Menatap Masa Depan Indonesia

Oleh Tony RosyidPengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

HARUS tetap optimistis. Tidak boleh ada kata pesimis. Setiap negara punya masalah yang tidak ringan. Tapi, untuk Indonesia memang cikup berat. Entah harus dimulai dari mana. Para akademisi berharap sebuah perubahan bisa diawali dengan lahirnya seorang pemimpin yang memiliki integrity, capability dan commitment (kenegarawanan) yang kuat.

Masalah di Indonesia boleh dibilang akumulasi warisan dari masa lalu. Terutama Orde Lama dan Orde Baru. Orde Reformasi tidak banyak membuat perubahan kecuali perubahan pada sistem pilpres. Semula menjadi hak pilih MPR, sekarang diambil alih secara langsung oleh rakyat. Hanya itu. Yang lain? Secara substansial, tidak banyak perubahan. Mungkin ada, tapi untuk siapa? Ini pertanyaan yang sangat serius.

Dari aspek mental, Indonesia beda dengan umumnya negara maju. Di negara maju, mereka tahu masalah, lalu berupaya mengatasinya. Di Indonesia, mereka tahu masalah, tapi diwariskannya ke generasi berikutnya. Mungkin kesimpulan ini tidak sepenuhnya tepat. Tapi, faktanya memang terlalu sedikit masalah mendasar yang mampu diatasi oleh setiap rezim. Berganti rezim, masalah tetap sama. Hampir semua masalah diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Dari satu rezim ke rezim berikutnya. Nyaris tidak ada perubahan kecuali hanya infrastruktur.

Sejumlah problem utama dan krusial tidak berubah. Penegakan hukum misalnya, tak ada perubahan signifikan. Padahal, hukum adalah pondasi peradaban bangsa. Jika hukum tidak memberi kepastian dan rasa keadilan, maka sebuah bangsa akan sulit membangun karakternya. Karakter bangsa sangat dipengaruhi oleh penegakan hukumnya.

Hukum, dalam prakteknya, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Apalagi jika politik ikut terlibat. Keadilan menjadi barang langka dan sangat mahal. Tumpulnya hukum dalam waktu yang terlalu lama telah menyuburkan lahirnya para mafia. Semua mafhum, Indonesia adalah negara yang telah dikuasai oleh para mafia. Oligarki disebut sebagai rajanya mafia. 

Selama hukum tidak ditegakkan dan persoalan terkait aparat hukum tidak diatasi, maka Indonesia akan sulit melangkah ke depan untuk menjadi bangsa yang punya harapan sebagai bangsa yang maju. Lemahnya penegakan hukum (law inforcement) menjadi tembok tebal yang akan terus menghambat Indonesia untuk membenahi masa depannya.

Selain hukum, ada masalah birokrasi. "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah". Birokrasi kita terlalu rumit dan berbelit-belit. Semua serba uang dan panjang. Urus pendirian perusahaan, bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Biayanya cukup mahal. Padahal, lahirnya perusahaan akan membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menambah income (pajak) negara. Itu saja dipersulit. 

Di Amerika, seorang gubernur (negara bagian) dan presiden (federal) akan dipilih kembali kalau mampu menambah lapangan kerja. Ini ukuran umumnya negara maju. Di Indonesia, bukan prestasi yang jadi ukuran, tapi pencitraan.

Birokrasi menjadi rumit dan padat biaya (serba bayar). Lagi-lagi, ini ada hubungannya dengan penegakan hukum yang lemah. Korupsi dan suap menjamur jadi tradisi dalam praktek birokrasi kita. Birokrasi menjadi sarang mafia, karena hukum seringkali tidak hadir di sana.

Soal ekonomi, kita juga punya masalah serius. Orang kaya terlalu sedikit dibanding orang miskin. Jarak kaya-miskin terlalu lebar. 1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan negara. 10% menguasai 77% kekayaan negara. 90% warganegara memperebutkan 23% sisanya. 

Satu tanah bisa ada tujuh sertifikat. Mafia tanah bekerjasama dengan oknum birokrat mengambil tanah rakyat dan merampok tanah negara. Ini terus terjadi dan belum sungguh-sungguh mampu datasi.

Kita bisa bayangkan seandainya sumber daya alam (SDA) kita, mulai dari nikel, batu bara, besi, emas, dll, 65% buat negara dan hanya 35% untuk investor (lokal maupun asing), maka kemakmuran rakyat akan terjamin. Pendidikan tidak hanya free sampai SMA, tapi gratis juga sampai kuliah. Kualitas pendidikan dan riset akan mampu mendorong lebih cepat lagi kemajuan bangsa. Inilah cita-cita kemerdekaan bangsa yang terabaikan. 

Empat aspek yaitu penegakan hukum, sistem dalam birokrasi, kekuatan ekonomi dan kualitas pendidikan merupakan pilar peradaban bangsa yang harus dibenahi dan ditata ulama lebih serius, sungguh-sungguh dan terukur. Jika empat pilar ini tidak  berubah, terlalu pesimis berharap Indonesia mengalami perubahan yang berarti di masa depan.

New York, USA, 26 Oktober 2022

418

Related Post