Mencari Pemimpin Tegas dan Mencerahkan
Oleh Darwin Zahedi Saleh l Pemerhati Energi
(Menteri ESDM Era Presiden SBY dan Ekonom Universitas Indonesia)
Pihak yang tidak mau diajak bergabung jangan ganggu pemerintahan saya,” tegas Pak Probowo Subianto sang Presiden Terpilih (Kompas, 16 Mei 2024).
Mungkin bagi sebagian orang itu mengejutkan, tetapi boleh jadi biasa saja bagi sebagian yang lain. Yang jelas, terasa sebagai nada bicara yang teguh tanpa keraguan dan tetap hati untuk melangkah ke depan.
Cocokkah gaya kepemimpinan demikian untuk kita? Mari tengok kesimpulan perbincangan Ali Wardhana, Jacob Oetama dan Rais Abin di tahun 2002. Menurut ketiga tokoh terkemuka itu--kini telah wafat semua—Indonesia memiliki permasalahan yang kompleks sehingga memerlukan pemimpin yang memenuhi kriteria “enlightened autocratic leadership”.
Kepemimpinan yg tegas sangat diperlukan, tetapi agar tidak menjadi otoriter atau diktator perlu ciri "enlightened", sehingga pemimpin dimaksud adalah seorang yg visioner, arif dan punya keteguhan jiwa. Tetapi juga beretika, dalam arti menjunjung norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat kita.
Kompleksitas permasalahan di Indonesia bersifat unik, dipengaruhi oleh kondisi geografi, demografi dan kekayaan alamnya. Pengalaman menunjukkan bahwa sungguh tidak mudah mencukupi kebutuhan dasar—misalnya pangan atau energi—bagi penduduk yang jumlahnya nomor empat terbanyak di dunia ini. Pangan atau energi tidak hanya mesti tersedia (available), tetapi juga harus mudah dijangkau (accessible) dan terjangkau daya beli rakyat (affordable).
Masalahnya, pola persebaran penduduk dan sumber daya alam di Indonesia berbeda: mayoritas penduduk (hampir 80%) tinggal di Jawa dan Sumatera, di lain pihak SDA (sumber pangan atau energi) tersebar di daratan dan perairan nusantara. Akibatnya, isu infrastruktur transportasi dan distribusi logistik di negeri kepulauan terbesar di dunia ini menjadi sangat problematis agar pangan atau energi dapat available, accessible dan affordable.
Di sanalah masalahnya.
Pikiran pragmatis atau “short-sighted” kita cenderung memilih jalan mengimpor saja kebutuhan pangan atau energi, dengan alasan lebih murah, lebih mudah dan efisien. Tentu saja karena ada rente ekonomi di situ. “Mengutip” sedikit saja, asalkan rutin, dari kegiatan importasi —dari setiap nilai barel minyak atau BBM, ataupun dari setiap tonase impor
gandum, kedelai atau daging sapi— menghasilkan keuntungan yang sangat besar.
Lebih dari cukup kalau untuk mensponsori arah suatu kebijakan atau sekadar membiayai kebutuhan kampanye calon pemimpin di tingkat nasional.Tetapi, impor energi atau pangan dapat membahayakan ketahanan ekonomi bangsa bila berlebihan. Itu mesti diwaspadai. Bagaimana bila sistem perizinan dan kebijakan importasi itu melibatkan atau mendapat kemudahan, misalnya, dari orang-orang penting di sekitar presiden?
Siapkah Pak Prabowo meng-“handle the truth” bila kelak kasus-kasus demikian dijumpainya? Mudah dibicarakan, sungguh sulit dipraktekkan!
Dalam mengatasi kebutuhan energi dan pangan, selama ini kita sepertinya terperangkap dalam lingkaran setan (vicious cycle). Saat ini, Indonesia cuma mampu memenuhi 40% persen kebutuhan BBM-nya. Sudah hampir tiga puluh tahun tidak ada pembangunan kilang baru untuk mengolah minyak menjadi BBM.
Perlu kapasitas kilang 1,5 hingga 2 juta barel per hari agar Indonesia tidak perlu bergantung pada BBM impor. Pemerintahan Jokowi sudah merencanakan pembangunan kilang sejak tahun 2015—belakangan cukup serius dengan adanya proyek Refinery Development Master Plan dan Grass Root Refinery—tetapi belum ada kemajuan yang berarti.
Presiden pun suatu kali dibuat jengkel dan curhat tentang itu di ruang publik.
Pembangunan kilang baru ataupun penambahan kapasitas kilang sebetulnya hanya menjawab sebagian masalah. Dari sisi penawaran, percepatan diversifikasi bahan bakar nabati ataupun segera meng-konkretkan gasifikasi atau likuifaksi batubara penting dalam mengurangi tingginya ketergantungan pada impor BBM. Dari sisi permintaan, kebijakan sektor transportasi ataupun pembangkitan listrik yg lebih tepat akan besar pengaruhnya.
Tetapi sungguh tidak mudah. Adabanyak vested di sektor energi, transportasi maupun industri otomotif.Impor minyak dan BBM untuk kebutuhan energi di negeri kita sudah terlalu besar, akibatnya surplus hasil ekspor nonmigas (2023:$ 57 milyar) terpangkas oleh defisit migas (2023:$ 20 milyar). Hal itu terutama disebabkan oleh begitu besarnya impor minyak mentah dan BBM senilai $ 32,1 milyar, untuk tahun 2023 lalu. Begitu pula kurang lebih gambaran tahun-tahun
sebelumnya.
Kebutuhan impor minyak yang sangat besar itu pada hakikatnya diredam oleh hasil ekspor batubara, yang menyumbang 55-60% dalam ekspor non migas kita. Malangnya, itu semua dibayar mahal dengan penggalian drastis cadangan batubara kita, sehingga Indonesia menjadi eksportir batubara terbesar di dunia. Itu memprihatinkan, tidak pantas dibanggakan.
Cadangan batubara Indonesia hanya sekitar 3% cadangan dunia. Bandingkan dengan negara lain yg cadangannya jauh lebih besar Amerika (23%), Rusia (15%), Australia (14%) cadangan dunia
tetapi ketiganya berada di urutan setelah Indonesia. Tujuan ekspor batubara Indonesia terutama ke India dan China, keduanya justru memiliki 3 hingga 4 kali lipat cadangan batu bara Indonesia, jauh lebih besar. Tidak seperti bangsa lain, kita abai dalam mengkonservasi penggunaan batubara ataupun SDA kita.
Perlu sejumlah mata uang dollar yg sedemikian besar untuk impor minyak, akibatnya nilai tukar rupiah tertekan sehingga terus melemah. Padahal, enam dari sembilan komponen Sembakomasih diimpor, perlu devisa lebih besar bila nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar. Lemahnya rupiah pada gilirannya juga ikut berpengaruh pada meningkatnya nilai subsidi listrik dan BBM yang mesti ditanggung APBN. Problem di neraca perdagangan LN itu merembet ke APBN.
Di tataran identifikasi masalah, sudah tepat bila sang Presiden Terpilih memberi perhatian serius
pada isu ketahanan energi, ketahanan pangan dan hilirisasi industri. Tetapi, ada berbagai kepentingan besar dan target-target nasional lain di sekitar itu, baik itu berupa target ekspor non migas, target pertumbuhan industri otomotif dan trade-off hubungan dagang yang mengikat
dengan berbagai mitra luar negeri. Kita berharap Presiden Terpilih sanggup menangani semua the truth itu mana kala membahayakan ketahanan nasional dan kedaulatan bangsa.
Mengatasi penyakit kronis begini, perlu pemimpin yang sanggup dengan mantap menetapkan target waktu, menjadwalkan (scheduling) dan membuat tahapan (sequencing) langkah-langkah yg pasti untuk itu. Sungguh tidak mudah, mari doakan. Agaknya benar, kita perlu “enlightened autocratic leadership”, yang tetap hati dan punya keteguhan melangkah.