Pembubaran FPI, Penegakan Hukum Tanpa Keadilan
by Sugito Atmopawiro
Jakarta, FNN - (Rabu 30/12). Penyelidikan kasus pembunuhan terhadap 6 (enam) laskar FPI oleh polisi pada 7 Desember lalu sudah nyaris terungkap. Kepolisian yang melakukan tindakan membunuh tanpa alasan hukum (unlawful killing) tersebut sebentar lagi akan dinyatakan sebagai pelanggar HAM berat oleh negara. Pelaku dan pemberi perintahnya tentu saja akan dimintakan pertanggungjawaban hukumnya, jika tidak oleh peradilan HAM domestik, ya, seyogyanya oleh peradilan pidana internasional (International Justice Court).
Di tengah situasi inilah tindakan pengalihan isu (deception) dilakukan. Tiba-tiba saja tanpa ada angin, kasus sumir dan aneh tahun 2017 yang menimpa HRS kembali digelar. Kasus yang dilatari laporan polisi nomer LP/510/I/2017/PMJ/Ditreskrimsus oleh Jefri Azhar, atas beredarnya percakapan palsu seolah antara FH dan HRS di website bodong, www.baladacintarizieq.com.
Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak kasus penembakan lascar FPI, upaya menghentikan Langkah dan kiprah HRS terus dilakukan. Menyusul PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII melayangkan somasi kepada HRS agar segera mengosongkan tanah di Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang kini dimanfaatkan sebagai Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Markaz Syariah, dan FPI diwacanakan untuk dibubarkan, kasus chat porno ini pun diungkap lagi. Seluruh permasalahan aneh ini terkait.
Sulit dipahami mengapa kemudian HRS sebagai korban fitnah keji justru ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Mei 2017 atas beredarnya konten porno yang dipastikan palsu di website tersebut. Uniknya, HRS dipersangkakan dengan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 32 UU RI No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 atas Perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Norma-norma hukum yang sejatinya dialamatkan kepada pembuat konten dan website tersebut.
Penyidikan kasus ini sebenarnya sudah dihentikan oleh penerbitan Surat PErintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Metro Jaya tahun 2018. Alasan pemberhentian penyidian perkara ini karena kasus tersebut tidak mungkin diteruskan jika pelaku pembuat web dan konten porno itu tidak ditemukan polisi. Ironisnya kasus ini dibuka lagi dengan putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan nomor perkara: 151/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel.
Asal Bisa Menahan HRS
Menangkap dan menahan HRS di penjara karena perbuatan menciptakan kerumunan massa di tengah pandemic Covid 19, 10 Desember lalu, tampaknya tidak cukup bagi polisi atau pihak yang menghendakinya. HRS terus dijadikan target dan selalu dicarikan alasan hukum agar bisa tetap di tahanan negara. Penegak hukum tidak lagi peduli apakah dasar dan prosedur hukum penahannya benar atau tidak.
Masyarakat yg memahami hukum sebenarnya mudah sekali untuk mencerna kasus ini. Orang akan mudah memahami bahwa cara-cara yang ditempuh untuk menjerat HTS tidak lebih dari sebuah desain aksi dengan menggunakan prosedur hukum formal sehingga terkesan memenuhi aspek legal formal. Polisi berusaha mendapatkan justifikasi, yang seolah-olah dapat dibenarkan menurut hukum, dengan melalui usaha menindaklanjuti laporan dari masyarakat.
Padahal para pelapor perkara ini dipastikan karena adanya usaha sengaja untuk membunuh karakter dan hak kebebasan HRS sebagai warga negara. Desain aksi atau rekayasa proses hukum dalam kasus chat porno karya si pembuat website bodong itu semata-mata untuk membangun propaganda di masyarakat agar kredibilitas HRS hancur. Tujuan akhirnya adalah agar langkah dan kiprah HRS, bersama FPI dan diikuti umat Islam simpatisan lainnya, tidak lagi bisa kritis dalam memperjuangkan amar ma'ruf nahi munkar versus kekuasaan.
Desain aksi ini berbentuk tindakan seseorang atau sekelompok orang atas inisiatif sendiri, atau diperintahkan, telah membuat situs (website) bodong tanpa penanggungjawab bernama: www.baladacintarizieq.com. Konten dari web tersebut adalah potongan percakapan porno dari aplikasi WA (screenshot) yang dilakukan oleh seorang wanita dan pria.
Dalam potongan percakapan porno itu, oleh pengelola web kemudian ditulis bahwa pelaku percakapan adalah HRS dan seorang wanita bernama FH. Seseorang bernama Jefri Azhar kemudian melaporkan HRS ke polisi dengan sangkaan perbuatan melawan UU Pornografi dan UU ITE. Padahal jika menggunakan dasar hukum UU Pornografi dan UU ITE yang benar dan tepat untuk tujuan penegakan hukum, maka sejatinya proses hukum melalu penyelidikan dan penyidikan ditujukan untuk:
1. Polisi terlebih dahulu mengungkapkan, menangkap dan menahan pelaku pembuat website www.baladacintarizieq.com berikut konten-konten pornografi di dalamnya;
2. Kepada pembuat web dan kontennya (uploader) kemudian dimintakan untuk mengklarifikasi kebenaran (otentisitas) konten yang ada pada website tersebut disertai dengan bukti-buktinya;
3. Apabila web dan kontennya adalah palsu maka pelaku pembuat website ini harus dimintai pertanggungjawaban hukum melalui proses peradilan dengan dasar hukum bahwa ia telah melakukan perbuatan pornografi dan penyebaran fitnah melalui dunia maya.
Celakanya, apa yang dilakukan polisi justru sebaliknya. Polisi mempertontonkan kenaifan tanpa malu-malu di hadapan publik, yang seolah-olah seluruh warga negara buta hukum sehingga tidak mampu mengidentifikasi proses penegakan hukum yang fair-play.
Tidak ada alasan pembenar bilamana subjek hukum yang dimintakan pertanggungjawabannya justru orang yang menjadi korban fitnah oleh web tersebut, yakni HRS. Inilah sebenarnya esensi kasus ini.
FPI pun Dibubarkan
Tidak cukup sampai disini saja, pada 30 Desember 2020 ini pemerintah pun secara resmi menghentikan kegiatan dan membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI). Keputusan pemberhentian ini tergolong berlebihan dengan Keputusan Bersama Menteri-Menteri Negara, Kapolri, dan Jaksa Agung, yakni Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G Plate, Kapolri Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar dalam SKB Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.
Di mata penguasa negara saat ini, tampaknya FPI sangat istimewa sebagai organisasi yang dianggap musuh negara. Dengan berdalihkan, antara lain, FPI memiliki aktivitas yang mengganggu masyarakat dan terbukti terafiliasi dengan ISIS, serta tidak memperpanjang izinnya, menjadi dasar pembubarannya. Kelompok non-Islam anti FPI serta-merta berteriak girang tanda kemenangannya. Mudah-mudahan bubarnya FPI tidak menjadi peluang Gerakan Islamophobia mendapatkan anginnya di negeri ini.
Apa pun alasannya, tampak sekali bahwa pemerintah mengambil langkah komprehensif untuk menghabisi setiap potensi kekuatan yang dimiliki HRS dalam menjalankan kegiatan mengontrol pemerintahan.
Dengan bubarnya FPI dipersepsikan bahwa HRS tidak memiliki kendaraan yang terorganisir lagi dalam memobilisasi massa. Sayangnya, pemerintah melupakan satu hal, bahwa ketidakadilan dalam praktek penyelenggaraan negara dan penegakan hukum tidak sekedar berhadapan dengan FPI.
Pesan Sederhana
Apa yang bisa disampaikan disini adalah bahwa langkah penegakan hukum terhadap HRS ini sama sekali di luar nalar hukum dan kebenaran objektif. Polisi dengan senyatanya tidak lagi peduli dengan kebenaran materiil dan sebagainya, oleh karena tujuan sebenarnya adalah menangkap dan menahan HRS.
Kasus demi kasus ini sebenarnya menjadi contoh bagi publik bahwa betapa kepolisian merupakan institusi negara yang bertindak dengan memaksakan kehendak dalam menjerat seorang warga negara agar dapat dipidana, sekali pun tanpa perbuatan melawan hukum.
Kepolisian melakukan tindakan menghukum tanpa prosedur hukum yang benar (due process of law) sehingga mengingkari tujuan penegakan hukum itu sendiri, yakni kepastian hukum dan keadilan. Pertanyaannya, untuk apa penegakan hukum tanpa keadilan? Mubazir!
Semua orang kini menyadari bahwa pesan di balik kasus ini sangatlah sederhana. Siapa pun yang memiliki kaliber seperti HRS, memiliki pengikut besar, dapat mempengaruhi persepsi publik untuk mendelegitimasi penguasa, akan bernasib sama dengan HRS. Hukum hanya dijadikan alat legal formal untuk mensahkan perampasan hak asasi warga negara yang selalu berekspresi menyerukan ketidakadikan negara.
Siapa pun memahami pula bahwa tiada gunanya menegakkan hukum dengan cara memelintir hukum dan menghasilkan ketidakadilan. Jika fenomena ini terus berlangsung maka hukum tidak lagi ditujukan untuk menciptakan ketertiban sosial melainkan akan berujung pada kekacauan.*
Penulis adalah Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab.