Pembubaran FPI: “Memperkosa” Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul! (1)
By Mochamad Toha
Surabaya FNN - Kamis (31/12). Organisasi Massa dibentuk sesungguhnya sebagai wadah berkumpul demi mencapai suatu tujuan bersama anggotanya, sebagai pengejewantahan kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945.
Pasal 28 UUD 1945 menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut tetap harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertujuan untuk merusak tatanan bangsa apalagi kehendak melakukan aktivitas yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dan tindakan terorisme.
Karena itu, munculnya SKB pembubaran Front Pembela Islam (FPI) patut dipertanyakan apa landasannya. Pemerintah harus memberikan bukti-bukti nyata “pelanggaran yang meresahkan masyarakat” seperti apa yang menjadi landasan pembubaran FPI.
Ini harus dilakukan Pemerintah agar tidak muncul anggapan, Pemerintah telah memberikan kebijakan yang sewenang-wenang. Tak hanya kepada FPI, tetapi juga kepada seluruh ormas di Indonesia.
Pasalnya, dari pengamatan di lapangan, sejak Peristiwa Monas, FPI berubah menjadi ormas yang dicintai masyarakat karena aktivitas sosialnya. Tapi, karena belakangan ini FPI berani “berseberangan” sikap/kebijakan dengan Pemerintah, FPI dianggap “kontra” Pemerintah.
Sehingga muncullah SKB tersebut. “Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI)”.
Kesatu: Menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga secara de jure telah bubar sebagai Organisasi Kemasyarakatan.
Kedua: Front Pembela Islam sebagai Organisasi Kemasyarakatan yang secara de jure telah bubar, pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum.
Ketiga: Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat: Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum ketiga di atas, Aparat Penegak Hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam.
Pembubaran FPI yang diumumkan Menko Polhukam Mahfud MD pada Rabu, 30 Desember 2020, sama halnya saat Menko Polhukam dijabat Wiranto ketika membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Senin, 8 Mei 2017.
HTI merupakan badan hukum yang tercatat di Kemenkum HAM sejak 2 Juli 2014. Setdaknya, ada tiga alasan yang disampaikan pemerintah untuk menindak HTI.
Yakni: Pertama, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga, aktivitasnya menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Upaya pemerintah mengambil langkah hukum membubarkan HTI dengan alasan indikasi HTI bertentangan dengan UUD 1945 menjadi kontradiktif terhadap jaminan perlindungan HAM dalam UUD 1945: Pasal 28 UUD 1945 jo Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3).
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Pembubaran FPI ditandatangani 6 pejabat tinggi negara, yaitu: Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna H. Laoly, Menkominfo Johnny G. Plate, Jaksa Agung Burhanuddin, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, Kepala BPPT Boy Rafli Amar.
Isu rencana pembubaran FPI itu sudah mencuat sejak medio 2019. Saat itu di medsos terjadi perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua faksi di masyarakat yang terlibat friksi akut.
Satu faksi gencar mendorong Presiden Joko Widodo untuk membubarkan Ormas Islam FPI. Satu faksilain menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada.
Menurut Sugito Atmo Pawiro, seorang kuasa hukum Habieb Rizieq Shihab, pemerintahan Presiden Jokowi tidak sulit untuk membubarkan ormas semacam FPI tersebut. Habib Rizieq Shihab adalah pendiri FPI semasa Wiranto menjadi Panglima ABRI.
Dengan Perppu Nomor 2/2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17/2013 tentang Ormas yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16/2017, membuka peluang bagi pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.
Pembubaran bisa dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut Surat Keterangan Terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017.
Untuk sampai kepada level beleid ini, harus bisa dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas ini memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara.
Sugito mengungkapkan bahwa fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada Kamis, 20 Juni 2019.
Mendagri Tjahjo Kumolo saat itu sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu yang dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Tapi, Presiden Jokowi menyatakan, kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas.
Tampaknya rencana Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas ini lebih bersifat politis semata. Padahal, kiprah sosial FPI sudah dilakukan di mana-mana dan terekam media mainstream maupun non-mainstream.
Bahkan, media asing kelas dunia seperti The Washington Post sempat menulis kiprah FPI saat ada bencana. Tampaknya, Presiden AS Donald Trump tidak alergi lagi pada ormas FPI yang sering digambarkan sebagai “Ormas Radikal dan Intoleran”.
Melansir Demokrasi.co.id, Kamis (13/6/2019), kiprah FPI dalam membantu korban bencana alam di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Front bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan bencana.
Jurnalis Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help yang diunggah di The Washington Post, Selasa, 11 Juni 2019 lalu.
Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang di rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Pria berusia 50 tahun itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut.
Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulteng, 28 September 2018 lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya.
Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan, FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut. Anwar tinggal di kampung nelayan di daerah terpencil yang sulit terjangkau.
Itulah sebagian fakta yang ditulis Wright di The Whasington Post. Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu orang di Serambi Mekkah itu.
Terakhir, FPI juga turut berperan ikut mengevakuasi korban gempa dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian korban, pendistribusian bantuan ke daerah pelosok, dan membangun perumahan sementara dan masjid baru.
Wright menguraikan, sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI menilai, ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler.
Dalam tulisannya itu, Wright juga mencatat, FPI dibentuk di Jakarta oleh unsur-unsur militer Indonesia setelah jatuhnya diktator Suharto pada 1998 sebagai alat untuk menghadapi aktivis pro-demokrasi dan liberalisme.
Menurut Putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, sebaiknya semua nilai agama di negeri juga diajarkan sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan untuk melawan ketidak-adilan dan penindasan.
Diajarkan pula untuk menegakkan hukum guna melindungi seluruh rakyat secara adil, serta keberanian untuk melawan, jika hukum digunakan menjadi alat segolongan penguasa yang munafik serta menindas.
“Diajarkan juga untuk berpikir kritis, terbuka, jujur dan adil guna memupuk keberanian rakyat melawan faham otoritarianisme gaya baru, praktek jual beli hukum dan jabatan,” lanjut Ketum Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) ini.
Diajarkan untuk menumbuhkan rasa saling menghormati, mengasihi sesama dan antar umat beragama untuk menumbuhkan keberanian melawan adu domba antar umat bergama yang didasarkan kecurigaan dan kebencian buta.
Diajarkan pula bahwa untuk meningkatkan kesadaran berbangsa, bernegara dan ber-Pancasila guna melawan merebaknya penghianatan yang ingin menggiring negara ini jadi antek bangsa dan negara lain.
Diajarkan untuk membentuk keberanian membela dan mendidik kaum pengusaha lemah bumiputera guna berani melawan kerakusan, liberalisme, dan anarkisme pengusaha kuat.
Tentunya, pengusaha kuat yang ingin menguasai kehidupan negara ini yang dampaknya bisa menimbulkan ketimpangan, kecemburuan, keresahan dan ketegangan sosial.
(Bersambung)
Penulis wartawan senior FNN.co.id