Pelajaran dari Kemelut Partai Demokrat
by Suhardi Suryadi
Jakarta, FNN - Di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, maka Gubernur Mesir yang dipimpin Amr bin Ash menempati sebuah istana yang megah. Ironisnya, persis di depannya terdapat sebuah gubuk reyot yang dimiliki oleh seorang lelaki tua dan beragama Yahudi. Karena itu, dengan kekuasaannya sebagai Gubernur, Amr bin Ash berniat menggusur gubuk tersebut dan rencananya akan dibangun sebuah masjid agar sebanding dengan istananya.
Namun pemilik lahan menolak digusur. Sekalipun lahan tersebut telah diganti dengan harga 5 kali lipat. Sebagai penguasa Amr bin Ash, akhirnya secara sepihak menggusur gubuk tersebut. Tidak menerima putusan dan merasa dirugikan, membuat dirinya memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar bin Khattab di Madinah, meski dengan perjalanan dan waktu yang panjang untuk mencapainya.
Ketika sampai di Madinah, lelaki Yahudi ini sedikit ketakutan karena wibawa khalifah Umar. Dirinya menceritakan betapa berat waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan memiliki rumah meski bentuknya sekedar gubuk. Namun karena bertahan tidak dijual, maka gubugnya digusur oleh Gubernur. Amr bin Ash. Mendengar keluhan ini, Umar bin Khattab marah dan meminta lelaki tua itu untuk mengambil tulang bekas dan huruf alif di tengah-tengahnya. Dan meminta kepada lelaki tua untuk menyerahkan kepada Amr bin Ash.
Sesampainya di Mesir, dirinya bertemu dengan Gubernur Amir Bin Ash dan langsung menyampaikan tulang yang berasal dari Umar bin Khattab. Begitu menerima tulang tersebut, Gubernur Mesir terkejut dan langsung meminta stafnya untuk merobohkan masjid yang sudah hampir berdiri. Hanya saja lelaki tua ini mencegahnya dan bertanya kepada Amir bin Ash “Sebentar tuan, mengapa engkau ingin merobohkan masjid itu gara-gara sepotong tulang"
Gubernur Amir bin Ash menjawab “tulang ini merupakan surat dari Khalifah Umar yang mengingatkan agar aku selalu ingat bahwa betapa pun tingginya pangkat dan kekuasaan, suatu saat nanti pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kepada setiap orang seperti huruf alif yang lurus, Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, maka kutebas dan kupalang batang lehermu di tengah-tengah badanmu”
Kudeta Partai Demokrat
Cerita di atas menunjukkan betapa pentingnya seorang pemimpin mendengar keluhan atau masalah rakyatnya. Terlebih jika masalah yang ada terkait dengan kelangsungan kehidupan. Pengambilan hak seseorang, sekalipun untuk kepentingan umum dan pembangunan jelas melanggar dan merugikan aturan yang ada. Dan di negara Indonesia, kebiasaan melanggar ketentuan dan bahkan aturan yang ditetapkan, acapkali sudah menjadi kebiasaan di lingkungan pemerintah.
Tradisi ini juga dapat terlihat dari kasus pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat melalui KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021. Banyak pihak menilai bahwa KLB ini sebagai anomali politik di tengah demokrasi. Selain dipandang sangat kurang lazim mengingat penyelenggaraannya jelas tidak bersandar pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Termasuk juga melibatkan pihak luar (pejabat negara) yang akhirnya didaulat sebagai ketua umum.
Sementara pada sisi lain, kubu Moeldoko menyatakan bahwa Konggres Luar Biasa (KLB) adalah sah dan konstitusional. Bahkan menyebut kubu AHY adalah cacat karena posisi Ketua Umum yang memiliki kekuasaan penuh sebagai alasannya. Sementara keberadaan pengurus yang lain seperti Sekjen tak lebih hanya bendera (pembantu).
Lebih jauh, kubu Moeldoko juga menyebut bahwa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai juga sangat berlebihan karena memiliki kekuasaan yang menentukan calon Ketua Umum dan waktu pelaksanaan konggres maupun konggres luar biasa.
Terlepas dari alasan yang disampaikan oleh penyelenggara KLB di Deli Serdang, yang jelas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan dilandasi oleh niat dan kepentingan buruk dan sulit diterima. Bukan saja menyalahi ketentuan yang tertuang dalam AD/ART Partai, melainkan juga ada unsur politik di baliknya yaitu mengambil alih partai untuk memperkuat kekuasaan. Karena itu, wajar saja, jika AHY (Ketua Umum Demokrat) menyebut bahwa KLB ini adalah illegal karena tidak disetujui, didukung dan dihadiri dua per tiga dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan setengah dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang (DPC).
Peristiwa KLB Partai Demokrat memang ditengarai untuk memecah partai dengan membelah kekuatannya menjadi dua. Dimana pemerintah selaku penguasa yang kelak memutuskan siapa yang dianggap sah. Sehingga dapat mempengaruhi integritas dan kekuatan partai di masyarakat pemilihnya. Bisa jadi kondisi keterbelahan ini akan dibiarkan dan akhirnya berpengaruh terhadap eksistensi partai hingga pemilu 2024. Mengingat pola politik kekuasaan yang membelah partai sudah lazim di Indonesia. Meski sesungguhnya praktek semacam ini dipandang menjadi bencana besar dalam demokrasi akibat cara berpolitik yang tidak sehat.
Karena itu, tuntutan kepada pemerintah agar bertindak jujur dan adil serta tidak memihak menjadi penting dalam penyelesaian partai Demokrat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam menangani kasus penggusuran lahan milik orang Yahudi oleh Gubernur Mesir kala itu. Jika tidak, tragis sekali demokrasi Indonesia.
Penulis adalah peneliti LP3ES