Mundur Kena Maju Kena
Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI
Mundur kena, majupun Apalagi Lebih Kena.
Semuanya kena, semakin lama semakin terasa.
Atas kena, bawahpun apalagi lebih kena.
Jempol kakiku ... aduh, terinjak t'rompah bakiak sandal Jawa.
E ... Apes jadinya, gagal semuanya.
Lagu layar tancap yang dinyanyikan grup kenamaan Koes Plus di era tahun 60-an. Sepenggal liriknya seolah terngiang kembali mewakili suasana pemerintahan di jaman now seperti ungkapan generasi milenial. Khususnya menggambarkan kondisi kepala negara sekaligus pemerintahan yang sekarang beredar. Juga semua pengikutnya termasuk buzzer, penggila harta dan jabatan, dan budak kekuasan lainnya yang berada di lingkar kekuasaan.
Presiden, yang masih terjebak dengan polemik dan kontoversi ingin menunda pemilu 2024 atau dengan kata lain ingin memperpanjang jabatannya. Harus merasakan pil pahit karena niatnya itu, presiden terasa mual dan pusing tujuh keliling. Alih-alih ingin lebih lama berkuasa, presiden dan komplotannya itu justru dituntut rakyat untuk mundur dari jabatannya. Dalam rasa frustasinya, rezim hanya bisa berharap-harap cemas mendapat bonus kompromi dengan penggantinya, yang kelak bisa mengamankannya.
Mundur kena, majupun apalagi lebih kena. Senandung dari Koes Plus, sebuah kelompok musik yang di era Orde Lama pernah dipenjara oleh Soekarno karena musiknya dianggap "ngak ngik ngok". Menunjukkan pesan yang sama kepada rezim sekarang.
Betapa tetap sama berbahayanya, lama berkuasa atau berhenti di tengah jalan. Rezim kini tak lagi nyaman menikmati kekuasaan, karena harus menghadapi rakyat yang tak sudi lagi untuk sekedar percaya, bahkan menyimpan kemarahan.
Sang presiden bersama para krunya, dalam posisi yang teramat sangat sulit. Mereka terlanjur dianggap gagal membawa kemakmuran dan keadilan bagi kehidupan rakyatnya. Mirisnya lagi, bukannya menghadirkan negara kesejahteraan dan malah menghadirkan kemiskinan dan penderitaan di banyak pelosok negeri. Rezim yang dianggap berkarakter boneka, dililit begitu banyak persoalan dan krisis seukuran negara yang harus diselesaikan, ketika masih menjabat maupun pada saat sudah tidak berkuasa lagi.
Jadi memang seperti pertarungan hidup mati atau setidaknya demi keselamatan pribadi, keluarga dan gerombolannya. Sejatinya rezim dalam tekanan dan ancaman dari pertanggunganjawabnya sendiri selama mengelola tata pemerintahan. Mungkin karena merasa sering melakukan dosa politik, penyalahgunaan wewenang dan banyak kekejaman yang dilakukan kepada rakyatnya sendiri.
Alhasil, legacy rezim yang dipenuhi catatan hitam dan noda darah. Utang yang berpotensi gagal bayar, mangkrak nya proyek IKN, berlimpahnya praktek-praktek KKN dan segala bentuk represi yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan rakyat. Membuat presiden dalam pilihan sulit, sama-sama beresiko tinggi, menghadapi sangsi dari oligarki yang mudahnya memberi ijon, atau kalut menanti pengadilan rakyat. Seperti berusaha keras menghindari bahaya dari mulut Buaya atau mulut Harimau. Apa mau dikata, seperti itulah sang presiden beserta rezim kekuasaannya, terpaksa harus merasakan mundur kena maju kena.