjadi manusia gagal, pastilah sulit bisa beradaptasi dengan manusia pada umumnya, yang bertebaran saling bersapa dengan nalar sempurna. Jenis manusia gagal menjadi manusia ini lebih memilih bergerombol dengan kelompoknya, yang sebenaranya tidak banyak jumlahnya. Tapi konsen menyuarakan hal tidak sebenarnya.
Menjadi manusia gagal seperti sudah jadi passion pilihannya. Jadi peluang pekerjaan. Bahkan jadi mata pencarian. Hanya di rezim ini memilih menjadi manusia gagal dipelihara--tentu bukan dipelihara negara seperti bunyi pasal 34 (ayat 1) UUD 45--tapi lebih dimanfaatkan sebagai pendengung tanpa perlu menggunakan otaknya, meski cuma sedikit. Bisa diserupakan robot yang digerakkan oleh kekuatan di luar dirinya.
Menghadirkan manusia gagal menjadi manusia, itu hanya ditujukan untuk Anies Baswedan. Anies sebagai obyek yang terus dibicarakan dengan tidak sebenarnya. Anies jadi obyek persekusi, bahkan dengan fitnah segala. Hal tidak sebenarnya yang dilakukan Anies dipaksa seolah itu dilakukannya--kasus Formula E bisa jadi contoh bagaimana Anies terus dibayang-bayangi untuk dipenjarakan. Maka, Anies jadi sasaran dirusak personalnya. Bahkan itu dimulai jauh hari, saat Anies-Sandi memenangkan Pilkada DKI Jakarta (2017) mengalahkan petahana Ahok-Djarot.
Tidak henti-henti Anies digempur dengan tidak ada benarnya oleh mereka yang memilih menjadi manusia gagal. Bisa dari perorangan, tapi ada juga dari anggota partai tertentu, yang memilih Anies sebagai obyek, meski kebijakan yang dibuat tidak sampai mampu diganjal, tapi terus dibicarakan seakan proyek gagal--sumur resapan air yang dibangun Anies untuk mengurangi dampak banjir dinyinyiri tak sepatutnya.
Perjalanan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, itu sarat dengan persekusi tiada henti. Lima tahun penuh persekusi, setidaknya dari anggota dua Fraksi di DPRD DKI Jakarta, PDIP dan PSI, yang coba mengganjal kebijakan yang dibuat Anies dan Pemprov DKI Jakarta.
Meski Anies Baswedan sudah menyudahi jabatannya selaku kepala daerah (16 Oktober), tetap tidak menyurutkan gairah mengakhiri persekusi, bahkan makin menjadi-jadi. Apalagi pasca Partai NasDem (3 Oktober)-- sebelum Anies Baswedan purna tugas--mendeklarasikannya sebagai capres. Gairah dari manusia yang memilih jadi manusia gagal, makin bergairah untuk tidak menyudahi mempersekusi Anies, dengan caranya masing-masing.
Ada yang memilih obyek menyematkan Anies sebagai "bapak politik identitas". Itu seperti jadi senjata yang ditembakkan terus-menerus, meski mendapat penolakan manusia pada umumnya, yang masih memiliki otak sempurna. Misal, sehari setelah Anies purna tugas (16 Oktober), lewat Twitter mereka perlu men-Twit, Syukur Alhamdulillah, Jakarta bebas dari politik identitas mulai hari ini. Jakarta bebas dari cengkeraman Firaun yang gagal... (Guntur Romli/@GunRomli).
Ada pula Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, yang lagaknya seperti memilih menjadi manusia gagal. Lewat Twitternya, meski tersirat, ia berharap pada Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta yang baru, Heru Budi Hartono, untuk membenahi Jakarta. Bagini bunyi Twitnya.
Setelah sampai di Balai Kota @DKIJakarta dan menyapa para ASN serta warga yang mengucapkan Selamat, Pak Heru langsung Gaspoll mengajak saya dan jajaran asisten untuk rapat sambil makan siang bersama.
Permasalahan di Jakarta harus diselesaikan dari hulu sampai hilir.
Prasetyo seolah perlu sampaikan pesan, bahwa pembangunan di Jakarta dibawah Anies Baswedan "tidak beres". Dan meminta Pj Gubernur Heru Budi Hartono, untuk membereskan dari hulu sampai hilir. Prasetyo mencoba menularkan "virus" tidak saja pada warga Jakarta, tapi bahkan se-nusantara, untuk mempersepsikan Anies seperti manusia yang telah memilih menjadi manusia gagal. Absurd.
Memilih menjadi manusia gagal bisa disebut sebuah proyek dengan memakai jasa manusia, yang diprogram khusus guna menyerang Anies Baswedan. Proyek yang tampaknya tak akan berhenti, sampai memastikan Anies gagal dicapreskan. Maka, intensitas penyerangan akan dibuat makin dahsyat, guna mengubah mindset publik dalam melihat warisan karya Anies yang fenomenal, itu sebagai karya gagal. Jika mungkin, apa yang sudah dihasilkan Anies "dirusak" hingga tak berbekas.
Sebuah kecenderungan jahat bisa saja terjadi. Dan, memilih menjadi manusia gagal, sepertinya siap untuk mengerjakan itu semua. Kita lihat saja nanti, dan bagaimana perlawanan akal sehat memastikan itu semua.
Oh ya, apakah manusia yang memilih menjadi manusia gagal, ini bisa diserupakan dengan buzzer atau influencer. Bisa juga jika ingin diserupakan demikian. Karena sama-sama punya daya rusak yang kuat untuk Anies Baswedan. Hanya saja "memilih" menjadi manusia gagal, pelakunya dibuat menjadi lebih luas. Mereka pun tidak harus dibayar dengan uang, tapi jabatan yang diduduki dibuat aman, bahkan jika aktif mempersekusi Anies, bisa dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Tidaklah perlu heran jika ada anggota komisaris BUMN yang juga nyambi memilih menyerang Anies Baswedan. Rusak! (*)