Oligarki Cukongi Capres Demokratis (Bagian-2)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum

Ternate FNN - Pada masa John Tyler naik menjadi Presiden inilah Amerika memiliki Bank Charter Act 1844. UU ini diidentifikasi Thomas Tookeim, sebagai pioner lender of the last resort. Uniknya, keadaan keuangan tak juga kunjung membaik. Tahun 1857 terjadi lagi krisis keuangan besar.

Utara-Selatan memanas oleh isu slavery. Situasi itu diidentifikasi Coleman, sejarahwan top ini sebagai ciptaan oligarki. Dengan mitra Inggrisnya, oligarki ini merancang perang saudara, Utara-Selatan di Amerika. Pilpres pun tiba. Partai Republik menemukan Abraham Lincoln sebagai salah satu kandidatnya.

Lincoln menang pilpres, dan menemukan kenyataan, perang memerlukan uang. Sementara kas negara defisit besar-besaran. William P. Chase, kandidat republik yang gagal, diangkat Lincoln menjadi Menteri Keuangan . Kelak Chase juga dinominasikan Lincoln menjadi Ketua Mahkamah Agung. Dikenal sebagai banker dimasa lalu, Chase diperintah Lincoln mengekstensifikasi pajak. Tetapi Chase bergerak ke arah lain, meminjam uang dari bank-bank. Sayang tidak tercapai.

Mimpi oligarki segera terealisasi. Pada tahun 1862 Lincoln membutuhkan tanda tangannya untuk Banking Act. Disusul setahun kemudian dengan National Banking Act 1863. Terlembagakanlah prinsip bank sentral. Pada tahun 1863 ini J.P Morgan telah memainkan peran menentukan, mengusahakan pengakuan korporasi berbentuk “trust” sebagai subyek hukum.

Tahun 1873 terjadi lagi kepanikan keuangan. Dikenal dengan Black Friday Panic. Berhentikah sampai di situ? Tahun 1890 krisis keuangan terjadi lagi. Krisis terakhir ini mendekatkan Mark Hannah, salah satu financial oligarchy mendekat ke William McKinley. Setelah menjalin persahatan yang hangat, McKinley menjadi Capres tahun 1896 dari Partai Republik.

Pilpres ini benar-benar menjadi pilpres pertama para oligarki keuangan mencukongi capres. Berada di barisan Hannah adalah Andrew Carnige, Henry Clay Frick, Philander Knox, George Pulman, Philipe Aermour (orangnya J.P Morgan), termasuk dari Standar Oil yang menjadi holdingnya Rockefeller.

Mereka membiayai McKinley. Total uang cukong-cukong ini ke McKinley sebesar U$ 3,5 juta. Jauh lebih besar dari William Jenning Bryan, capres dari Partai Demokrat, yang hanya punya uang sebesar U$ 400 ribu dolar. Pola penciptaan kepanikan terus digunakan.

Tahun 1907 terjadi lagi krisis keuangan. Cukong-cukong ini beraksi perlahan-lahan. Pilpres tahun 1908 dibiarkan dimenangkan oleh William Howatrd Taft, Profesor Tata Negara. Dikenal sanga anti dengan yang namanya Bank sentral. Tetapi Howatrd Taft tidak dapat berkelit dari rencana kelompok ini.

Presiden Taft harus membubuhkan tanda tangannya pada National Currency Act 1908. Undang-undang ini memerintahkan Taft membentuk National Currency Commitee. Komita ini dipimpin oleh John Aldrcih, Senator Republik, bersama Paul Warburg dan lainnya, Komite ini dibiayai negara melakukan studi ke Bank sentral di Eropa.

Eugene Mullin dalam bukunya Secret The Federal Reserve, menulis kembali dari Eropa, mereka tak melapor ke pemerintah. Mereka malah ke Jackyl Island. Nah, di Jackyl Island inilah mereka menyiapkan deteil langkah pembentukan The Federal Reserve Bank. Ini dikenal dengan Aldrich Plan.

Memasuki pilpres tahun 1912, Theodore Rosevelt, mantan presiden digalang mengikuti konvensi Partai Republik, melawan Presiden Howatrd Taft. Tedy Rosevelt kalah. Tetapi dia tetap didorong maju dengan partai progresif. Praktis Partai Republik punya dua kandidat ketika itu.

Sementara Kelompok Wall Street (Bursa Saham New York) ini menyiapkan Woodrow Wilson melalui Partai Demokrat. Mereka membiayai Wilson. Kenyataannya Wilson menang pilpres. Tindakan otoritatif pertama Wilson adalah menandatangani The Federal Reserve. Top markotop Wilson.

Setelah Wilson masuk White Hose, keadaan ekonomi tidak juga membaik. Lalu perang dunia pertama pun tiba. Oligarki menarik Amerika masuk dalam perang ini. Dalam pemerintahan Wilson, Paul Warburg diangkat jadi direktur Board of War Industry. Board inilah yang dikenal sebagai executive agency.

Efek ekonomi dari perang harus ditangani presiden demi persiden sesudah itu hingga pilpres 1928. Menarik, Anthony Sutton, sejarawan Inggris ini menemukan besaran uang cukong oligarki ini pada pemilu 1928 untuk Herbert Hoover.

Sutton menulis, Melon Family (Melon National Bank) sebesar U$ 50.000. Rockefeler family (standar oil) sebesar U$ 50.000. Guggenheim Family (Copper Smelting) sebesar U$ 75.000. Eugene Meyer (Federal Reserve Bank) sebesar U$ 25.000. William Nelson Cromwel (Wall Street Attorney) sebesar U$ 25.000. Otto Khan (Equitable Trust Company) U$ 25.000. Mortimur Schif (Banker) sebesar $25.000. Total dana yang dikumpulkan para oligarki untuk Hoover U$ 275. 000.

Kesal dengan Hoover, yang dianggap terlalu lambat, kelompok ini mengubah haluannya. Mereka mengalihkan dukungannya ke FDR pada pemilu 1933. Sutton menulis, Herbert Lehman and Lehman Brothers memberi uang kepada FDR sebesar U$ 135.000 Jacob J Roscob dari (Dupont and General Motor) sebesar U$ 110.000.

Thomas S. Riyan (Presiden Bankers & Mortage Corp. Huston ) sebesar U$ 75.000. Harry P. Whitney (Garanty Trust) sebesar U$ 50.000. Piere S. Dupont (Dupont Company, General Motor) sebesar U$ 50.000. Bernard Baruch (Brodway) U$ 37.590. Robert Sterling Clark (Singgre Sewing Machine Co) sebesar U$ 35.000. John D. Riyan (National City Bank) U$ 27.000. William H. Woodin (General Motor) sebesar U$ 25.000.

Itulah sekelumit wajah oligarki pada pilpres yang dibilang demokratis itu. Pilpres demokratis terlihat jelas sebagai wajah asli mainan oligarki. Itu sebabnya tampilan tata negara Amerika pada periode ini disebut sebagai state corporatism. Seluruh kepentingan, tidak hanya perbankan, tetapi korporasi terakomodasi penuh pada pemerintahan Franklin Delano Roseveltr (FDR).

Menariknya demokrasi memungkinkan FDR berkelit dengan pernyataan “Welfare constitution” berdampingan dengan “social constitution citizenship” pada pemerintahannya. Sebagian ahli hukum tata negara malah menyebut periode FDR sebagai peralihan radikal dari classical liberalism ke modern liberalism, nama lain dari “welfare state”.

Itulah canggihnya cukong-cukong oligarkis bekerja di pilpres yang demokratis tersebut. Sayang sekali, demokrasi Indonesia tidak mencatat besaran uang yang digunakan oligarki dalam pilpres dan pilkada. Malah tak boleh dibicarakan. Sial, demokrasi menyediakan tempat terhpormat untuk segala kepicikan, keculasan, ketamakan dan kebusukan. (habis).

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

386

Related Post