Penjegalan Anies: Presiden Jangan Diam
Ketika penyelidik KPK meminta keterangan ahli pidana, demikian Tempo, ahli menyatakan pelanggaran Formula E hanya merupakan pelanggaran administratif. Pendapat ini, misalnya, dinyatakan oleh ahli pidana Prof. Romli Atmasasmita. Romli lalu dibujuk untuk mengubah pendapatnya. Namun Romli menolak.
Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR/Anggota DPD RI.
LAPORAN Koran Tempo tentang manuver Ketua KPK Firli Bahuri menjegal Anies Baswedan bukan perkara sepele. Ini skandal besar. Skandal dimana institusi penegakan hukum negara merusak tatanan pelaksanaan demokrasi terbesar di Indonesia.
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak hanya menjegal Anies, tetapi menjegal demokrasi Indonesia. Maka presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak boleh diam, atas tiga pertimbangan utama.
Pertama, diamnya Presiden sama artinya pembiaran terhadap penjegalan demokrasi. Diamnya presiden juga berarti pembiaran terhadap lembaga penegak hukum negara yang secara menjijikkan cawe-cawe dalam politik. Diamnya presiden adalah pembiaran terhadap perampasan hak warga negara untuk dipilih dan memilih oleh institusi formal negara.
Kedua, secara hierarkis KPK berada di bawah Presiden. Perubahan UU KPK yang digagas di Rezim Presiden Jokowi telah mengubah warna KPK. “KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,” begitu bunyi UU No. 19/2019 tentang KPK.
Bagaimana mungkin KPK independen terhadap kepentingan politik eksekutif bila KPK dinyatakan berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif? Relasi kuasa yang tegak lurus dengan presiden cenderung membuka ruang tunduknya KPK kepada presiden.
Maka, rakyat mungkin bertanya-tanya, apakah penjegalan Anies atas inisiatif mandiri Ketua KPK? Atau, apakah penjegalan Anies tidak ada kaitannya dengan celah ruang tunduk KPK kepada presiden?
Pertanyaan itu sekaligus menjadi pertimbangan ketiga yang menuntut presiden tidak boleh diam. Masyarakat harus diyakinkan bahwa presiden bekerja ekstra keras mencegah kerusakan di bumi Indonesia.
Yang dilakukan Ketua KPK memang harus kita respon secara keras. Koran Tempo menulis, Ketua KPK Firli Bahuri disebut berkali-kali mendesak satuan tugas penyelidik agar menaikkan status Formula E ke tahap penyidikan. Ada keinginan menetapkan Anies menjadi tersangka sebelum partai politik mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden 2024.
Namun, rupanya belum cukup bukti untuk hal tersebut. Tapi Firli berkukuh. Pertimbangannya, jika Parpol mendeklarasikan Anies sebagai calon presiden, maka pengusutan perkara itu harus dihentikan. Agaknya, target Ketua KPK bukan murni penegakan hukum, melainkan target politik agar Anies tidak dapat mengikuti pemilihan presiden.
Ketika penyelidik KPK meminta keterangan ahli pidana, demikian Tempo, ahli menyatakan pelanggaran Formula E hanya merupakan pelanggaran administratif. Pendapat ini, misalnya, dinyatakan oleh ahli pidana Prof. Romli Atmasasmita. Romli lalu dibujuk untuk mengubah pendapatnya. Namun Romli menolak.
Penolakan Romli tidak memutus semangat menjegal Anies. Ketua KPK memerintahkan tim penyelidik mencari pakar hukum pidana yang bersedia menjelaskan kasus Formula E sebagai pelanggaran pidana. Konon, Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Agus Surono (yang sebenarnya telah pindah ke Universitas Pancasila sejak 2021) bersedia untuk hal tersebut.
Tidak hanya mengatur jajarannya, Ketua KPK juga bakal turun gelanggang melobi Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Tujuannya agar BPK bersedia mengeluarkan hasil audit yang menyatakan adanya kerugian negara dalam penganggaran hingga penyelenggaraan formula E.
Di media Rakyat Merdeka Online berbeda, Ketua KPK Firli Bahuri menanggapi kabar itu. Firli mengatakan, kerja KPK diuji di pengadilan, bukan hasil ramalan, opini, dan halusinasi. Meski normatif, kita sependapat dengan argumen ini. Tempo belum tentu benar.
Masalahnya, pertama, apakah laporan Tempo adalah hasil ramalan, opini, atau halusinasi? Media investigasi ini tentu memiliki sumber kredibel dan telah menimbang dengan matang sebelum menurunkan berita. Bila tidak faktual, berita yang disajikan dengan mudah menjadi bumerang. Risiko itu tentu disadari Tempo.
Kedua, penegakan hukum tidak cuma di pengadilan. Tetapi sejak penyelidikan, penyidikan, hingga vonis pengadilan. Semua merupakan satu rangkaian yang diharapkan terjadi secara natural. Kalau tidak ditemukan bukti, jangan dipaksakan. Pun sebaliknya.
Sekali lagi, presiden harus angkat bicara. Bila perlu, segera bentuk tim independen untuk mencari tahu kebenaran kriminalisasi terhadap Anies Baswedan, agar presiden mendapatkan informasi utuh dan benar. Tidak berlebihan pula jika Komisi III DPR atau Komite I DPD memanggil dan meminta keterangan Ketua KPK.
Jelang Pemilu 2024, semua penyelenggara negara harus berperan serta meyakinkan seluruh rakyat indonesia bahwa Pemilu berlangsung jujur dan adil. Bukan dengan kata, tetapi dengan tindakan. (*)