Oposisi di Tengah Demokrasi
by Suhardi Suryadi
Jakarta, FNN - Dalam diskusi Forum News Network (FNN) beberapa waktu lalu, Rocky Gerung mengemukakan fenomena republik yang penuh ketakutan. Beliau merujuk pada tulisan Kanan Makiya tentang Republic of Fear: The Politics of Modern Iraq, Updated Edition First Edition, With a New Introduction. Buku ini akhirnya menjadi best-seller setelah invasi yang dilakukan Presiden Saddam Hussein di Kuwait.
Kanan Makiya yang lahir tahun 1949 di Baghdad adalah seorang arsitektur yang lulus di Massachusetts Institute of Technology, Amerika. Kemudian bekerja di perusahaan arsitektur “Makiya & Associates “ milik ayahnya. Sebagai ahli tentang Islam dan Timur Tengah di Brandeis University, beliau mendapatkan perhatian yang luas di tingkat internasional terutama tulisannya tahun 1989 tentang Republik Ketakutan. Makiya kemudian menjadi nara sumber dalam pembicaraan dengan pemerintah AS yang menyerang Irak tahun 2003 dan menggulingkan rezim Saddam Hussein.
Karenanya, tidak sedikit yang memberikan kritik terhadap karya Kanan Makiya. Salah satunya adalah Edward Said, profesor di Universitas Columbia-USA yang merupakan salah seorang paling vokal terhadap Makiya. Said berpendapat bahwa Makiya adalah seorang Trotskyis (Trotsky diidentifikasi sebagai Marxis ortodoks) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, tetapi kemudian "beralih sisi" dengan mengambil untung melalui rancangan gerakan untuk menggulingkan Saddam Hussein
Melembagakan Oposisi
Apa yang berlangsung di Irak terutama semasa Saddam Hussein memimpin tidak lepas dari hilangnya suara oposisi. Nyaris kekuasaan terpusat pada satu tangan sehingga menyimpan dan menumpuk perlawanan yang tersembunyi. Upaya menghidupkan kekuatan sebagai lawan politik nyaris tidak dilakukan karena kekuatiran dan bahkan ketakutan bahwa oposisi dapat merongrong dan pada akhirnya menjatuhkan kekuasaannya.
Catatan Amnesty menunjukkan bahwa kualitas kebebasan berekspresi mulai dari berpendapat para warga, media, dan juga organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang ingin beroposisi telah merosot cukup tajam. Dari seluruh catatan yang ada, maka paling mengkhawatirkan adalah penggunaan aturan pidana dalam menyikapi ekspresi warga yang kritis terhadap pejabat maupun lembaga negara. Termasuk juga serangan siber terhadap kelompok ini. (Rontoknya Kualitas Demokrasi di Era Jokowi, https://tirto.id/f6nL)
Beberapa kasus menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. Sebagai contoh, KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan 18 Agustus 2019 oleh sejumlah tokoh, sebagai gerakan moral yang berjuang untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera telah mengalami mati suri. Wadah yang bermaksud mengkritisi kebijakan pembangunan, KAMI dihajatkan beroposisi untuk memperkuat bangsa dan negara yang selaras dengan aspirasi rakyat. Dengan demikian kehadiran KAMI seharusnya dilihat sebagai bagian dari kekuatan yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan rakyat.
Karena itu, gerakan moral yang menghimpun berbagai elemen-elemen dan komponen bangsa lintas agama, suku, profesi dan kepentingan politik perlu dilihat sebagai kekuatan untuk menyelamatkan Indonesia. Sehingga wajar manakala cara yang dilakukan adalah pengawasan social baik melalui kritik dan koreksi untuk meluruskan kiblat bangsa dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Semuanya dilakukan dalam kerangka membangun demokrasi. Terpenting apa yang dilakukan tidak mengarah pada cara-cara kekerasan dan inkonstitusional.
Terhambatnya budaya politik oposisi di Indonesia ada kesan dilatar-belakangi oleh perkembangan persepsi yang keliru di tengah masyarakat dan pengelola kekuasaan tentang makna oposisi. Seolah-olah partai atau kelompok masyarakat yang beroposisi dianggap pembuat onar dan biang keladi dari kekisruhan politik yang mapan. Padahal suara krits dan berbeda baik di parlemen maupun di tengah masyarakat merupakan bagian dari tanggungjawabnya untuk mendorong perubahan kebijakan pemerintah yang lebih baik.
Mati surinya kelembagaan oposisi seperti KAMI dalam kehidupan politik kelak dapat mengancam kehidupan demokrasi. Kurang berfungsinya partai politik dalam menjalankan fungsi control dan sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah justru akan membuka ruang bagi tumbuhnya kekuatan rakyat melalui gerakan ekstra parlemen yang lebih dahsyat. Ini berarti, membuka ruang oposisi dalam negara demokrasi menjadi wajib dijalankan sebelum memunculkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan partai politk.
Dr Surin Pitsuwan, seorang diplomat Thailand dan mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, mencatat bahwa ‘ demokrasi di Asia Tenggara belum begitu baik ’ yang salah satunya disebabkan oleh kesalahpahaman demokrasi. Dimana telah membawa generasi pemimpin yang mengendarai gelombang populisme, korupsi, patronase dan tanpa oposisi. Sehingga menciptakan ‘sandiwara’ demokrasi yang terlalu banyak memberi harapan ketimbang merealisasi fakta dalam jangka pendek.
Penulis adalah Peneliti LP3ES.