Penegakan Aturan PPKM Kedepankan Humanisme sambil Membangun Empati
Semarang FNN - Penegakan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) harus secara tegas namun tetap mengedepankan humanisme (kemanusiaan). Di tambah lagi, petugas dan masyarakat perlu saling berempati.
Petugas PPKM juga harus merasai bahwa masyarakat yang mencari nafkah di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) untuk kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya agar tumbuh kesadaran diri setiap anak bangsa terkait dengan kepatuhan terhadap aturan PPKM adalah penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Siapa pun pelanggar harus ditindak tegas tanpa kecuali.
Sebaliknya, mereka yang mencari nafkah dengan berdagang juga harus menyadari akan tugas aparat kepolisian, TNI, satuan polisi pamong praja (satpol PP), dan personel lain yang tergabung dalam tim penegakan aturan PPKM. Mereka bertugas demi mencegah penularan virus corona di tengah peningkatan angka kasus Covid-19 di sejumlah daerah.
Di lain pihak, Pemerintah juga perlu memperhitungkan anggaran untuk keperluan masyarakat di suatu daerah, baik PPKM Level 4 maupun PPKM berbasis mikro. Pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai konsekuensi penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pada hari Selasa (20/7) atau bertepatan pada Hari Raya Kurban 2021, Menteri Dalam Negeri meneken Inmendagri Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali.
Pada hari yang sama, Muhammad Tito Karnavian juga menandatangani Inmendagri No. 23/2021 tentang Perpanjangan PPKM Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Setelah ada aturan PPKM tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak di wilayah karantina selama karantina wilayah berlangsung (Pasal 55). Apalagi, setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (Pasal 7).
Pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Hal ini perlu menjadi bahan evaluasi ketika Pemerintah akan memperpanjang masa PPKM di suatu daerah.
Meski di dua instruksi Menteri Dalam Negeri (inmendagri) itu tidak menggunakan istilah "wilayah karantina" atau menggunakan frasa "PPKM Level 4" (Inmendagri No. 22/2021) dan "PPKM berbasis mikro" (Inmendagri No. 23/2021), bagi pelanggar terancam sanksi UU Kekarantinaan Kesehatan.
Ancaman sanksi ini diatur dalam Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, terancam pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
Pelanggar aturan PPKM juga terancam sanksi sebagai ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 212 sampai dengan Pasal 218; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; dan peraturan daerah, peraturan kepala daerah; serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Risiko Pedagang
Tidak hanya pemerintah, petugas PPKM, dan para pedagang yang harus mempunyai empati, tetapi juga pembeli. Mereka perlu pula tahu akan risiko para pemilik warung/kafe yang membiarkan mereka makan di tempat, apalagi ketentuan ini terdapat di dua inmendagri itu.
Ditegaskan dalam aturan PPKM bahwa pelaksanaan kegiatan makan/minum di tempat umum (warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan), baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi pada pusat perbelanjaan/mal hanya menerima delivery/take away dan tidak menerima makan di tempat (dine-in).
Gegara pembeli makan di tempat, seorang tukang bubur di Kota Tasikmalaya divonis hakim dengan putusan denda Rp5 juta atau subsider 5 hari kurungan penjara pada hari Selasa (6/7) karena terbukti melanggar Pasal 34 Ayat (1) juncto Pasal 21 I Ayat (2) huruf f dan g Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2021.
Di dalam Perda Provinsi Jabar No. 5/2021 Pasal 34 (1) acaman pidana kurungan paling lama 3 bulan atau pidana denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta.
Tidak hanya tukang bubur yang dikenai sanksi, sebagaimana diatur dalam perda tersebut, seorang pemilik kedai kopi di Tasikmalaya juga dikenai denda. Namun, yang bersangkutan memilih menjalani hukuman penjara selama 3 hari ketimbang membayar denda Rp 5 juta karena melanggar PPKM darurat.
Pengadilan Negeri Tasikmalaya pada hari Selasa (13/7) menjatuhkan hukuman tersebut karena pemilik kedai kopi terbukti melanggar aturan PPKM darurat, yakni buka melebihi batas waktu pukul 20.00 WIB.
Penegakan hukum ini tidak lain bertujuan agar pelaku maupun orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama. Apalagi, data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan kasus harian terkonfirmasi positif pada hari Kamis (22/7) pukul 12.00 WIB bertambah 49.509 orang sehingga secara akumulasi mencapai 3.033.339 kasus.
Seiring dengan peningkatan angka kasus Covid-19 di tengah PPKM ini, seyogianya semua elemen bangsa ini perlu merasakan apa yang orang lain rasakan, baik dalam posisi sebagai penentu kebijakan, petugas PPKM, pedagang, maupun pembeli.
Di lain pihak, mereka juga harus berempati terhadap tenaga medis, baik yang bertugas di rumah sakit (RS) maupun pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Mereka berjuang demi kesembuhan pasien Covid-19 di Tanah Air. Bahkan, bisa jadi selama pandemi ini mereka lebih sering di RS ketimbang berkumpul suami/istri dan anaknya.
Kepatuhan terhadap protokol kesehatan ini menunjukkan kepedulian terhadap sesama anak bangsa, terlebih pada masa depan generasi muda. Masa rela membiarkan anak-anak belajar secara daring (online) terus-menerus tanpa mengenal secara fisik teman-temannya.
Khusus bagi pembuat hoaks, janganlah menginformasikan hal-hal yang menyesatkan publik. Apakah kalian tidak kasihan terhadap anak-anak yang kini sedang belajar di sekolah dasar (SD) atau sederajat, sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat, maupun sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. Setop hoaks di tengah pandemi Covid-19. (sws