Pemimpin Boneka
Oleh Sutoyo Abadi
ISTILAH "Pemimpin Boneka" seringkali diasosiasikan untuk pemimpin yang ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara.
Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosialnya. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda 180 derajat dengan panggung belakang.
Pemimpin boneka politik, selalu bermain watak, seperti pelawak bisa ketawa, sekalipun situasinya sedang gawat. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi.
Teori dramaturgi ini menarik ketika dibawa ke panggung politik. Para pelaku politik (politisi) punya dua panggung. Panggung ketika mereka berhadapan dengan publik, dan panggung ketika mereka berada di lingkungan sang sutradara.
Di hadapan publik, para politisi akan bicara moral. "Saya Pancasila, saya nasionalisme dan NKRI harga mati menjadi khutbah hariannya.
Fungsi-fungsi pelayanan publik akan selalu dijadikan narasi indahnya. Apalah idealisme ini juga jadi narasi mereka saat berada di panggung belakang?
Panggung belakang itu masuk wilayah otoritas ketua umum partai. Anggota partai sebagai serdadu yang bekerja untuk menerjemahkan dan menyampaikan keputusan partai, titah agenda dari ketua umumnya. Pada posisi ini anggota partai yang ada di Senayan sebenarnya sudah mati suri
Di depan media, mereka dalam posisi sebagai Juru bicara partai dengan gaya dan kemampuan inovatif, dan kebesaran seragamnya masing-masing.
Istana dengan ketua Umum partai bagi bagi tugas. Boneka istana mereka akan bicara sesuai draf dari istana. Biasanya, juru bicara istana lebih hati-hati dan lebih teratur, karena merepresentasikan nama istana. Tapi mereka semua tetap sama dalam sangkar arahan sang sutradara sebagai boneka.
Semua peran boneka seolah ia satu-satunya orang yang punya otoritas dan pemegang tongkat kebenaran. Semakin lantang dan keras ia bicara, akan dianggap sebagai orang yang kritis, berani dan mencoba tampil seolah olah sebagai pahlawan. Padahal, boneka tetap boneka . "Di panggung belakang, ketua umum partai sibuk melakukan negosiasi".
Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka. Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis semakin terbuka lebar.
Permainan pencitraan berbasis survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitasnya, tapi terutama untuk mengidentifikasi "apa mau" masyarakat pemilih terhadap anda.
Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang, masuklah cukong / konglomerat busuk sebagai jalan alternatifnya harus cari bantuan. Dan anda tahu, bantuan itu gak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda.
Mana mungkin seorang tukang mebel akan memiliki dana untuk biaya maju sebagai kandidat Presiden tanpa bantuan sponsor, resiko jual diri adalah jalan keluarnya.
Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka makin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah jadi boneka.
Menurut Robert Merton, terjadilah disfunction remokrasi. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka.
Demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Sikap dan perilaku ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial, yaitu para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan atau sudah bisa dibeli otaknya.
Pilpres dan Pilkada bukan lagi sebagai ajang demokrasi tetapi sebagai pasar transaksi dan pabrik untuk menghasilkan boneka dan badut badut politik. Kalau demikian, tidak ada yang bisa diharapkan dari boneka-boneka itu .. ?.
Ingin sukses jadilah boneka, sekalipun harus mempertaruhkan harga dirinya bahkan harga diri bangsa dan negara.
Penulis, Sekretaris KAMI se-Jawa