Pemaki dari Istana

Oleh Ady Amar Kolumnis 

MUNGKIN ini tulisan saya yang ketiga atau keempat berkenaan dengan Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden. Apa istimewanya ia kok sampai harus ditulis beberapa kali. Istimewa  atau tidak istimewa seseorang, itu bisa jadi ibrah untuk diteladani atau sebaliknya.

Ia biasa dipanggil dengan Ali, atau Ngabalin nama yang lebih populer. Maka memanggilnya dengan Ngabalin, orang bisa tahu bahwa itu tentangnya. Cuma ia satu-satunya "ngabalin", dan bercirikan selalu memakai sorban di kepala.

Ngabalin ngantor di istana negara. Sehari-hari ia berdekatan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berdekatan itu bukan berarti ia orang paling dekat dengan Presiden Jokowi.

Ada berpuluh bahkan mungkin beratus orang bekerja di sana. Karenanya, belum tentu sepekan sekali ia bisa jumpa wujud presiden di istana. Apalagi Jokowi termasuk presiden yang lebih suka "jalan-jalan" dibanding stay di kantornya. Sedekat apa Ngabalin dengan Presiden Jokowi, tidak ada yang tahu. 

Tapi keakraban selalu ditampakkan Ngabalin jika berdekatan dengan Presiden  Jokowi. Tak segan ia membungkuk-bungkuk, yang dimaksudkan untuk menghormat. Ngabalin seperti tampak ingin selalu menyenangkan Jokowi. Hal wajar, jika ia masih ingin berlama-lama di istana.

Ngabalin bisa disebut penghuni istana paling keras menyerang mereka yang mencoba mengkritik kebijakan Presiden Jokowi. Dalam narasi lain bisa disebut, ia tampak paling menonjol membela presiden. Media televisi acap mengundangnya sebagai nara sumber mewakili istana. Dihadapkan pada para pengkritik kebijakan istana. Bahkan media televisi tertentu, seperti wajib mengundang Ngabalin untuk meramaikan talk show-nya. Konon, rating televisi naik kalau salah satu nara sumbernya itu Ngabalin.

Padahal apa yang disampaikan Ngabalin dalam pembelaannya amat berlebihan. Ia sulit bisa mendengar lawan bicara mengemukakan pendapatnya. Ngabalin main potong saja dan cenderung menafikan penjelasan lawan debatnya. Sulit bisa melihat Ngabalin bicara dengan intonasi landai apalagi sejuk. Jika itu yang terjadi, maka seperti bukan Ngabalin saja yang sedang berbicara.

Ngabalin seakan dihadirkan memang untuk meledak-ledak. Jika berbicara wajib ngegas. Intonasi terus dibuat menaik meninggi, bahkan keluar dari keadaban dalam ruang diskusi. Maka orang bisa membuat definisi tentang Ngabalin: keras dan cenderung ngotot dengan mata melotot dan jari telunjuk seolah "ditembakkan" pada lawan debatnya dalam berargumen. Ngabalin sulit bisa dikendalikan moderator. Maka, gaya Ngabalin boleh juga disebut Ngabalinisme.

Itu istilah yang bisa dipakai untuk menyebut tipe manusia, yang jika beradu argumen memakai atau menyerupai gaya Ngabalin. Maka, sebutan ngabalinisme pantas disematkan padanya.

Tapi ada pula yang menjuluki Ngabalin dengan "Pemaki dari Istana". Adalah Bung Said Didu yang menarasikan pemaki dari istana itu. Sebuah narasi yang pas untuk menggambarkan seorang Ngabalin. Karena hanya Ngabalin-lah satu-satunya orang istana yang punya sikap temperamental di atas rata-rata. Sikap yang jauh berkebalikan dari Presiden Jokowi, yang terbilang santai dan murah senyum.

Maka jika lalu orang  bertanya, mana mungkin sikap bertolak belakang itu bisa disatukan hidup dalam harmoni "rumah" yang sama. Pertanyaan itu tidak salah diajukan, yang pasti penuh keheranan. Tapi nyatanya bisa tuh. Setidaknya sikap kontradiktif bisa bersatu, dan itu ditampakkan oleh perangai Ngabalin dan Jokowi.

Dalam ilmu kepentingan, memang tidak ada yang tidak bisa disatukan. Apalagi menjelang Pilpres 2024, adegan tidak biasa pun ditampilkan tanpa merasa jengah. Tiba-tiba muncul mereka yang menggadang-gadang diri sendiri--bukan digadang oleh kelompok atau partai yang punya kans mencalonkan pasangan capres/cawapres--nekat ingin maju di Pilpres 2024. Semata karena punya cuan atau modal yang cukup, dan dukungan oligarki.

Tapi sudahlah, mari fokus saja pada Ngabalin.

Sikap temperamental seorang Ngabalin, bisa jadi itu memang dibutuhkan istana. Dibuat seakan saling melengkapi. Tak salah jika Said Didu menyebutnya dengan pemaki dari istana. Istilah yang diilhami oleh dialog Catatan Demokrasi tvOne, dengan topik "Perombakan Polisi".

Ngabalin tampil secara daring, atau tidak hadir di studio. Ia hanya muncul wajah dan suaranya. Meski demikian, suara dan lagaknya tetap Ngabalin yang meledak-ledak. Lawan debatnya adalah eks pengacara Bharada Richard Eliezer, Deolipa Yumar. Juga di situ ada Panda Nababan, mantan anggota Komisi III DPR-RI, dan Benny Mamoto, Kompolnas.

Jalannya perdebatan, bukan lagi seru, tapi keluar dari norma kepatutan. Itu antara Deolipa vs Ngabalin. Silahkan jika ingin mencari jejak digitalnya. Menjadi tidaklah penting jalannya perdebatan itu diurai di sini. Perdebatan yang lalu memunculkan narasi dari Said Didu, yang dituliskan dalam Twitter pribadinya, Rabu (31Agustus).

"Hindari berdebat dengan pemaki dari istana."

Menghindar untuk tidak berdebat dengan pemaki dari istana, itu bisa jadi cara ampuh untuk menyudahi tingkah polah seorang Ali Mochtar Ngabalin. Itu agar tontonan perdebatan di televisi bisa hadir sebagaimana yang lalu-lalu. Perdebatan yang saling menghormati lawan dalam berargumentasi. Dan, Ngabalinisme biarlah berhenti pada tulisan sederhana ini. (*)

453

Related Post