Mengenang Markis Kido: Kegigihan Ayah dan Kerja Keras Anak

Kegigihan dan pengorbanan Djumharbey akhirnya terbalas dengan melesatnya prestasi Kido bersama Hendra. Mereka juara di berbagai pertandingan regional dan internasional, serta bertengger di papan atas peringkat BWF (Badminton Word Federation).

Oleh Rahmi Aries Nova

Jakarta, FNN - SEPEKAN telah berlalu, kepergian mendadak Markis Kido, pada Senin (14/6), akibat serangan jantung saat bermain bulutangkis di GOR Petrolin Tangerang, masih menyisakan duka yang mendalam pada rekan-rekannya saat di Pelatnas PBSI Cipayung, lawan-lawannya di berbagai turnamen, terlebih keluarganya. “Duka dan trauma memang tidak bisa sekejap lenyap, kami masih turut merasakan kesedihan dan duka mendalam atas kepergian almarhum Kido yang begitu cepat. Sekali lagi mohon maaf lahir batin untukmu Do dan keluarga almarhum yang ditinggalkan,” ungkap Candra Wijaya, pebulutangkis panutan Kido dalam akun Instagramnya.

Pemilik GOR Candra Wijaya International Badminton Center ini mengaku ada beberapa hal yang ia belum sampaikan secara tepat. Oleh karena itu, ia juga memohon maaf, tentang kronologis kepergian Kido mulai saat jatuh di lapangan, saat dibawa ke rumah sakit terdekat, hinga Kido dinyatakan meninggal dunia pada pukul 19.17 WIB oleh pihak rumah sakit.

Pihak keluarga sendiri, melalui sang ibu, Yul Asteria, mengatakan telah ikhlas atas kepergian suami dari Richa Sari Pawestri (sesama pemain Pelatnas), ayah dari Quensha dan Quenara. Sepekan ini ibu empat anak ini selalu memposting foto-foto almarhum di akun medsosnya baik saat Kido sedang di lapangan, maupun di luar lapangan bersama keluarga.

Penulis sendiri rasanya seperti baru kemarin bertemu ayah Kido, almarhum Djumharbey Anwar, yang terduduk di kursi kayu panjang di pinggir lapangan Pelatnas PBSI. Padahal, peristiwa itu terjadi 20 tahun yang lalu. Kala itu, saya dan beberapa rekan yang sehari-hari meliput di Cipayung, melihat laki-laki paruh baya membawa setumpuk berkas dan kelihatannya seperti menunggu seseorang di pinggir lapangan.

Pada saat kami menghampiri laki-laki tersebut, ia mengaku menunggu Ketua Umum PBSI Subagyo HS yang sedang rapat di ruang atas gedung bersama pengurus lain. Seperti sudah tidak sabar ingin curhat, laki-laki yang tak lain ayah Kido itu pun mengaku ingin menghadap langsung Subagyo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), menyangkut proses promosi di PBSI.

Intinya Djumharbey membawa data putranya, Kido, pemain kelahiran 11 Agustus 1984, yang telah mencetak prestasi di berbagai kejuaraan seri (sirkuit) nasional yang menjadi acuan pemilihan pemain untuk masuk ke Pelatnas. Bahkan, data tersebut pun ia lengkapi dengan setumpuk kliping dari berbagai media cetak yang memuat berita dan foto putranya.

Seperti jumpa pers terbatas akhirnya kami pun memuat keresahan sang ayah dan mengulas sepak terjang Kido di media kami. Kesimpulannya, Kido wajib mendapat satu kursi di Pelatnas tunggal putra yang ketika itu persaingannya cukup ketat. PBSI pun akhirnya memanggil Kido menjadi penghuni Pelatnas (Pemusatan Latihan Nasional) Cipayung, kawah candra dimuka pebulutangkis Indonesia, sebelum mentas di panggung dunia.

Saya salut dengan keberanian sang ayah, karena meski tubuhnya terlihat ringkih, ia tak gentar menghadap Subagyo HS, jenderal berkumis yang menurut saya agak ‘angker’, demi memperjuangkan putranya.

Berikutnya Djumharbey juga sukses mengantarkan dua adik Kido, Bona Septano dan Pia Zebadiah Bernadet ke Pelatnas menyusul sang kakak.

Sepanjang sejarah Pelatnas mungkin baru keluarga Djumharbey dan keluarga Mainaky (Richard, Rexy, Reony, Marleve) yang menjadi penyumbang anggota keluarga terbanyak ke PBSI. Di Pelatnas ternyata Kido harus memilih tetap bertahan di tunggal putra yang ketika itu masih didominasi oleh Taufik Hidayat, atau pindah ke nomor ganda putra berpasangan dengan rekannya sesama pemain asal Jaya Raya Hendra Setiawan yang menyusul ke Pelatnas di tahun berikutnya.

Meski sang ayah lebih menginginkan Kido sukses sebagai pemain tunggal, tetapi akhirnya ia mengalah ketika Kido memilih bergabung dengan tim ganda putra yang dikomandoi pelatih Herry IP dan Sigit Pamungkas.

Penulis melihat suasana kekeluargaan di ganda putra menjadi salah satu pertimbangan, selain prestasi dan tradisi emas olimpiadenya. Ketika itu, tim ganda putra Pelatnas mempunyai jadwal makan bersama di luar Pelatnas setiap Rabu siang.

Acara ini kerap diisi berenang bersama untuk mengisi waktu luang. Berbeda dengan suasana di tunggal putra yang lebih individualistis.

Kegigihan dan pengorbanan Djumharbey akhirnya terbalas dengan melesatnya prestasi Kido bersama Hendra. Mereka juara di berbagai pertandingan regional dan internasional, serta bertengger di papan atas peringkat BWF (Badminton Word Federation).

Sayangnya, Djumharbey tidak sempat melihat putra kebanggaannya meraih puncak prestasinya, meraih emas Olimpiade Beijing, pada 16 Agustus 2008. Ia berpulang pada 2 April 2008.

Kini Kido, yang dimakamkan satu liang dengan sang ayah. Ia tidak bisa melihat siapa yang akan menjadi penerus tradisi emas ganda putra setelah ia menjadi ganda putra Indonesia terakhir peraih emas Olimpiade, setelah pasangan Rexy Mainaky/Ricky Subagja (Atlanta 1996), Candra Wijaya/Tony Gunawan (Sidney 2000).

Ia juga belum sempat mencicipi uang pensiun seumur hidup bagi atlet peraih medali Olimpade yang hanya sebatas janji-janji tanpa realisasi. Apalagi, melihat fakta, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) terus dikorupsi dan atlet berprestasi tetap gigit jari. **

Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id

380

Related Post