Peringatan Terakhir Makar Terhadap Konstitusi
Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak.
Oleh Tamsil Linrung - Ketua Kelompok DPD di MPR RI
ESKALASI demonstrasi menyergap dari berbagai penjuru negeri. Gairah pergerakan kembali bersemi. Gelombang protes mahasiswa menggema. Tampak ada orkestrasi yang terkonsolidasi. Dipicu oleh kegelisahan nurani. Lalu menjadi komando perlawanan dengan fokus isu dan tuntutan yang menjadi problem mendasar dan aktual bangsa ini. Menyelamatkan demokrasi.
Kebanggaan sebagai salah satu bangsa paling demokratis memang perlahan sirna. Indeks Kebebasan Sipil sebagai salah satu indikator penting negara demokratis yang dilansir oleh Bank Dunia, tercatat merosot secara tajam. Bahkan, kini berada di bawah rata-rata dunia. Skor Civil Liberties Indonesia melorot dari angka 0,66 tahun 2015 menjadi 0,59 pada tahun 2020.
Lima komponen penting dari kebebasan sipil ini adalah kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan beragama, kebebasan aktivisme, dan jaminan keamanan pribadi, yang masing-masing mencerminkan konsep inti dalam literatur hak asasi manusia. Pada tahun 2020, secara umum indeks demokrasi Indonesia bahkan mencatatkan angka terendah sejak Indeks Demokrasi diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU).
Problem demokrasi tidak sebatas isu-isu politik dan kebijakan publik. Tapi juga mencakup demokrasi ekonomi yang merupakan dampak turunan dari acakadut perpolitikan di negeri ini. Problem ketimpangan, pengangguran, dan ketidakadilan terhadap akses-akses ekonomi sudah menjadi perbincangan yang populer di negeri ini. Namun, kebijakan publik yang dilansir oleh pemerintah tidak pernah bisa menyelesaikan masalah itu. Sebaliknya, bahkan melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan.
APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang dilembagakan untuk redistribusi, gagal menjadi indikator pemersatu bangsa. Nilai jumbo anggaran negara, tidak banyak yang betul-betul sampai kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, akumulasi utang yang semakin mencemaskan, tidak bisa menyelesaikan malapraktik pengelolaan anggaran negara.
Gairah gerakan mahasiswa yang kembali bangkit setelah lama dinanti, tentu saja layak kita harapkan mengoreksi arah bangsa yang melenceng. Meski upaya ini akan menghadapi ujian. Apalagi pergerakan mahasiswa sempat dianggap mati suri. Lantaran banyak isu penting yang dilewatkan tanpa perlawanan berarti. Belakangan terjadi degradasi gerakan. Ditandai oleh elit organisasi mahasiswa sowan ke Istana Negara. Ritual yang pantang dilakukan oleh gerakan moral. Sebagai moral force, mahasiswa dituntut berada di barisan gerakan yang memilih tetap berdiri di atas aspirasi murni dari rakyat.
Kini, almamater perjuangan dikenakan. Agen perubahan turun ke jalan. Menggelar mimbar-mimbar demokrasi. Lantang berorasi. Menyuarakan aspirasi. Menyoroti ancaman terhadap mandat reformasi. Melawan ambisi penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden yang menghianati konstitusi.
Gugatan dari seantero penjuru negeri menjadi peringatan terakhir sebelum mandat reformasi dan cita-cita demokrasi dimakamkan di pelataran pusara kekuasaan. Peringatan ini mungkin tidak datang dua kali. Karena wacana penundaan pemilu dan penambahan jabatan presiden adalah makar terhadap konstitusi. UUD NRI 1945 hanya mengenal lima tahun masa jabatan presiden. Dibatasi dua periode. Dimotori oleh mahasiswa, rakyat akan bergerak jika agenda penghianatan itu berlanjut.
Meski ada upaya cooling down yang diisyaratkan dengan pengumuman jadwal pemilu maupun rencana pelantikan Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) oleh presiden, namun wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden tidak bisa dianggap selesai. Ancaman terhadap demokrasi ini bukan angin lalu. Jika dibiarkan, akan terus terulang dengan pendekatan dan strategi baru.
Patut pula dicatat, agenda itu dilontarkan langsung oleh orang yang dianggap paling dekat dengan Presiden Jokowi di kabinet. Diucapkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri yang karena kedekatannya dengan Jokowi, bahkan didapuk merangkap 14 jabatan.
Tak sampai di situ, penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden, juga disahuti secara serius dan berulang oleh beberapa menteri dan Ketua Umum Partai Politik kolisi pemerintah. Wacana ini datang dari orang-orang dekat presiden. Mencuat dari istana. Bukan basa-basi obrolan warung kopi.
Nalar kita sulit menerima untuk tidak mengatakan bahwa agenda penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden dipersiapkan secara serius. Terorganisir dengan rapi. Sejumlah indikasi terbaca oleh publik. Termasuk peristiwa yang amat disayangkan ketika acara pertemuan nasional perangkat desa jadi ajang mengamplifikasi wacana tersebut.
Namun kini, kita bisa sedikit punya harapan. Masih ada nurani yang siuman. Paling tidak, hal itu diperlihatkan dari gelombang demonstarsi mahasiswa yang meminta presiden bersikap tegas terhadap wacana yang dilontarkan para menterinya. Bukan sebatas menyudahi wacana penundaan pemilu, tetapi juga bertindak konkret atas kegaduhan yang ditimbulkan tersebut.
Memang, muruah pemerintah kadung jatuh. Kredibilitas pernyataan yang disampaikan secara lisan, bahkan yang didengungkan di depan rekaman dan jepretan media, kini tak lagi mudah ditelan mentah-mentah. Sudah amat sering publik terkecoh oleh sesuatu yang tidak berkesesuaian antara kata dan perbuatan. Bahkan muncul lelucon bahwa pernyataan itu “harus dibaca terbalik”.
Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak.
Bahkan urusan teknis pun tidak pernah bisa tuntas. Dari problem banjir produk impor yang memukul UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikri) lokal, hingga minyak goreng langka dan mahal. Pemerintah bahkan mengakui tak berdaya di hadapan mafia.
Demikian pula harga BBM yang melambung dengan alasan relaksasi fiskal mengatasi pembengkakan subsidi. Ditimpali dengan pungutan pajak berbasis konsumsi dikerek dalam situasi daya beli yang terengah-engah. Situasi kebatinan serba sulit yang tengah dihadapi, membuat rasa sabar rakyat semakin menipis. Diperparah oleh perbincangan elit yang hanya berkutat pada soal jabatan. (*)