OTT Gubernur Sulsel, "Nama-nama Besar" Bakal Terseret?

by Mochamad Toha

Surabaya, FNN - Sebuah kabar beredar di grup WhatsApp, pada Sabtu, 27 Februari 2021. Pukul: 01.00 Wita, Tim KPK sebanyak 9 orang telah melakukan OTT kepada Gubernur Sulawesi Selatan M. Nurdin Abdullah, di rumah jabatan Gubernur berdasarkan Sprindik No: Sprin.Lidik-98/01/10/2020.

Tim KPK telah mengamankan beberapa orang antara lain: 1. Agung Sucipto (Kontraktor, 64 tahun); 2. Nuryadi (Sopir Agung, 36); 3. Samsul Bahri (Adc Gubernur, Polri, 48); 4. Edy Rahmat (Sekdis PU Provinsi Sulsel); 5. Irfandi (Sopir Edy Rahmat).

Barang bukti yang diamankan oleh Tim KPK, yaitu 1 (satu) koper yang berisi uang sebesar Rp. 1 miliar yang diamankan di Rumah Makan Nelayan Jl. Ali Malaka, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar.

Tim KPK kemudian langsung membawa Nurdin Abdullah dan Rombongan langsung ke Klinik Transit di Jl. Poros Makassar untuk dilakukan pemeriksaan Swab antigen untuk persiapan berangkat ke Jakarta melalui Bandara Sultan Hasanudin.

Tim KPK dan Rombongan dikawal oleh 4 orang Anggota Detasemen Gegana Polda Sulsel yang dipimpin Iptu Cahyadi. Pada pukul 05.44 Wita rombongan itu selesai melaksanakan pemeriksaan Swab antigen dan menuju Bandara Sultan Hasanudin.

Rombongan itu kemudian terbang ke Jakarta menggunakan Pesawat Garuda GA-617 pada pukul 07.00 Wita. Kabar ini langsung merebak di berbagai media online maupun elektronik. Namun, Juru Bicara Gubernur Sulsel Veronica Moniaga secara tegas membantah.

Veronica Moniaga membantah bahwa Nurdin Abdullah terkena OTT KPK, karena yang bersangkutan sedang beristirahat saat petugas datang ke rumah jabatan di Makassar, Sabtu (27/2/2021) dini hari.

“Terkait bapak gubernur terkena operasi tangkap tangan, itu tidak benar. Karena bapak saat itu sedang istirahat. Seperti yang kita tahu, OTT adalah orang yang tertangkap tangan dan bapak tidak sedang melakukan itu,” ujar Vero, seperti dilaporkan Antara.

Terkait keberangkatan Nurdin Abdullah ke Jakarta itu, Vero menyebut Nurdin pergi atas permintaan KPK untuk menyampaikan keterangan selaku saksi. Nurdin disebut hanya membawa pakaian secukupnya.

Menurut Vero, petugas KPK datang ke Rumah Jabatan Gubernur sekitar pukul 01.00 dini hari. Kemudian Nurdin Abdullah dibangunkan dan menemui pihak KPK yang datang. Itu mengagetkan karena sebelumnya tidak ada surat apapun mengenai permintaan keterangan.

“Mereka diterima baik di Rujab Gubernur dan bapak pun dengan sikap patriotisme mengikuti tim KPK. Tidak ada barang bukti sama sekali pada saat bapak dijemput oleh KPK, hanya membawa pakaian secukupnya,” ungkapnya.

Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, kegiatan OTT berawal dari informasi masyarakat terkait adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara pada Jumat (26/2/2021) malam.

KPK menerima laporan bahwa Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto (AS) akan memberikan sejumlah uang kepada Nurdin melalui perantara Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER), yang juga orang kepercayaan Nurdin.

Pukul 20.24 WIB, AS bersama Irfandi (Sopir ER) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dan setiba di rumah makan tersebut telah ada ER yang telah menunggu,” kata Firli dalam konferensi pers yang disiarkan kanal YouTube KPK, Minggu (28/2/2021) dini hari.

Agung adalah seorang kontraktor yang berasal dari pihak swasta, yang diketahui telah lama mengenal Nurdin. Agung berkeinginan mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021.

Firli mengungkapkan, dengan beriringan mobil, Irfandi mengemudikan mobil milik Edy, sedangkan Agung dan Edy bersama dalam satu mobil milik Agung. Kedua mobil itu pun kemudian bergerak menuju Jalan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam perjalanan tersebut, Agung diketahui menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021 kepada Edy.

Sekitar pukul 21.00 WIB, Irfandi kemudian mengambil koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS dan dipindahkan ke bagasi mobil milik Edy di Jalan Hasanuddin.

Firli mengungkapkan, sekitar pukul 23.00 Wita, KPK mengamankan Agung ketika dalam perjalanan menuju Bulukumba.

Sementara itu, satu jam berikutnya giliran Edy beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan KPK di rumah dinasnya. Adapun uang Rp 2 miliar itu sebelumnya akan diberikan Edy kepada Nurdin Abdullah.

Kemudian, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah diamankan KPK sekitar pukul 02.00 Wita di rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel. Adapun Nurdin diduga juga telah menerima uang dari kontraktor lain diantaranya sebesar Rp 200 juta pada akhir 2020.

Nurdin juga diduga menerima uang pada pertengahan Februari 2021 melalui Samsul Bahri, ajudannya, sebesar Rp 1 miliar. “Awal Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar,” terang Firli. Atas dugaan tersebut, Nurdin dan Edy disangkakan sebagai penerima.

Nurdin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sebagai pemberi, Agung Sucipto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UUU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Versi JATAM

Ada pertanyaan menarik dari seorang wartawan saat Ketua KPK Firli Bahuri jumpa pers soal PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Kedua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel.

Dua perusahaan itu juga pernah disebut-sebut dalam tulisan Jaringan Advokasi Tambang di Jatam.org. JATAM menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL.

Dari total 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar, dua diantaranya adalah PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel Nurdin Abdullah.

PT Banteng Laut Indonesia merupakan pemilik konsesi, tempat PT Boskalis Internasional Indonesia menambang pasir, yaang pemilik/pemegang sahamnya, antara lain Akbar Nugraha sebagai Direktur Utama, Sunny Tanuwijaya sebagai Komisaris, Abil Iksan sebagai Direktur, dan Yoga Gumelar Wietdhianto.

Selain Akbar Nugraha dan Abil Iksan, nama Fahmi Islami juga tercatat sebagai pemegang saham di PT Banteng Laut Indonesia. Sementara di PT Nugraha Indonesia Timur, Abil Iksan juga tercatat sebagai Direktur, Akbar Nugraha sebagai Wakil Direktur, dan Kendrik Wisan sebagai Komisaris.

Nama-nama seperti Akbar Nugraha, Abil Iksan, dan Fahmi Islami, diketahui pernah menjadi bagian dari Tim Lebah Pemenangan Pasangan Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman. Pasangan ini diusung PDIP, PKS, dan PAN pada Pilgub Sulsel 2018 lalu.

Selain sebagai pemilik/pemegang saham di perusahaan tambang, Akbar Nugraha — yang diketahui teman seangkatan dengan anak Nurdin Abdullah, Fathul Fauzi Nurdin di Binus University – juga ditunjuk sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) oleh Nurdin Abdullah sejak 2018 sampai sekarang, usai terpilih menjadi gubernur Sulsel.

Sementara Fahmi Islami, tercatat sebagai Staf Khusus Gubernur Nurdin Abdullah. Selain itu, Fahmi Islami juga juga menjadi bagian dari Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Provinsi Sulsel.

Sejumlah nama lain juga berada di balik kedua perusahaan tambang di atas. Seperti Sunny Tanuwidjaja dan Kendik Wisan. Sunny Tanuwidjaja tercatat sebagai Komisaris Utama di PT Banteng Lautan Indonesia.

Sunny Tanuwidjaja adalah mantan staf khusus Pemprov DKI Jakarta semasa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang tercatat sebagai Sekretaris Dewan Pembina PSI.

Sunny Tanuwidjaja juga pernah dikaitkan dengan kasus suap anggota DPRD Pemprov DKI Jakarta Muh Sanusi, dalam kaitan dengan reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta.

Sementara Kendirk Wisan adalah pemegang saham terbesar (50%) di PT Nugraha Indonesia Timur. Kendrik diketahui sebagai pengusaha di PT Comextra Majora, bergerak di bidang eksportir kakao dan kacang mede.

Pertanyaannya kemudian, akankah mereka yang terkait dengan Nurdin Abdullah juga bakal diseret, atau minimal dimintai keterangan oleh KPK?

Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

562

Related Post