Mubahalah Berefek Domino
Oleh Ady Amar | Kolumnis
Dalam narasi yang lain, tapi substansi lebih kurang hampir sama--banyak yang menyebut demikian--bahwa tangan Tuhan sedang bermain. Tembak-tembakan antarpolisi di rumah polisi, dan terbunuh satu polisi, seperti mengindikasikan itu semua. Tembak-tembakan sebagai skenario pertama.
Kedigdayaan rapuh-remuk tak berbekas. Runtuh meninggalkan tangis dan derita berganti. Meski tangis tanpa air mata masih dirasakan para keluarga 6 syuhada FPI, yang mati dilibas oknum polisi--peristiwa KM 50--tetap menyisakan derita panjang atas nama ketidakadilan. Pencarian keadilan akan dituntut sampai kapan pun.
Air mata keluarga para syuhada memang sudah tak lagi menetes, meski tangisan panjang seperti nyanyian sedih gunda gulana terus dinyanyikan. Itulah panjatan doa mubahalah pada mereka yang zalim--untuk anak-anak mereka yang dibantai oleh kedigdayaan--terus berharap Tuhan Sang Pengadil hadir dengan keadilan-Nya.
Tangan Tuhan seperti sedang bermain. Menjadikan skenario tampak dangkal, sebenarnya tidak demikian. Tembak-tembakan yang menewaskan Brigadir J--skenario awal itu dimentahkan oleh pengakuan Bharada E--bahwa bukan dia pelaku tunggal pembunuhan itu. Tuhan seperti ingin menggeret mempertontonkan aktor kezaliman dalam skenario yang dibuat-Nya. Skenario melingkar berputar seperti tak beraturan, menyasar mereka yang pantas disasar.
Skenario tembak-tembakan dimentahkan lewat skenario berikutnya, pengakuan Bharada E, menyebabkan Irjen FS sang digdaya pengatur skenario "tembak-tembakan", dilucuti oleh atasannya dengan dakwaan pelanggaran etik. Ditahan untuk 30 hari. Nasibnya selanjutnya akan ditentukan.
Motif kematian Brigadir J masih diliputi misteri. Skenario awal, teriakan perempuan bernama PC, istri Irjen FS. Mengaku bahwa ia dilecehkan Brigadir J di kamarnya, dan dengan ancaman pistol segala. Nalar bodoh sekalipun akan berkata, berani benar bawahan satu ini masuk ke kamar istri sang Bos yang tengah istirahat, melecehkan sambil menodongkan pistol. Bharada E lalu datang, dan adegan tembak-tembakan terjadi. Brigadir J meninggal tertembus peluru yang ditembakkannya. Bukan satu peluru tapi 5 peluru bersarang di tubuhnya.
Kisah dalam skenario awal tak dipercaya ayah-ibu dan keluarga besar Brigadir J: anakku tak mungkin melakukan perbuatan nista demikian. Jenazah dibuka, meski ada larangan untuk dibuka oleh utusan polisi si pengantar jenazah. Tetapi jenazah tetap dibuka, dan dilihat di sana-sini seperti ada penyiksaan di tubuh sang anak. Meradang penuh amarah. Kemarahan tak cuma berhenti di keluarga Brigadir J, tapi meluas pada etnis Batak yang tak terima dan menuntut balas keadilan.
Dibunuhnya Brigadir J belum tahu apa penyebabnya. Mengapa ia sampai harus dihabisi dengan cara sadis--sedang pembantaian 6 syuhada FPI sudah jelas karena ia mengawal HRS, ulama lurus yang lantang berkata kebenaran, bukan penjahat tapi dimusuh layaknya penjahat besar. Mulai terbuka perlahan skenario berikutnya, lewat nyanyian Bharada E. Katanya, saya lihat tangan Irjen FS memegang pistol, sedang Brigadir J ada di sampingnya. Indikasi siapa yang menembak sudah mulai tersibak. Bukan cuma dirinya seorang.
Lalu muncul nyanyian lainnya dari Bharada E, dimunculkan nama Brigadir RR dan KM, ajudan dan sopir sang nyonya, yang ikut bersamanya. Ikut ramai-ramai menembak Brigadir J. Kemudian, muncul nyanyian-nyanyian lain yang sampai mentersangkakan 31 anggota polisi berbagai tingkatan kepangkatan.
Sore kemarin, Rabu (9 Juli), Kapolri mengumumkan, Irjen FS terlibat sebagai otak yang menewaskan Brigadir J. Lewat perintahnya Bharada E, Bripka RR dan KM melakukan penembakan. Mereka semua akan dituntut hukuman mati atau seumur hidup.
Ini bisa disebut efek domino mubahalah, menyasar banyak polisi pangkat tinggi atau rendahan, langsung maupun tidak langsung, yang terlibat dalam pembantaian KM 50. Konon Irjen FS juga tangani kasus KM 50, adakah ia otak skenario unlawful killing itu, semua pada waktunya akan tersibak. Tuhan pastilah tidak diam. Skenario-Nya seperti dimulai dari kasus tewasnya Brigadir J.
Tuhan mencengkeram dengan tangan kuasa-Nya.
Menghadirkan banyak korban menangis pilu merana, bahkan lebih dahsyat dari tangisan keluarga para syuhada, yang menerima kekejian tanpa keadilan dihadirkan dalam ruang pengadilan.
Sepertinya ini baru awal dari skenario Tuhan dimainkan. Belum akan berakhir menyasar dalang tertinggi dan para eksekutor biadab yang menari-nari dalam keriangan saat anak manusia meregang nyawa, tanpa sedikit pun nurani dimiliki.
Tangisan panjang keluarga para syuhada KM 50--tangisan dan doa berbaur berharap diijabah --memporak-porandakan kedigdayaan semu. Secepat bahkan lebih cepat dari membalik telapak tangan, menjadikan tangis itu berganti jadi kesyukuran, bahwa Tuhan mengabulkan doa keluarga para syuhada.
Efek domino mubahalah akan terus mencari siapa dalang dan jagal peristiwa KM 50, cepat atau lambat akan disasar untuk dimangsa-Nya. Ada waktu tersisa jika yang dipilih adalah jalan pertobatan sesungguhnya dengan mendatangi keluarga para syuhada, meminta maaf setulusnya--atau lebih memilih Tuhan menghinakan dengan menamparnya penuh kesakitan, yang dirasakan diri dan keluarganya hingga waktu panjang--dunia dan akhirat. (*)