Menegakkan UUD 45 Secara Murni dan Konsekuen (dengan Politik, bukan Dekrit)
Oleh Ridwan Saidi
Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 karena Presiden Sukarno anggap Konstituante gagal menjalankan tugasya, padahal tugas itu baru berakhir Agustus 1960. Konstituante bekerja menyusun konstitusi selama tiga tahun, terhitung pembentukannya Agustus 1958 berdasar hasil Pemilu 1957.
Dekrit diberlakukan dengan Kepres No. 150/1959 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/1959.
UUD yang didekritkan itu adalah Putusan PPKI 18 Agustus 1945 yang ditempatkan dalam Berita Negara Januari 1946.
Sesuai dengan asas pemberlakuan, sampai dengan penempatannya dalam Berita Negara, UUD 45 tak dapat diberlakukan. Karena itu yang dibentuk setelah proklamasi kabinet presidensial yang dipimpin Wapres Muhammad Hatta. Karya mereka Maklumat No. X November 1945 tentang pembentukan partai.
Pemahaman tentang asas pemberlakuan ini penting karena mereka yang pro-perubahan konstitusi mengingkarinya atas dasar pandangan yang tidak objejtif. Ketika Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengajukan konstitusi hasil empat kali perubahan ke Setneg untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara, ditolak, alasan Setneg format konstitusi bikinan reformasi itu tak dikenal. Seharusnya tak boleh diberlakukan, karena UUD 45 perubahan itu onrechterlijk sehingga itu menjadi onrechtlijk. Tidak diformat sesuai hukum, karenanya bukan hukum.
Kenapa berlaku? Karena political power bukan karena kaidah hukum.
Sejak era SBY UUD 45 perubahan ramai didiskusikan. Pada tahun 2005 saya pembicara bersana Kian Gie, dan almarhum Amin Aryoso. Saya mengatakan bahwa UUD 45 yang murni tidak diberlakukan secara politik, tapi UUD 45 perubahan tak berlaku sesuai hukum tapi diberlakukan secara politik. UUD 45 yang murni harus ditegakkan dengan politik, karena secara hukum konstitusi ini yang berlaku. UUD 45 yang murni tak perlu dikembalikan, karena masih di tempatnya. UUD 45 tak perlu Dekrit. Dekrit perbuatan hukum, menegakkan UUD 45 perlu perbuatan politik, karena UUD 45 dibungkam secara politik, bukan secara hukum.
Mendekrit UUD 45 dalam statusnya seperti ini onrechtmatig, bukan cara hukum. Berbuat rechtlijk tak dapat dengan onrechtmatigdaad, cara-cara di luar hukum.
Keadaan Indonesia yang morat-marit seperti sekarang bukan disebabkan rezim saja, tapi juga sistem. Sebagai penutup saya ingin mengucapkan ahlan wa sahlan kepada tokoh pelopor perubahan empat kali UUD 45. Semoga bapak tidak tergoda dengan orang yang omong Dukrat-Dekrit. Nanti bisa salah lagi, Pak.
*) Budayawan