Memilih "Muslimin " Hanya Sekadar Nama
Oleh Ady Amar | Kolumnis
APALAH arti sebuah nama, kata Shakespeare. Itu bisa ditemukan dalam karya novel masterpiece-nya Romeo and Juliet. Sebuah novel roman yang berakhir tragis. Ada dialog di sana yang diucap Romeo, "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell a swett."
Dalam Islam tentu tidak demikian. Memberi nama anak mesti dengan nama yang baik. Setidaknya punya arti baik. Berharap sang anak akan tumbuh sebagaimana nama yang disematkan. Memberi nama yang baik, itu bukti awal harapan orang tua pada sang anak. Bagian dari doa kebaikan pada sang anak.
Konon kelak di surga, nama yang tersemat di dunia adalah nama yang dipakai di sana. Maka jika nama indah disematkan pada sang anak, pertanda memang ia pantas sebagai penghuni surga.
Tapi bukan berarti penghuni surga kelak tidak ada yang dipanggil namanya dengan nama yang tidak bermakna, atau nama yang bahkan kurang elok untuk diucap. Di surga kelak ia akan tetap dipanggil dengan nama yang melekat di dunia. Tidak tahu pasti, apa bisa menukar nama di surga kelak. Nama yang kurang elok bisa diganti dengan nama indah. Wallahu a'lam.
Hari-hari ini pemberitaan pemberian nama sang anak, dan itu untuk menegaskan identitas agama yang dianutnya, Muslimin, jadi pembicaraan ramai.
Niat orang tua itu pastilah baik, agar sang anak dengan menyandang nama Muslimin, ia akan tumbuh dengan tetap memegang panji agamanya dengan kokoh. Akan merasa malu jika melakukan perbuatan tidak terpuji. Niat orang tua itu mulia. Pasti banggalah orang tuanya melihat sang anak bisa berkarir di militer. Dengan pangkat terakhir Kopral Dua (Kopda).
Hari-hari ini berita tentang Kopda Muslimin bersaing ketat dengan berita tembak-menembak polisi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Dalam mengungkap Kopda Muslimin tampak polisi tidak kesulitan. Bisa diacungi jempol.
Secepat kilat 4 tersangka eksekutor ditangkap. Sekaligus otak pelakunya, Kopda Muslimin. Berkat CCTV peristiwa penembakan Rina Wulandari (34), istri Kopda Muslimin, itu bisa diungkap.
Rina Wulandari ditembak eksekutor bayaran. Didalangi sang suami. Konon sudah 4 kali rencana niat menghabisi sang istri diupayakan Kopda Muslimin. Dengan berbagai cara. Coba diracun, diguna-guna, seolah adanya perampokan di rumahnya dengan niat membunuhnya. Dan terakhir, ditembak dengan proyektil tembus ke perutnya. Rina Wulandari sakti, tidak juga. Hanya takdir belum menjemputnya.
Tapi pada kasus tembak-menembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo, polisi tampak kesulitan mengungkapnya. Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang bertugas sebagai sopir istri Irjen Ferdy Sambo mati mengenaskan. Beberapa peluru menembus tubuhnya. Keluarga Brigadir Yosua membuka peti jenazah menemukan goresan di beberapa bagian tubuhnya, beberapa jari tangan patah, mata lebam seperti kena bogem, dan seterusnya. Seperti dituduhkan ada penyiksaan sebelum ia dihabisi.
Peristiwa Kopda Muslimin yang berencana menghabisi sang istri, itu mudah diurai. Bahkan motif pembunuhannya. Ada wanita idaman lain yang disangkutkan pada Kopda Muslimin. Mungkin Kopda Muslimin ingin berpoligami, tapi persyaratan sebagai anggota militer itu ribet, bahkan sulit bisa ditempuhnya. Maka memilih pilihan gila dengan membunuh sang istri jadi pilihannya.
Kasus Kopda Muslimin tidak perlu ada pressure dari masyarakat untuk mengungkapnya. Mulus-mulus saja dan dalam waktu relatif singkat peristiwa dan motifnya bisa diungkap. Pada kasus kematian Brigadir Yosua untuk mengungkapnya, apalagi sampai siapa aktor intelektualnya, perlu tekanan luar biasa. Masyarakat etnis Batak, tidak terima melihat kematian "saudaranya" yang dianggap tidak wajar.
Mau tidak mau kasus ini dipaksa untuk diungkap transparan. Irjen Ferdy Sambo dan beberapa petinggi polisi sudah di-non aktifkan. Presiden Joko Widodo pun perlu meminta Kapolri untuk mengungkapnya secara transparan. Tapi sayang pada kasus Km 50--terbunuhnya 6 laskar FPI--sikap Jokowi pasif. Bahkan eksekutornya pun diputus bebas murni. Ketidakadilan memang acap dipertontonkan. Duh, Gusti!
Siang ini kabar menyesakkan dada muncul. Kematian Kopda Muslimin beredar luas. Bahkan beberapa media televisi menganggapnya sebagai berita penting dan perlu menempatkan pada breaking news.
Kopda Muslimin pagi hari (28 Juli) meminta maaf pada bapaknya, di Kendal, Jawa Tengah. Disarankan sang bapak untuk menyerahkan diri saja. Muslimin masuk pada salah satu kamar, dan ditemukan tak bernyawa dengan diawali muntah-muntah. Rasanya ia tak kuat menanggung malu, dan tentu hukuman berat bakal menanti. Bunuh diri jadi jalan pintas menuju kematiannya.
Betapa hancur luluh hati orang tuanya. Upaya memberi nama yang baik pada anak lelakinya, mendidiknya secara baik, dan menikahkannya. Kewajiban selaku orang tua sudah ditunaikan. Tampaknya itu masih kurang. Dan sang anak memilih jalan takdirnya sendiri. Memilih "Muslimin" hanya sekadar nama. Memilih neraka jahanam selama-lamanya.
Kopda Muslimin dan Brigadir Yosua memilih jalan takdir kematiannya sendiri. Meski motif pembunuhan Brigadir Yosua belum terang benderang. Tapi spekulasi mengendus adanya motif asmara antara Brigadir Yosua dan istri Irjen Ferdy Sambo. Pada waktunya kotak pandora kematiannya akan terbuka terang benderang, atau justru tertutup rapat-rapat.
Satu hal yang pasti, di neraka kelak tidak dikenal nama Kopda Muslimin atau lainnya. Antarpenghuni neraka tidak saling menyapa. Mereka sudah disibukkan dengan siksa neraka yang maha dahsyat. Dan itu mengerikan. Naudzu Billahi min Dzalik. (*)