Memilih Presiden
Oleh Djohermansyah Djohan | Guru Besar IPDN
PEMERINTAHAN itu tak sempurna, "no perfect governance". Tidak terkecuali pemerintahan Presiden Jokowi.
Ada saja kekurangan, kekeliruan, kealpaan, dan ketidakberhasilannya. Tak semua janji-janjinya dalam pemilu lima tahun lalu bisa dipenuhi. Itu manusiawi.
Bagi rakyat yang penting adalah penjelasannya.
Dan, hal itu bukan untuk dirahasiakan atau ditutup-tutupi. Melainkan, untuk dikoreksi, diperbaiki, dan diatasi oleh presiden berikutnya sesuai asas, bahwa pemerintahan itu suatu kontinuitas.
Tersebab pemerintahan itu tujuannya untuk kebaikan orang banyak di seluruh negeri, dan di dalam sistem demokrasi elektoral suksesi kepemimpinan bersifat terbuka lewat pemilu LUBER dan JURDIL, presiden pengganti tidak harus orang-orangnya atau kerabatnya Presiden Jokowi sendiri (the President's man).
Tapi bisa berasal dari luar istana asal terpenuhi syarat-syarat pencalonan dan di dalam diri orang itu berlabuh segudang kebaikan.
Rakyat dibilik suaralah pada akhirnya yang akan menentukannya nanti.
Hal ini penting digarisbawahi, karena pemimpin pemerintahan itu macam-macam tipenya.
Ada yang betul-betul baik, ada yang pura-pura baik khususnya pada masa pemilu, dan ada pula yang jauh dari baik atau di bawah standar.
Presiden pengganti yang baik, menurut pendapat saya, pertama-tama adalah orang yang prima fisiknya, sehat dan kuat mengelilingi seantero negeri, Sabang hingga Merauke, dan sanggup menghadiri pertemuan-pertemuan internasional di ujung-ujung dunia.
Kedua, dia memiliki integritas tinggi dan menegakkan penuh etika tanpa toleransi, yaitu bersih dari korupsi, tak terkait pelanggaran etik serius, dan tak pernah melanggar hak asasi manusia (extra-ordinary crime).
Ketiga, dia mempunyai kompetensi (skills & knowledges) yang mumpuni berbasis rekam jejak lapangan di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Keempat, dia seorang generalis tapi juga seorang spesialis yang memahami manajemen pemerintahan negara, baik menyangkut urusan multi-sektoral, hubungan antar pemerintahan pusat-daerah, dan hubungan antar lembaga tinggi negara.
Kelima, dia seorang pemimpin yang mampu bermitra, "mengewongke", dan menggerakkan birokrasi dalam mewujudkan program-program strategis untuk memajukan kehidupan rakyat secara merata. Bukan yang doyan melakukan politisasi pegawai negeri dan abai terhadap kesejahteraan ASN serta kaum pensiunan.
Semoga pada pilpres 2024 mendatang, orang baik serupa itulah yang akan memenangi kontestasi. Dengan demikian, pemerintahan yang bertujuan untuk memberi kebaikan kepada seluruh rakyat, diisi oleh pemimpin yang baik pula. (*)