Pak Jokowi Mau Husnul Khatimah atau Su'ul Khatimah
PERNYATAAN Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tentang Presiden Joko Widodo mengundang kehebohan. Dalam kuliah umum di Universitas Indonesia, Isran menyatakan berani menjamin Jokowi pasti masuk surga. Tak perlu ibadah lagi.
Luar biasa! Isran berani memberi garansi ilahiah itu karena Jokowi dinilainya telah mengambil langkah dan kebijakan besar. Membangun dan memindahkan ibukota negara ke Pasir Penajam, Kaltim.
Isran tidak hanya memuji Jokowi setinggi langit. Dia mejamin langsung tembus ke surga. Tanpa perlu dihisab lagi. Tak ada lagi perhitungan dosa dan pahala. Dalam urusan akhirat, Jokowi mengalahkan para ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh sufi yang sudah berada dalam taraf ma’rifat.
Jokowi, dalam pandangan Isran, levelnya sudah ma’shum. Terbebas dari dosa. Levelnya sama dengan 10 orang sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW yang dijamin pasti masuk surga.
Jokowi menurut Isran, lebih hebat dari semua Presiden Indonesia yang pernah ada. Termasuk dibandingkan dengan Sang Proklamator Bung Karno, dan Soeharto. Apalagi dibandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jauh. Tidak ada apa-apanya.
Bung Karno, dan Pak Harto, kata Isran juga ingin memindahkan ibukota. Sampai keduanya mati —kata mati ini perlu diberi tanda petik “mati” — karena iu kalimat langsung Isran, tak berhasil mewujudkan mimpi itu.
Sementara SBY yang masih hidup,—dalam kalimat langsung Isran “belum mati” — juga tidak berhasil memindahkan ibukota, walau juga punya keinginan. Jika menggunakan bahasa para pendukung Jokowi garis keras, “hanya Jokowi yang bisa. Presiden lain ngapain aja.”
Pernyataan Isran ini, walau kemudian coba diluruskan oleh Humas Pemerintah Provinsi Kaltim, levelnya sudah kelewatan. Keblinger. Dia telah berani mengambil otoritas ilahiah. Masuk surga atau neraka, dalam pandangan Islam, dan juga agama-agama lain, merupakan hak prerogatif Tuhan, Allah SWT.
Karena itu para sufi menggambarkan dalam sebuah syair “Aku tak berhak masuk surgamu. Tapi aku juga takut masuk nerakamu.” Syair itu menunjukkan, orang-orang sufi yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia saja bersikap sangat rendah hati. Di hadapan Allah SWT mereka merendahkan diri, serendah mungkin.
Sikap Isran ini sungguh sangat berbahaya. Ada tanda-tanda yang sangat jelas bahwa Jokowi telah dikultuskan. Menjadi manusia suci yang tak tersentuh dosa.
Apa yang disampaikan Isran super kacau. Jauh lebih kacau dari wacana mendorong Jokowi menjadi presiden tiga periode. Ini menunjukkan sebuah kegilaan para pendukung Jokowi sudah menyentuh ubun-ubun.
Melalui forum ini kita perlu mengingatkan Jokowi, jangan sampai tergoda. Apalagi sampai terlena oleh pujian, dan sanjungan yang menyesatkan. Jokowi perlu belajar dari para presiden terdahulu. Termasuk yang disebut oleh Isran. Bung Karno, Pak Harto, dan SBY.
Bung Karno melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 menjadi Presiden Seumur Hidup. Ingat ya seumur hidup. Bukan hanya tiga periode. Apa yang terjadi? Hanya empat tahun berselang, melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 dia diberhentikan sebagai presiden. Semua kekuasaannya dicabut. Selesailah sudah masa jabatannya selama 22 tahun.
Begitu juga dengan Pak Harto. Dia ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan melalui TAP MPR No V Tahun 1983. Pada tanggal 11 Maret 1998 dia pilih dan ditetapkan oleh MPR menjadi Presiden Indonesia untuk periode ke-7. Hanya dua bulan berselang, karena desakan publik pada tanggal 21 Mei 1998 dia terpaksa meletakkan jabatannya.
Kita pasti sepakat, dari sisi _legacy_ tak bisa membandingkan Jokowi dengan Bung Karno dan Pak Harto. Tidak apple to apple. Kalau tetap dipaksakan, perbandingannya seperti apel dengan durian. Lepas dari berbagai kekurangannya, Bung Karno adalah Bapak Proklamator. Dia juga punya peran besar dalam geo politik global. Pendiri Gerakan Non Blok.
Demikian juga dengan Pak Harto. Dia berhasil membangun ekonomi Indonesia. Menjadi negara yang mampu berswasembada pangan. Di tataran global juga disegani. Menjadi big brother di negara-negara ASEAN.
Dua-duanya, dengan segala warisan besarnya untuk bangsa dan negara, harus turun dari jabatannya dengan cara yang tidak menyenangkan. Dalam bahasa agama disebut su’ul khatimah. Akhir yang buruk.
Bagaimana dengan SBY? Lepas dari berbagai kekurangannya, SBY turun dari jabatannya selama dua periode dengan mulus. Berakhir baik. Husnul khatimah.
SBY dikenang sebagai seorang demokrat. Dia tidak pernah campur tangan urusan parpol lain. Dia tak pernah memenjarakan lawan politiknya. Masyarakat juga guyub. Tak ada pembelahan dalam masyarakat.
Kalau Jokowi? Anda bisa menilai sendiri. Apa warisannya? Utang yang menggunung? Proyek-proyek mangkrak? Dan yang sangat parah adalah pembelahan dalam masyarakat.
Silakan Jokowi mau memilih turun dari jabatan dengan cara yang mana? Cara Bung Karno dan Pak Harto? Atau cara SBY? Sejarah telah mengajarkan. Mau husnul khatimah atau su’ul khatimah. **