Negara Sebagai Organisasi Kejahatan
Kasus Ferdi Sambo yang melilit Polri tidak bisa dinilai sebagai masalah personal atau sekadar oknum semata. Pembunuhan disertai penganiyaan seorang ajudan berpangkat brigadir oleh seorang jenderal sekaligus atasannya yang menodai tubuh kepolisian itu, merupakan salah satu persoalan struktural dan sistemik yang terjadi hampir di semua institusi negara. Orang dan sistem menyatu dalam syahwat melakukan distorsi penyelenggaraan pemerintahan. Saling memanfaatkan mencari kekayaan dan jabatan, mewujudkannya sebagai kekuasaan yang superior untuk melakukan penyimpangan dan kejahatan kemanusiaan.
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI
PUBLIK tersentak, ketika Polri sebagai instrumen negara yang selama ini menyandang gelar sumir. Kembali memunculkan aib yang semakin membuat Polri terpuruk lebih dalam. Tak tanggung-tanggung, fenomena Irjend Ferdi Sambo, membongkar bukan hanya soal pembunuhan semata. Lebih dari itu bau amis menyelimuti kecenderungan rangkaian kejahatan lain seperti korupsi, perselingkuhan, disorientasi seksual, persaingan pengaruh dan jabatan para petinggi, hingga adanya kekuatan mafia yang selama ini samar-samar menguasai korps bhayangkara tersebut. Kasus kompleks yang menyeret beberapa perwira tinggi dan menengah Polri hingga membuat seorang presiden melakukan intervensi. Peristiwa itu semakin mengukuhkan institusi Polri yang sudah sejak lama dibayangi sikap skeptis dan apriori rakyat.
Alih-alih menjadi lembaga yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri justru banyak melakukan penghianatan dan menghancurkan Tri Brata dan Eka Prasetya yang menjadi kehormatan dan kebanggan para taruna itu.
Dari pinggir jalan raya, dari pusat bisnis dan hiburan yang dikelola cukong, dari kantor kejaksaan hingga ruang pejabat dan politisi. Publik terlanjur menganggap ada keterlibatan permainan nakal dan kotor yang dilakukan polisi baik yang berseragam maupun berpakaian preman.
Seakan membenarkan ungkapan satir Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid), bahwasanya hanya ada tiga polisi yang baik di Indonesia, pertama Jendral Hoegeng mantan Kapolri (alm), kedua, patung polisi dan ketiga, polisi tidur. Presiden keempat RI yang kontroversial itu juga pernah membuat peryataan terbuka terkait keteribatan aparat keamanan termasuk polri, terkait kasus dan penanganan teroris serta pelbagai gerakan intoleran, radikal, fundamental dan ekstrimis lainnya. Sinyalemen itu menguat saat kebijakan polri begitu resisten dan represif terhadap gerakan kritis dari aktifis terlebih kepada para ulama, pemimpin dan tokoh- tokoh Islam. Kasus paling menonjol dan dianggap paling membunuh penegakkan hukum dan rasa keadilan itu, terasa mengganjal pada peristiwa KM 50, yang hingga kini masih diliputi tabir gelap. Dalam segmen seperti itu Polri nyaris langgeng menyandang stigma dan stereotif sebagai alat kekuasaan atau mafia ketimbang menjadi alat negara. Polisi terkesan dicap sebagai anjing penjaga pengusaha hitam dan penguasa lalim dibanding membantu menyelesaikan masalah kaum lemah dan tertindas.
Bisa dimaklumi jika rakyat terutama yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasasn politik, lebih memilih menghindari berurusan dengan polisi. Bagi rakyat, menyelesaikan masalah dengan tanpa keteribatan polisi, itu menjadi lebih baik. Seperti ada anggapan dari publik, kalau lapor kehilangan ayam, maka akan bertambah menjadi kehilangan kambing. Begitulah asumsi yang terus berkembang di sebagian besar masyarakat.
Sungguh miris dan ironis, insitusi Polri yang usianya hanya beda setahun dengan kemerdekaan Indonesia dan selama itupula telah menjadi garda terdepan dalam menciptakan dan menjaga ketertiban masyarakat. Polri mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima pandangan sosial yang "prejudice", kontradiktif dan ambivalens di mata rakyat. Semboyan presisi pada Polri yang belum lama ini mengemuka, pada kenyataannya hanya berupa ilusi. Contoh soal, tercium kabar dan desas-desus untuk masuk akademi kepolisian dan promosi jabatan, harus mengeluarkan biaya hingga miliaran. Sebuah angka yang fantastis yang harus dipenuhi untuk menjalankan tugas mengabdi dan melayani rakyat, negara dan bangsa. Nominal harga yang sulit dijangkau untuk seorang polisi yang tulus dan jujur namun tak berpunya, yang semata-mata hanya untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raganya dalam menjalankan tugas suci kemanusiaan sebagai abdi negara.
Boleh jadi dan mungkin menjadi serba permisif, dengan mekanisme perekrutan taruna dan mutasi jabatan di jajaran polri yang kapitalistik dan transaksional seperti itu, hanya melahirkan kebanyakan polisi korup, tak bermoral dan bengis.
Jauh dari integritas, kapabilitas dan akuntabilitas, dalam melayani kepentingan publik, mencintai dan melayani rakyat sepenuh hati.
Namun demikian, layak juga dipertimbangkan bahwa polisi-polisi itu tak berdaya dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka terjebak pada satu situasi dan kondisi yang memang sudah buruk sedemikian rupa.
Sistem telah memaksa para polisi baik yang pemula maupun yang senior untuk mengikuti arus dibanding terseret arus, terlepas apakah itu baik atau buruk baginya dan institusi kepolisian. Sistem yang dalam kerusakan akut, telah memperkosa cita-cita, keyakinan dan pengabidian para polisi baik, sehingga ideslisme terkoyak dimangsa paduan suara kejahatan dalam salah-satu organisasi penegak kebenaran dan keadilan yang sejatinya diinginkan dan dirindukan rakyat. Hanya ada "a few good man" dalam sindikat penyamun dan berbahaya di kelembagaan negara yang strategis itu.
Bukan Cuma Polri
Begitu terorganisir, terstruktur dan masif, kebanyakan institusi negara diselimuti praktek- praktek menyimpang. Kasus di tubuh Polri dengan personifikasi Ferdi Sambo, sesungguhnya juga menjadi representasi distorsi mayoritas institusi negara, seandainya tabu dianggap mewakili pemerintah dan negara.
Kecerobohan Ferdi Sambo sekaligus kelemahan Polri itu, sebenarnya menjadi momen "breaking ice" terhadap karut-marutnya hampir semua institusi negara.
Lembaga-lembaga formal dan konstitusional tidak hanya sekedar jauh dari ideal dan menyimpang dari tugas dan fungsi sebenarnya. Malah yang paling konyol dan menyedihkan, sistem dan birokasi yang ada di dalamnya seperti organisasi rentenir yang memeras, organisasi penjahat yang sewaktu-waktu bisa merampok dan menganiaya, serta tak ubahnya sarang binatang buas yang tiba-tiba menerkam, mengoyak luka dan memengancam keselamatan jiwa. Ferdi Sambo bagai menyiratkan telah membuka kotak pandora dari tidak sedikit kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan atas nama negara.
Di Indonesia, negara yang begitu dicintai meski penuh ironi dan kemalangan. Sudah menjadi rahasia umum dan begitu telanjang mempertontonkan distorsi penyelenggaraan negara, baik oleh perilaku pejabatnya maupun tradisi atau kebiasaan yang telah menjadi baku dalam institusi pemerintahan. Behavior pejabat dan aturan birokrasi seolah-olah menyatu menjadi konsorsium kejahatan yang berlindung di balik konstitusi dan sumpah jabatan. Kerusakan mental aparatur negara menjadi begitu sistemik dan tampil secara formal di permukaan.
Publik seperti menyadari dan merasakan langsung, ketika kejahatan secara terselubung yang terorganisir, terstruktur dan masif itu, sudah berlangsung sejak dari hulu hingga ke hilir. Atasan menjadi "the ountachable", bawahan pasrah dan tak berdaya harus mengikuti, sementara institusi yang melingkupinya dibajak, direkayasa dan dikendalikan menjadi organisasi super body dari kejahatan yang resmi dan menggunakan plat merah.
Bukan cuma Polri, institusi TNI juga tak luput terpolarisasi dan tekontaminasi. Selain TNI dan Polri, banyak institusi seperti kementerian, pemerintahan daerah, BUMN-BUMD, komisioner-komisioner pelayanan publik semacam KPU, KPK, Komnas HAM dlsb., disinyalir sudah berada dalam zona nyaman korupsi, manipulasi konstitusi dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Sebagian besar terpaksa mengikuti aturan main yang berlaku meski penuh kemudharatan dan kedzoliman. Lebih baik menyelamatkan diri sembari menikmati kekayaan dan fasilitas daripada tergusur, begitu aparatur negara membatin.
Birokrasi yang berisi aparatur negara tanpa kesalehan sosial, terus menikmati distorsi penyelenggaraan sambil mencuri bonus gaya hidup mewah dan berlebihan. Jadilah semuanya personifikasi dan sistem yang menyimpang, bersekongkol dalam negara yang mewujud sebagai organisasi kejahatan.
Selain sistem, faktor personal yang sangat dipengaruhi oleh orientasi, mental dan struktur sosial yang ada dalam diri seseorang, telah menjadi sesuatu yang prinsip dan menentukan ketika diberi kepercayaan untuk mengemban jabatan publik. Latar belakang figur relatif menjadi dominan baik secara pribadi maupun organisatoris dalam melahirkan karakter kepemimpinan. Secara empiris tidak sedikit karakter unggul dalam personal mampu memberi warna dan memengaruhi organisasi atau istitusi tempat bernaungnya, termasuk sistem yang ada. Begitupun sebaliknya, sistem yang kuat juga akan mampu menjalankan organisasi sesuai cita-cita dibangunnya organisasi. Aspek personal juga tak luput dari dinamika organisasi yang harus mengikuti landasan, proses dan tujuan organisasi yang berasal dari tatanan sistem yang ada. Baik personal maupun sistem, pada akhirnya memiliki korekasi yang signifikan yang saling menguasai, memberi pusat pengaruh dan menentukan kebaikan ataupun keburukan pada capaian organisasi atau istitusi baik dalam masyarakat, perusahaan ataupun negara.
Oleh karena itu, kasus Ferdi Sambo yang telah menyita perhatian publik sejagad republik ini dan mungkin seantero dunia, yang berhasil mereduksi Polri sedemikian rupa. Semakin membuka ruang kedasaran semua pihak, bahwa kejahatan dan kebaikan selalu membersamai kehidupan semua orang, komunal bahkan pada institusi negara. Bukan cuma Polri yang begitu naif dan menyedihkan dengan segala kebaikannya. Negeri ini begitu susah untuk menghitung berapa banyak institusi negara dan aparaturnya yang menjadi penjaga kebenaran kebenaran dan keadilan, namun seiring sejalan juga menghianati kebenaran dan keadilan.
Tak lagi bisa dibedakan siapa yang menjadi abdi negara dan musuh negara. Tak ada lagi dan sulit menemukan siapa yang menjadi pelindung, mengayomi dan melayani masyarakat. Mustahil bisa menghitung berapa banyak rakyat di republik ini yang tak menghirup udara kapitalisme yang mengandung radikal bebas sekulerisasi dan liberalsasi global.
Sesulit menghitung berapa banyak manifestasi nilai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang kadung dikuasai oligarki, seraya seluruh rakyat Indonesia menggandrungi materi, takut mati dan cinta dunia. Sebagaimana virus yang menjadi pandemi yang disebut penyakit Wahn. Penyakit paling ganas bagi kemanusiaan dan peradabannya, yang telah membuat banyak orang telah mati dalam hidupnya.
Bukan cuma Polri, masih teramat banyak lagi yang terdistorsi dan terpuruk.
Apapun dan bagaimanapun itu, selamat menjadi rakyat dan warga bangsa dari negara yang telah menjadi organisasi kejahatan. Meski sulit dan dirundung pesimis, seluruh anak bangsa tetap layak berupaya menyelamatkan institusi Polri, TNI, dan lembaga negara lainnya. Karena keselamatan utamanya TNI-Polri dll., itu berarti equivalen dengan kelematan negara dan bangsa Indonesia. Seperti kata orang bijak, jangan membakar lumbung padi hanya untuk membunuh tikus-tikusnya.
Munjul-Cibubur, 21 Agustus 2022