Menjaga Independensi KPK

Oleh Suhardi - Wirausaha Media Sosial

Pemanggilan Anies (ABW) oleh KPK tanggal 7 September 2022 telah menimbulkan berita besar di masyarakat. Jika melihat pemberitaan di media, setidaknya ada 2 spektrum yang berlainan pandangan. Pada satu sisi,   sebagian besar media menyatakan   bahwa ABW merupakan kepala daerah yang taat aturan dan kooperatif dan  berbeda dengan beberapa kepala daerah lainnya yang sering menunda pemeriksaan KPK. Sementara pada sisi lain,   masyarakat menyatakan bahwa pemanggilan ini sangat penting untuk menunjukkan independensi KPK.

Terlepas dari itu,  namun tetap saja  mayoritas masyarakat memandang bahwa pemanggilan ini  mengindikasikan bahwa KPK pilih kasih. Mengingat untuk beberapa kasus yang lain, KPK  justru menggantung dan kurang jelas kapan akan melakukan. Seperti: kasus Harun Masiku yang bukan saja dibebaskan dan bahkan nyaris dibiarkan. Demikian pula dengan dugaan kasus korupsi RS Sumber Waras, lahan di Taman BMW, lahan Cengkareng Barat dan lainnya,  Kontroversi penegakan hukum atas kasus korupsi ini,   mengakibatkan keberadaan KPK  dalam pemberantasan praktek korupsi mulai diragukan. Banyak pihak yang  menilai bahwa KPK telah berubah dari lembaga independent dalam pemberantasan korupsi telah menjelma menjadi lembaga politik untuk menindak kasus-kasus korupsi  . 

Independensi Kelembagaan

Ketidakberdayaan KPK dalam mengurus persoalan korupsi belakangan ini membuat masyarakat ragu akan keberadaannya.  Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi nampaknya mulai surut pasca  kelahiran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Independensi  KPK yang bertujuan   agar dalam menjalankan perannya tidak dipengaruhi oleh kekuasaan nampaknya  mulai diragukan seiring dengan revisi Undang-Undang.  Hal ini terlihat dari adanya Dewan Pengawas, penempatan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif, status kepegawaian, dan  penyelidik serta   penyidik  tidak semata  telah membatasi kewenangan KPK, melainkan   juga mengurangi dan melemahkan independensi KPK dalam memberantas korupsi  (Zainal Arifin Mochtar, Jurnal Konstitusi, Volume 18, 2021) 

Kritik dan bahkan kekuatiran masyarakat terhadap lembaga KPK yang tidak independen  dan telah menjadi alat kekuasaan pada dasarnya sudah mulai terasa dalam 2 tahun terakhir.  Bahkan sebagai institusi negara yang diharapkan bebas dari pengaruh kekuasaan untuk memberantas korupsi,  terlihat semakin   diragukan oleh masyarakat. Sehingga,    bentuk  kegiatan pemberantasan korupsi yang disepakati dalam United Nations Convention Against Corruption,  yaitu pencegahan, penindakan,   peningkatan kesadaran dan pendidikan anti korupsi terkesan kurang berjalan effektif.

Kewajiban dan tugas KPK melakukan pengawasan, penelitian dan penelahaan terhadap instansi dalam pemberantasan korupsi terlihat belum berjalan maksimal. Terutama dalam mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian. Sekalipun kecil dan terbatas, namun fungsi penindakan atas kasus korupsi yang melibatkan aparat negara sudah berjalan. Di sisi lain, perubahan undang-undang KPK menurut banyak ahli justru semakin memperlemah  keberadaannya sebagai lembaga independent dalam pemberantasan korupsi. 

Kesan bahwa independensi KPK secara berlahan mulai dikurangi terlihat dengan adanya   pengaturan pasal yang mengintervensi kewenangan  KPK ketika  melaksanakan tugas. Keberadaan KPK yang semakin menurun dalam menjalankan peran dan tugasnya dan kritik masyarakat terhadap kelembagaan  yang mulai tidak independen telah dibantah oleh Ketua KPK. Menurutnya, hingga saat kini KPK masih cukup netral dalam melaksanakan tugasnya. Pemanggilan Anis sebagai saksi dalam proses penyelidikan merupakan sesuatu yang biasa   sebagai upaya mencari barang bukti dan keterangan. Terlebih lagi, orang yang diperiksa merupakan pihak yang pengetahuannya banyak berkenaan dengan masalah yang ditangani KPK.  

Alat Politik 

Banyak pihak yang merasakan bahwa keberadaan KPK dewasa ini terlihat semakin menurun peran dan kapasitasnya. Bahkan KPK diduga telah menjadi alat politik kekuasaan. Hal ini terlihat  dari beberapa unsur pimpinan KPK yang dianggap dan ditengarai  memiliki kaitan dengan kepentingan politik tertentu. Sehingga tindakan apapun yang dilakukan bukan   untuk penegakan hukum,   melainkan karena pesanan politik.

Bambang Widjojanto (mantan pimpinan KPK tahun 2011-2015) mengatakan bahwa apa yang dilakukan KPK   tidak lepas dari unsur politik, terutama terkait dengan pemilu 2024. Terlebih lagi jika melihat persaingan politik yang semakin memanas dan mengakibatkan ketegangan politik yang sulit dihindari. Sehingga penyelidikan kasus korupsi terhadap orang yang memiliki kekuatan politik dan  merupakan lawan politik dari kekuasaan menjadi penting.

Karena itu, yang menjadi tanda tanya banyak orang, apakah pemanggilan Anies dalam kasus Formula E benar-benar untuk urusan penyelidikan korupsi atau sebatas untuk kepentingan politik.  Semoga saja, KPK tetap tunduk pada kittahnya yaitu memberantas korupsi bukan memenuhi kepentingan politik.

384

Related Post