Negara Harus Bebaskan Korban Rasisme Viktor Yeimo

by Marthen Goo

Jayapura FNN - Dengan menangkap korban rasialisme dan kemudian mencari delik untuk memaksakan korban tetap ditangkap tersebut hanya sebagai upaya meredam dan membelokan kasus rasisme seakan kasus kriminal, tentu secara subtansial juga adalah kejahatan rasisme. Yang semakin berbahaya adalah ketika kejahatan rasisme dipakai melalui alat paksa yakni hukum untuk memukul mundur korban rasisme mencari kebenaran dan keadilan.

Natalius Pigai, Tokoh Nasional asal Papua, men-tweet, “otak-otak penggerak demo anti rasisme Jawa sudah diadili di pengadilan. Viktor Yeimo hanya orasi saat demo. Sedari awal aparat telah mempertontonkan pernyataan kebencian pada pribadi viktor. Para pembela HAM nasional & internasional sedang pantau”.

Tentu akan sangat berbahaya jika penegakan hukum lebih pada menyasar individu orang karena rasa tidak suka atau karena kebencian. Mestinya aspek hukum harus menjadi dasar, karena hukum selalu bebas dari kepentingan dan kebencian apapun. Hukum selalu soal keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Korban rasisme harus diberikan ruang untuk mencari keadilan, bukan dicari-cari delik untuk dikriminalisasi (tontonan buruk).

Tidak boleh juga memiliki niat, tahan dulu, soal nanti cari keadilan biar pengadilan yang putuskan. Itu sudah ada Menstrea. Cara pandang begitu adalah cara pandang yang buruk, karena hukum itu harus jelas, terukur dan professional. Apalagi korban selama dalam tahanan hak-haknya tidak dipenuhi.

Membedah Secara Singkat

Jika merujuk pada AntaraNews.Com, terbitan 9 Mei 2021, pasal-pasal yang dipakai untuk menangkap Viktor adalah pasal 106 Jo Pasal 87; Pasal 110 KUHP; pasal 14 ayat (1), (2) dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana; pasal 66 UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta lagu kebangsaan; pasal 160 KUHP; pasal 187 KUHP; pasal 365 KUHP; 170 KUHP ayat (1); pasal 2 UU Darurat No 12 Tahun 1951 Jo pasal 64 KUHP.

Jika kita membedah pasal-pasal di atas yang dikenakan kepada VY, sangat tidak relevan. Ketidak relevannya adalah jika merujuk pada SuaraPapua.com terbitan 23 Mei 2021, VY hanya ikut dan turut melakukan aksi pada 19 Agustus 2019 di halaman kantor Gubernur Papua, dan tidak pernah terlibat dalam aksi lanjutan 29 Agustus 2019. Sementara yang disangkakan adalah 29 Agustus 2019. Atau, kita bisa mengambil salah satu contoh pasal dari sekian banyak pasal, yakni yang menyangkut pada pasal makar.

Pasal makar seperti pada pasal yang dimaksud baik pada pasal 106 Jo pasal 87 ataupun pasal 110 secara subtansial memiliki batasan yang ketat bahwa makar itu harus bersifat melawan negara dengan kekerasan atau dengan kekuatan bersenjata. Sementara pasal 87 yang diarahkan pada pasal 53 soal percobaan, percobaan dalam pengertian makar harus dilihat apakah memiliki kekuatan senjata atau tidak. Faktanya tidak ada.

Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”.

Sehingga, subjek hukum yang dapat atau berpotensi melakukan perbuatan makar adalah subjek hukum yang memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap makar yang dikenakan sesungguhnya tidak tepat. Ini salah satu contoh pasal yang secara subtansial tidak sangat relevan dengan keberadaan VY sebagai massa aksi tapi juga sebagai orator saat itu, karena orasi tidak bisa disebutkan sebagai perbuatan makar.

Berikut, pasal 14 dan 15 UU No. 1 Thn 1946, secara subtansial menjelaskan tentang menyiarkan berita atau menyampaikan berita bohong dan lainnya yang dapat menimbulkan keonaran, itu pasal yang sangat tidak relevan dikarenakan aksi lawan rasisme itu aksi semua orang Papua. ini menyangkut martabat manusia kulit hitam di dunia. Berita bohong harus dilihat adalah antara kenyataan dan yang disampaikan berbeda.

Menurut Gustav Kawer, pengacara senior asal Papua, “VY disangka dengan tuduhan berlapis sekitar 12 Pasal yang ancaman hukumannya ada yang berkisar seumur hidup dan paling lama 20 Tahun, untuk peristiwa rasis 16 Agustus 2019 yang pelakunya hanya di vonis 7 bulan penjara dan pelaku lainnya bebas tanpa proses hukum dari negara”. Ko korban rasis disangkakan sampai begitu sementara pelakus rasis hanya divonis 7 bulan, bahkan yang lain bebas tanpa proses hukum?

Gustav menambahkan, “VY di proses hukum di polisi memakan waktu yang cukup lama, 3 bulan lebih untuk sebuah kasus yang katanya oleh, "penyidik', yang bersangkutan buron untuk kasus 2019, jika Buron dan kasus lama seharus proses hukum kini sudah sampai di Pengadilan karena buktinya cukup”. Dua hal yang penting dikritisi adalah (1) buronan tapi proses hukum belum ke pengadilan dan (2) sekitar 12 pasal berlapis terkesan seakan dalam satu peristiwa terjadi banyak kasus pidana.

Terhadap pasal-pasal yang dikenakan di atas, harus bisa dijelaskan pada publik relevansinya. Jika relevansinya tidak dijelaskan pada publik, sementara prosesnya sudah makan waktu lebih dari 3 bulan, sesungguhnya memberikan pertanyaan kritis, ada apa? Bukannya buronan seperti yang dimaksud itu didasari pada dua alat bukti ? kenapa proses begitu lama ? Publik butuh kejelasan. Profesionalisme harus ditunjukan.

Dibebaskan Demi Hukum

Hukum pidana bicara soal perbuatan individu orang, maka, VY tidak terlihat memiliki perbuatan melawan hukum, tidak memilik perbuatan pidana dalam mengekspresikan perlawanan rasisme. VY adalah korban rasisme. Bahkan dalam aksi yang dilakukan, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan. VY tidak melakukan kekerasan, tidak mengibarkan bendera dll, tidak melakukan penghasutan dan lainnya (aksi 19/8/2019).

Artinya bahwa, dari tuduhan yang dibebankan pada VY tanpa ia melakukan hal-hal yang dituduhkan, tentu dalam perspektif hukum sangat berbahaya, penegak hukum diberikan kewenangan untuk professional dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jika merujuk pada kronologis kasus, menjadi pertanyaan serius soal relevansinya pada setiap pasal adalah (apa ?), apalagi banyak pasal yang bisa dikritisi.

Secara subtansial, VY sudah membantu kepolisian dan negara untuk melawan rasisme. Mestinya VY diberikan penghargaan dan diberikan gelar sebagai pahlawan pelawan rasisme. Karena Pidana selalu bicara pada ruang “Tempus Delicti dan Locus Delicti” yaitu pada tanggal 19 Agustus 2019 dan VY tidak melakukan pidana, tapi melakukan kerja kepahlawanan dalam berantas rasisme, disaksikan oleh seluruh rakyat Papua.

Atas prinsip kesamaan di depan hukum dan kepastian hukum dari perspektif pidana, maka, negara melalui kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung diharapkan untuk segera memerintahkan Kapolda Papua dan Kejati Papua untuk segera bebaskan Viktor Yeimo. Dan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh soal penegakan hukum di Papua.

Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua

723

Related Post