Papua, Antara Konspirasi dan Populisme
by Yorrys Raweyai
Jakarta, FNN - Kamis (07/01). Respons terhadap persoalan Papua yang semakin mengemuka turut memunculkan berbagai analisis. Kompleksitas latar belakang yang mengiringi keberadaan Papua dalam bingkai NKRI melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang, di satu sisi, membawa alam sadar kita ke dalam suasana pemahaman tentang betapa ber-“harga”-nya Papua sebagai “surga” menghampar di dunia. Di sisi lain, Papua telah menjadi magnet bagi para pemburu “keuntungan” masa depan yang sedang kehabisan “energi domestik” untuk sekedar mempertahankan kepemilikan status sebagai “adi kuasa” dan “adi daya”.
Apapun hasil analisis kemudian, pada gilirannya akan menempatkan Papua sebagai cerita tersendiri dalam kubangan intervensi. Lebih besar lagi, Papua adalah objek menggiurkan bagi pihak lain di luar dirinya. Kontestasi dan konspirasi pun tidak terelakkan. Pemaknaan tentang keduanya bahkan menjadi lebih mudah dicerna oleh publik yang cenderung membutuhkan penjelasan sederhana tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Instrumen demokrasi yang mengidentifikasi Amerika dan Eropa sebagai pendulum, tentu berkepentingan dengan dekolonialisasi dalam berbagai rupa dan bentuk. Belanda yang sejatinya begitu vulgar menancapkan kuku kolonial di Papua membuatnya kehilangan “alibi” untuk segera hengkang dan menyerahkan kekuasaan. Atas nama demokrasi, Amerika perlahan merengsek masuk.
Tetapi hajat untuk sekedar memberi kebebasan tidaklah cukup diterima begitu saja. Sejak temuan “gunung emas” di akhir tahun 1950-an, membuat publik Papua begitu sulit menerima argumen sederhana tentang “kebebasan” yang hendak disematkan kepada mereka. "There is no such thing as a free lunch" terlanjur meng-adagium di kepala publik yang tersadarkan oleh pasar bebas.
Bukan tanpa alasan jika paradigma tersebut lebih lanjut menuai banyak penjelasan oleh banyak ilmuwan. Greg Poulgrain, seorang sejarawan Australia, dan sederet sejarawan lainnya, sejak lama melakukan kajian tentang kuatnya aroma konspirasi yang menjadikan Papua sebagai objek eksploitasi. Meski atas kepentingan kesejahteraan maupun sebatas eksploitasi sebagaimana dikaitkan dari peran John F. Kennedy dan Allen Welsh Dulles, pintu masuk intervensi terbuka lebar.
Diskursus geopolitik yang meneropong Papua dalam peta dunia memang tidak lagi bisa dihindari. Globalisasi dan pasar bebas di bawah payung liberalisme yang telah mempertautkan satu sama lain dalam aneka ragam kepentingan membutuhkan “mangsa” untuk dijamah. Jika kemudian negara-negara lain turut mengambil andil, maka itupun adalah bagian keniscayaan sejarah.
Atas dasar itulah, membaca gambaran besar (big picture) terkait konstalasi Papua penting untuk selalu digemakan. Agar kita senantiasa memiliki referensi dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Karena itu pula, fundamental kebangsaan dan kenegaraan kita sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila, pun menjadi alasan utama mengapa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh negara harus senantiasa dikritisi dan dievaluasi.
Suara-suara kebebasan yang menggelegar dalam ruang publik Papua hari ini tentu tidak lahir dalam ruang hampa. Di situ tersimpan kekhawatiran, kegelisahan dan keprihatinan. Negara harus hadir dalam berbagai segmen dan fragmen aspirasi, tanpa mengabaikan, mengucilkan, apalagi memberangus mereka yang berbeda. Demikian pula, penyelewengan dan pengabaian atas fundamental kebangsaan dan kenegaraan, pun tidak bisa ditoleransi ataupun didiskriminasi.
Amerika dan Eropa (pihak asing) mungkin tidak lepas dari sinyalemen tentang dominasi, penghisapan, dan perburuan keuntungan. Tapi gagasan tentang pentingnya demokrasi, meski boleh jadi hanya sekedar lip service semata, telah membuka mata publik Papua, bahwa kebebasan dan “kemerdekaan” itu bukan semata slogan perlawanan, tapi hak asasi yang memang inheren untuk terus diperjuangkan.
Kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan adalah diksi-diksi yang membutuhkan perjuangan untuk diselesaikan. Sebab kebebasan dan “kemerdekaan” sebagai manusia dan warga negara tidak akan lahir dalam suasana itu. Sementara kritisisme yang muncul akibat pandangan tentang ketidakhadiran negara dalam berbagai keluh dan kesah publik Papua sejatinya adalah kelaziman yang membutuhkan ruang untuk terus disuarakan dan didialogkan.
Jika tidak, maka perlawanan dan penentangan yang sebelumnya berlangsung pada tataran substansial, berubah dan mengkristal dalam suasana yang semata untuk menunjukkan perbedaan. Apapun yang ditelorkan oleh pemerintah direspons secara berbeda. Dengan menentang, mereka berbeda. Negara yang kehilangan daya untuk menegosiasikan persolan terjebak antara pilihan untuk bertindak tegas atau membiarkan perlawanan bermetamorfosa menjadi semakin buas. Pada akhirnya, korban dari semua pihak berjatuhan.
Di pihak lain, suara publik yang kehilangan substansi terjatuh dalam nuansa populisme. Mengatasnamakan rakyat yang “tertindas”, suara penentangan menjadi nyaring terdengar, semakin terbuka dan tidak lagi berada dalam ruang tertutup. Suara perlawanan di hutan belantara yang hanya di dengar oleh mereka sendiri, perlahan terpublikasi di ruang terbuka. Tersiar melalui dukungan media sosial, disambut oleh mereka yang sebelumnya diam, hingga memunculkan alternatif-alternatif baru.
Ironisnya, dinamika penentangan semakin meluas seiring dengan agregasi kekuasaan yang juga semakin massif. Populisme menjadi lahan efektif bagi mereka yang memang selama ini terbungkam dan terpinggirkan oleh negara yang sibuk menyelesaikan persoalan berdasarkan perspektifnya sendiri. Pada tataran ini, populisme Papua bukan lagi suara pinggiran, tapi merengsek ke tengah, menjadi saluran alternatif. Tanpa disadari lebih jauh, ia pun telah menjadi wadah menggiurkan untuk dimanfaatkan oleh apapun kepentingan yang melatarbelakanginya.
Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah membuka diri. Memang diperlukan ketegasan untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh tunduk atas apapun yang berpotensi menodai fundamen-fundeman yang sejak awal mempersatukan bangsa. Tapi respons atas perlawanan dan penentangan sejatinya berbanding lurus dengan pemaknaan tentang gambaran besar yang pernah, sedang dan akan terus mewarnai kompleksitas persoalan Papua. Jika demikian, maka kita mengkhawatirkan masa depan Papua dihuni oleh dua belah pihak yang jatuh dalam arena populisme di saat keduanya mengusung argumen atas nama rakyat.
Penulis adalah anggota DPD RI Dapil Papua/Ketua MPR For Papua.