Modus Konspirasi Dibungkus Interpelasi
Oleh Yusuf Blegur*)
Masih banyak lagi praktek distorsi penyelenggaraan negara dan 'abuse of power' oleh rezim kekuasaan yang didukung dan ditopang oleh PDIP, PSI dan kolega lainnya. Segudang masalah rakyat yang sudah akut dan kronis tak akan bisa ditampung oleh presiden dengan 3 periode atau seumur hidup sekalipun. Dimana suara PDIP dan PSI? Apakah bisa PDIP dan PSI bertanya begitu lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan seperti pada program Formula E?
Fraksi PDIP dan Fraksi PSI belakangan ini terus bergerilya meramaikan parlemen DKI. Pasalnya, kedua fraksi tersebut menjadi penggagas sekaligus menggulirkan hak interpelasi progam Formula E yang diagendakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Manuver kedua kumpulan politisi yang menjadi perpanjangan tangan partai politik koalisi pemerintahan pusat itu semakin intensif dengan terus berusaha menggalang dukungan luas parlemen dan opini publik. Sudah bisa ditebak, atmosfer politik ibukota berseliweran efek isunya, bagaikan sampah berserakan di gorong-gorong dan sudut kota. Para pendengung, influencer dan buzzer, sepertinya mulai ancang-ancang mengambil momen dan menjadi sibuk merekayasa sedemikian rupa. Bersinergi dengan parpol inisiator interpelasi, seketika memungut dan mempreteli program kreatif dan inovatif penyelenggaraan pemerintahan Ibukota. Kemudian olahan mereka, menjadi propaganda dan agitasi terhadap ajang balap mobil yang merupakan kegiatan olah raga yang prestisius dan berskala internasional.
Sejatinya hak interpelasi yang digulirkan anggota DPRD DKI itu. Jika memang digunakan secara ideal dan jujur, merupakan langkah politik yang sah dan wajar-wajar saja. Konstitusi mendukung. Jika benar dan bertanggungjawab memungkinkan dukungan rakyat tak terbendung. Bahkan penggunaan hak interpelasi bisa dianggap baik jika belum bisa dikatakan sebagai prestasi dewan. Karena hak politik legislator terkait menanyakan seberapa strategisnya dan menjadi skala prioritas untuk program pemerintah provinsi DKI. Sejauh ini jarang digunakan oleh parlemen terlebih pada saat itu benar-benar dibutuhkan dan berkolerasi tinggi dengan kehidupan masyarakat.
Sayangnya, hak interpelasi yang diinisiasi PDIP dan PSI di parlemen provinsi yang menjadi barometer nasional itu. Saat diluncurkan tidak didukung oleh faktor subyektifitas dan obyektifitas yang mumpuni. Agenda interpelasi sangat kental diselimuti oleh banyaknya persoalan dewan sendiri, yang harusnya bisa diselesaikan dan menjadi ranah internal. Dinamika dan keputusan legislator DKI sangat dipengaruhi oleh interes dan target partai politiknya masing- masing. Mereka bisa bersama di Senayan, namun berpisah di Kebon Sirih. Mulai dari perumusan dan pembahasan masalah, bahkan banyak produk politik yang saling menegasikan. Contohnya pada pengajuan hak interpelasi yang bergulir kali ini, kadung dianggap sepi dan tak direspons banyak pihak. Termasuk oleh sebagian besar fraksi. Selain tidak proporsional, tidak tepat sasaran dan dianggap banyolan oleh masyarakat. Hanya para pendengung, influencer dan buzzer yang terlihat antusias dan bergairah menyikapi hak interpelasi. Kehadiran mereka terasa saat melihat siasat interpelasi dalam parade karangan bunga, video vlog dan pelbagai jasa narasi sumir berbayar.
Parlemen Tekor
Pada akhirnya publik melihat bergulirnya hak interpelasi soal Formula E. Lebih mengesankan fraksi parlemen pengusungnya, seperti kurang kerjaan dan tendensius. Dinamika DPRD kali ini melalui hak interpelasi dilihat publik sebagai rangkaian dari banyaknya resistensi dan sinisme terhadap program pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, khususnya di bawah kepemimpinan Anies Baswedan. Partai Politik yang notabene koalisi pemerintahan nasional dan dominan mewarnai parlemen DKI. Tidak bisa dipungkiri terus melakukan penolakan terhadap figur Anies Baswedan meski kontestasi Pilkada DKI Jakarta telah usai sejak lama.
Kemenangan Anies Baswedan sebagai seorang Gubernur Jakarta memang masih menyimpan dendam politik kesumat dan dianggap merusak agenda politik nasional jangka panjang bagi kepentingan tertentu. Konsekuensinya, segala cara dilakukan untuk menjatuhkan, setidaknya merongrong kinerja Anies Baswedan. Faktanya tidak sedikit intrik dan fitnah menyelimuti politik kota metropolitan. Publik masih ingat saat rumor rumah mewah hasil gratifikasi proyek reklamasi dan sederet hoaks yang menerpa Gubernur DKI. Dengan kapasitas dan integritas yang dimiliki seorang Anies Baswedan bisa dibilang, menghadapi perilaku dan ambisi politikus Jakarta jauh lebih menguras energi ketimbang membangun kotanya sendiri. Namun dengan elegan, lagi-lagi Anies menjawab dengan taktis dan humanis. Santun, dengan senyum dan logis membuat lawan politik semakin meringis kehilangan akal.
PDIP dan sekutunya menganggap gubernur Jakarta bukan sebagai kawan ideologis dan berbahaya bagi kepentingan konspirasi politik kekuasaan. Anies Baswedan yang belakangan makin bersinar dan digadang-gadang publik menjadi calon pemimpin nasional masa depan. Masih diidentikan dengan sosok yang intoleran, radikal dan terlalu bersahabat dengan gerakan politik dan populisme Islam. Asumsi itu membuat Anies Baswedan yang penuh catatan prestasi dengan segudang karya-karya intelektual dan kebijakan pembangunan humanis. Oleh PDIP dan konco-konco partai politik nasionalis sekuler-liberal yang kapitalistik lainnya. Sistemik membuat framing yang terus-menerus tak berdasar dan penuh kejahatan politik. Anies Baswedan dipaksakan sedemikian rupa dan dengan pelbagai cara direkayasa menjadi musuh bersama. Ambisi gelap dan hitamnya konspirasi menjatuhkan, terlalu kentara dan berlebihan menempatkan Anies sebagai tokoh yang stereotip hingga terkesan antagonis seperti dalam sinetron.
Formula E dan Balapan Capres
Hak interpelasi DPRD DKI Jakarta yang dimotori Fraksi PDIP dan PSI bukan saja menunjukkan ketidakcerdasan semata, melainkan juga menjadi indikator betapa panik dan reaksionernya penguasa PDIP dan PSI membaca konstelasi politik nasional dan menguatnya figur Anies Baswedan.
Beberapa narasi andalan yang menjadi isi interpelasi oleh Fraksi PDIP dan PSI yang lebih dominan disuarakan oleh serdadu bayaran media sosialnya. Seperti mencapai anti klimaks. Laksana buah pohon jatuh ke tanah sebelum masak. Bagaikan niat mendaki gunung namun tergelincir ke jurang. Jauh sebelum paripurna hak interpelasi digelar. Manuver politik Jakarta dari gedung DPRD itu seolah-olah menampar muka sendiri. Menjadi bumerang dan menelanjangi PDIP dan PSI sebagai partai politik berkuasa di pentas nasional.
Sungguh menakjubkan dan luar biasa. Bahkan sebelum sidang parlemen berlangsung dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Anies Baswedan selaku gubernur menjawab interpelasi.
Publik telah mendahuluinya. Bukan hanya sekadar menjawab, tapi masyarakat Jakarta dan bahkan yang tersebar di seluruh Indonesia memberikan rasionalisasi terhadap interpelasi yang belum berlangsung itu. Juga semua korelasinya terhadap kepentingan dan kehidupan rakyat baik Jakarta maupun nasional yang aktual.
Pertama
Bahwa rencana kegiatan balap mobil Formula E telah disiapkan baik secara program dan anggaran jauh sebelum pandemi.
Artinya, kegiatan tersebut yang pelaksanaannya menjadi isu prioritas pada tahun 2022 seperti yang tertuang dalam Instruksi Gubernur Nomor 49 Tahun 2021. Sesungguhnya telah mengalami proses legislasi dan persetujuan DPRD DKI. Sampai munculnya usulan hak interpelasi, disikapi dengan penolakan hak interpelasi oleh 7 fraksi di parlemen. Mereka diantaranya Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Nasdem dan Fraksi PPP-PKB. Ini menegaskan mayoritas fraksi yang berkantor di kawasan balai kota itu menolak usulan hak interpelasi.
PDIP dan PSI seperti ditelanjangi dan menahan malu karena itikad politiknya tidak mengikat sebagian besar fraksi seperti yang biasa terjadi di parlemen senayan. Tercium aroma PDIP dan PSI tidak menyukai Anies Baswedan, mitra kerja pemerintahannya di Jakarta.
Kedua
Terkait kegiatan yang menyerap anggaran yang tidak sedikit, disinyalir menghabiskan lebih dari 1 triliun jika serinya Formula E digelar beberapa tahun. Pemprov DKI telah memberikan rasionalisasi terkait kegiatan itu dengan memenuhi aspek studi kelayakannya (feasibility studies), penganggaran, penyelenggaraan dan potensi kegiatan tersebut. Pun demikian, anggaran biaya Formula ini terbilang besar. Namun rencana pelaksanaan evennya di Jakarta jauh lebih murah dibandingkan dengan penyelenggaraan kegiatan sejenis di beberapa negara lainnya.
Kegiatan balap mobil listrik Formula E, ditinjau dari anggaran yang digelontorkan pemprov DKI. Pada substansinya dinilai berpotensi membangun nama baik dan kepercayaan dunia internasional yang berdampak pada investasi luar negeri dan termasuk menggerakkan ekonomi Jakarta hingga 1,2 triliun. Selain ekonomi, ada kampanye penggunanaan moda tranportasi ke depan yang bebas emisi. Ada nilai lebih dari sekedar penggunaan dan pencapaian materi.
Ketiga
Soal yang terkait dengan sensitivitas dan skala prioritas penyelenggaraan Formula E di tengah pandemi. Anies Baswedan juga telah mengambil kebijakan untuk membatalkan 2 seri Formula E di tahun 2020 dan 2021 karena angka pandemi yang sempat melonjak. Sebuah langkah bijak dan penuh empati dari gubernur metropolitan berkapasitas internasional. Terkait Instruksi Gubernur yang membuat kegiatan Formula E menjadi isu prioritas dilaksanakan pada 2022. Justru hal ini dilakukan agar dapat menjadi salah satu faktor yang dapat memicu sekaligus menggairah ekonomi Jakarta.
Mengingat pertumbuhan ekonomi menjadi melambat akibat dampak krisis yang disebabkan pandemi. Pemerintah Provinsi DKI juga berusaha tidak kehilangan anggaran pembiayaan yang tidak sedikit juga, telah dikeluarkan untuk pelaksanaan Formula E. Dengan evaluasi dan antisipasi yang matang, program strategis itu memang layak direalisasikan.
Itulah beberapa deskripsi dan eksplorasi program Formula E pemprov DKI yang bersumber pada aspek visioner dan futuristik membangun Jakarta. Tentunya berdasarkan juga pada kemampuan anggaran dan antusiasme sebagian besar masyarakat khususnya kalangan pecinta olah raga dan dunia otomotif. Tak ubahnya pemerintahan pusat dibawah komando Jokowi dengan program pembangunan mercusuar infra strukturnya, meski berbiaya sangat mahal dan fantastis serta menggunakan hutang negara.
Menepuk Air Di Dulang, Terpericik Muka Sendiri
Alih-alih mendiskreditkan dan mendowngrade kebijakan Anies terkait program Formula E. Kader-kader PDIP dan PSI di balai kota cenderung menjadi keder. Bagaimana mungkin dari kader menjadi keder? Politisi PDIP dan PSI yang sudah lama berseberangan dengan gubernur DKI. Bersama pasukan pendengung, infuencer dan buzzer sering dan selalu mengkapitalisasi kebijakan Anies yang dianggap lemah dan menjadi celah politisasi. Namun justru menjadi bumerang bagi PDIP dan PSI.
Menariknya, narasi yang dibangun untuk menyerang Anies Baswedan dalam soal Formula E. Pada esensinya justru menjadi blunder, karena seperti membuka aib mereka sendiri. Apa yang dieksploitasi oleh PDIP dan PSI tentang skala prioritas dan urgensi kebijakan, transparansi dan akuntabilitas anggaran, efisiensi dan efektifitas program serta prinsip-prinsip keadilan sosial dalam pembangunan. Justru nilai-nilai itu yang paling sering dilanggar oleh pemerintahan selaku eksekutif dan legislatif pada level pusat. Mereka seperti sedang menghakimi orang lain tidak Pancasilais dan merongrong NKRI, seiring itu mereka hidup dalam kemunafikan politik.
Mirisnya, PDIP dan PSI adalah partai penyokong kekuasaan, terlebih salah satu petugas partai PDIP menjadi seorang presiden, pucuk pimpinan negara yang menentukan baik buruknya nasib rakyat dan negara secara keseluruhan.
Kader-kader PDIP dan kompatriotnya yang melakukan korupsi bansos saat rakyat hidup menderita karena pandemi. Seperti tidak membekas dan tidak tahu malu. Korupsi juga mewabah hampir di semua lini dan lintas sektor lembaga pemerintahan yang banyak diisi oleh kader-kader PDIP dan koalisinya. Begitu juga soal hutang negara yang terus membengkak yang dipenuhi bisnis rente dan rawan korupsi, semakin membebani dan mencekik hidup rakyat. Tidak sedikit perampokan dan pemborosan uang negara oleh mereka melalui bagi-bagi kekuasaan dengan mendudukkan relawan dan kader partai yang tidak kapabel dan kompeten pada jabatan publik yang penting dan strategis.
Begitu juga dengan PPKM yang berjilid-jilid dan aturan prokes lainya. Terutama saat pandemi dijadikan politik dan alat melanggengkan kekuasaan. Bukan hanya intimidasi, teror dan kekerasaan, rakyat kecil harus mengalaminya hanya kerena ingin bekerja mencari rezeki untuk memenuhi nafkah keluarganya. Mereka rakyat kecil harus menderita dan mengalami penindasan justru pada saat memperjuangkan haknya sebagai warga negara.
Kehidupan demokrasi juga dibungkam. Hukum menjadi alat kekuasaan. Hanya melahirkan sistem tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas. Pelecehan dan penistaan agama terus mengalami pembiaran. Bukan hanya suara dan aksi unjuk rasa yang direpresi, sekadar karya seni lewat mural juga diburu aparat keamanan. Keadilan hanya mimpi, yang nyata rezim yang tirani.
Bagaimana sikap dan tindakan PDIP dan PSI mewujudkan rasa peduli dan keberpihakannya pada rakyat seperti saat kritis pada kebijakan Formula E? Apa yang dilakukan saat rakyat mengeluh Tuhan aku lapar? Apa responsnya saat rakyat bicara aku cuma ingin kesehatan bukan aturan?. Bertanyalah pada rakyat, apa yang sesungguhnya dialami dan dirasakan rakyat?. Tentang rasa sakitnya dan tentang tangisnya. Tentang kelaparannya, kehilangan dan kematiannya.
Harusnya PDIP dan PSI tegas mengambil inisiatif dan solusi persoalan yang dihadapi rakyat di depan mata. Berani bertanya pada presiden soal rakyat yang hidupnya begitu sengsara. Tanyalah dan dapatkan jawabannya dengan solusi bukan akrobatik yang tidak lucu dan tidak bisa menghibur, bahkan melukai rakyat. Mengapa hanya bertanya pada seorang Anies Baswedan, gubernur DKI dengan segudang prestasi tapi tetap low profile dan senyum meski didzolimi?.
Masihkah inisiator interpelasi DPRD DKI memiliki kehormatan?. Masihkah PDIP dan PSI punya kemaluan?
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.