Mempertanyakan Dana Haji

Masalahnya, jika sudah masuk dalam keranjang APBN, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Bahkan bukan itu saja, tetapi juga tak ada garansi bila dana itu tidak akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah lainnya. Termasuk proyek yang bertentangan dengan syariat Islam.

by Tamsil Linrung

Jakarta FNN - Keputusan pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tahun 2021 adalah peristiwa besar. Bahkan bersejarah untuk negeri ini. Menyedot atensi rakyat hingga di kampung dan pelosok negeri. Maka jadi konsekuensi logis ketika rakyat mempertanyakan, dan berusaha menerka apa alasan sesungguhnya di balik pembatalan tersebut. Termasuk merambah ke soal dana haji.

Haji, bagi umat Islam adalah penyempurna rukun Islam. Bagi masyarakat Indonesia, haji bukan sekadar simbol. Ritus sakral tersebut dan rangkaian kegiatan yang menyertainya telah menjelma sebagai produk budaya. Di kampung-kampung misalnya, “titel haji dan hajjah” amat sakral. Pelaksanaan ibadah haji, juga diikuti banyak seremoni.

Yang paling merefleksikan betapa haji istimewa di hati umat Islam Indonesia, adalah berbagai upaya dilakukan umat untuk berangkat ke Tanah Suci. Termasuk rela antre. Menyetor uang puluhan juta, meski harus menunggu 45 tahun. Hal ini misalnya, dialami masyarakat di Kabupaten Bantaeng yang mendapat nomor antrean berangkat tahun 2065.

Maka keputusan membatalkan pemberangkatan haji tahun ini sangat mengecewakan. Wajar bila kemudian rakyat bereaksi tidak biasa. Termasuk mempertanyakan di mana uang setoran mereka. Sebab, berembus kabar tidak sedap, jika dana setoran haji itu digunakan untuk pendanaan proyek infrastruktur.

Penjelasan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu barangkali sedikit menenangkan publik. Bahwa dana haji dalam kondisi aman. “Kami mengelolanya dengan prudent dan profesional. Bisa dilihat di laporan audit BPK yang juga ada di website kami. Mohon dicek, apakah ada lokasi untuk infrastruktur? Ya, tidak ada,” demikian penjelasan Kepala BPKH tersebut.

Secara normatif, penjelasan tersebut benar. Memang tidak ada investasi langsung dana haji ke dalam proyek infrastruktur pemerintah. Namun harus dipahami, bukan berarti dana haji tidak dipakai membiayai prasarana yang dibangun pemerintah.

Dana haji, diinvestasikan di bank-bank syariah dan instrumen keuangan syariah lainnya. Misalnya, dalam bentuk pembelian surat utang berlabel syariah (Sukuk) yang diterbitkan oleh negara. Untuk Sukuk, dana haji diinvestasikan sebesar kurang lebih 60 persen. Kemudian didepositokan di bank-bank syariah sebesar 35 persen. Saat ini, jumlahnya sekitar Rp 160 triliun.

Nah, melalui investasi Sukuk ini, dana haji masuk ke dalam keranjang umum APBN. Sementara itu dana lain yang diinvestasikan di Bank Syariah, pilihan paling amannya, juga nyaris pasti akan ditempatkan dalam bentuk Sukuk. Penempatan dalam bentuk Sukuk inilah yang paling aman dari kerugian karena mendapatkan penjaminan dari pemerintah. Konon dana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) pun juga ikut diinvestasikan dalam bentuk Sukuk.

Pertanyaannya, kenapa BPKH tidak secara langsung menempatkan semuanya sebagai Sukuk? Saya kira karena alasan untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ada pencairan. Sebab, investasi Sukuk sifatnya jangka panjang. Hanya bisa ditarik atau dicairkan pada tenggat tertentu.

Dana Infrastruktur

Masalahnya, jika sudah masuk dalam keranjang APBN, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Bahkan bukan itu saja, tetapi juga tak ada garansi bila dana itu tidak akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah lainnya. Termasuk proyek yang bertentangan dengan syariat Islam.

Misalnya, bercampur dana haji dengan penerimaan negara dari pajak tempat hiburan malam, klub malam, pelacuran, pajak minuman keras dan penerimaan bukan pajak (PNBP) lainnya. Sukuk, hingga utang luar negeri dan semua bentuk penerimaan lainnya masuk dalam keranjang APBN.

Inilah yang mestinya menjadi dasar bahwa tidak ada jaminan dana haji tersebut untuk tidak digunakan dalam proyek pemerintah di bidang infrastruktur, bahkan di bidang apapun jika itu dibiayai APBN.

Jika yang dikatakan, tidak ada penempatan secara langsung oleh BPKH, itu benar. Tetapi, tidak ada jaminan bahwa setelah masuk dalam keranjang umum APBN bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk infrastruktur. Bahkan lebih dari itu, bisa saja digunakan untuk proyek-proyek yang bertentangan dengan syariat Islam sepanjang proyek tersebut dibiayai APBN.

Saya lama berinteraksi dengan Kepala BPKH, Anggito Abimanyu. Ketika itu, beliau sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) dan saya sebagai pimpinan Badan Anggaran DPR RI. Anggito sangat profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala BKF. Saya yakin juga sama profesionalnya dalam posisinya sekarang sebagai Kepala BPKH.

Sayangnya, Anggito tidak menjelaskan tentang dana-dana tersebut yang masuk ke dalam keranjang umum APBN dan pendistribusiannya yang sangat memungkinkan dialokasikan mengongkosi berbagai program pemerintah. Baik di bidang infrastruktur, maupun yang lainnya.

Saya perlu menyampaikan penjelasan ini, agar kita tidak terbuai dan merasa sudah sangat aman. Bisa mencairkan keseluruhan dana haji tersebut kapan waktu saja. Ini keliru. Yang kita harapkan, mudah-mudahan dana cadangan sebesar dua kali pemberangkatan haji itu tetap tersedia. Artinya, ada dana sebesar Rp 31,5 triliun. Termasuk yang didepositokan di bank-bank syariah, yang sewaktu-waktu dapat dicairkan.

Penarikan besar-besaran tentu berpotensi membuat bank syariah kesulitan likuiditas. Apalagi bank syariah kita tahu banyak pula yang mengandalkan Sukuk. Terlebih dalam situasi resesi ekonomi. Problemnya, penarikan Sukuk perlu waktu lama. Misalnya 10 tahun. Karena jangka waktu 10 tahun inilah yang menjanjikan keuntungan besar.

Dari Sukuk, BPKH mendapatkan laba yang dikembalikan ke jemaah, kira-kira sebesar di atas Rp 10 triliun setiap tahun. Selain itu, BPKH juga dapat tambahan dana dari setoran jemaah calon haji yang antreannya diperkirakan sekitar 10 sampai 30 tahun kemudian baru bisa mendapatkan giliran berhaji.

Apalagi dengan adanya tambahan jamaah baru dalam dua tahun ini. Paling tidak, ada dana segar dari satu juta calon jamaah haji. Ditambah 420.000 jamaah yang tidak berangkat. Salah satunya karena tahun ini pemerintah membatalkan pemberangkatan haji tanpa alasan yang transparan. Dari itu semua, mestinya ada tambahan setoran baru tidak kurang dari Rp 35 triliun di saku BPKH.**

Penulis adalah DPD RI, dan Ketua Kerjasama Parlemen Indonesia dan Arab Saudi Tahun 2017.

398

Related Post