Pesangon Negara Bengis
Semua itu hanya demi satu alasan: aturan! Bah, aturan itu kamu yang bikin. Kalau kamu mau, kamu bisa mengubahnya.
Oleh: Radhar Tribaskoro, Pemerhati Politik, Demokrasi, dan Isu Kebangsaan
HARI ini bermunculan berita pemecatan besar-besaran di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pemecatan itu terkait dengan peleburan sejumlah lembaga penelitian ke dalam tubuh BRIN. Maka pegawai honorer, pegawai non-ASN, pegawai kontrak, dari BPPT, BATAN, LAPAN, LIPI, Lembaga Eyckman, Kapal Riset Baruna Jaya, dsb harus diberhentikan.
Pemberhentian itu dilakukan dengan alasan efisiensi. Katanya, seorang staf yang tadinya melayani 1 lembaga sekarang dapat melayani 5 lembaga sekaligus. Namun, yang paling mengenaskan, pemberhentian itu dilakukan tanpa pesangon. Kepala BRIN mengatakan pemberian pesangon menyalahi aturan, sebab kontrak kerja tahunan tidak memiliki klausul pesangon.
Kepala BRIN mungkin pura-pura tidak tahu, banyak diantara pekerja kontrak itu telah bekerja berpuluh tahun. Entah apa sebabnya, mereka tidak mendapat kesempatan menjadi ASN. Kalau ada pegawai-pegawai kontrak bekerja puluhan tahun tanpa jadi ASN bagaimana anda menyebutnya? Saya akan mengatakan bahwa itu adalah kesetiaan. Sebaliknya, orang-orang bengis akan mengatakan pegawai kontrak itu bisa bekerja karena hadiah. Kalau sekarang mereka diberhentikan, hal itu dianggap wajar sebab sudah tidak ada hadiah lagi. Hadiah apa, memangnya uangmu yang dipakai membayar upah mereka?
Ini gambaran negara tanpa etika. Hanya mengandalkan aturan (yang dibikin sendiri) merudapaksa hak-hak pekerja. Negara tampil sebagai penguasa tanpa kemanusiaan. BRIN menjadi contoh bagaimana negara bengis diterapkan, bahkan tanpa mempedulikan situasi ekonomi yang menghimpit karena pandemi.
Negara bengis ini akan menjadi contoh. Di bawah aturan UU Cipta Kerja, sebagian besar pekerja adalah pegawai kontrak. Apabila kondisi ekonomi pasca-pandemi tidak membaik, tidak akab berpikir dua kali korporasi-korporasi akan melempar semua pegawai kontraknya ke jalanan. Tanpa pesangon! Negara bengis akan diikuti oleh korporasi-korporasi bengis. Protes rakyat nanti akan dihadapi oleh polisi-polisi bengis.
Semua itu hanya demi satu alasan: aturan! Bah, aturan itu kamu yang bikin. Kalau kamu mau, kamu bisa mengubahnya.
Sedangkan apa yang kamu abaikan itu adalah etika dan kemanusiaan. Etika dibangun oleh peradaban yang berumur beribu tahun. Etika itu menunjukkan apakah pejabat seperti kalian itu beradab atau tidak! Etika itu sumber efisiensi yang sesungguhnya. Di negara dengan etika dan adab tinggi, rakyat tidak mencereweti kebijakan-kebijakan pemimpinnya. Maka pemerintahan di Jepang bisa bekerja sangat cepat karena etika pejabat sangat dijaga. Hanya merasa salah karena makan di restoran mahal. sudah cukup bagi seorang pejabat Gubernur Tokyo mengajukan pengunduran diri.
Dan, kemanusiaan itu anugerah Tuhan. Kamu mencintai anakmu, istrimu, temanmu, binatang peliharaanmu, lingkunganmu, dan manusia2 lain di penjuru dunia karena mereka sama dengan dirimu, sama ciptaan Tuhan. Apakah kamu akan merendahkan hukum Tuhan di bawah hukum bikinanmu?
Lebih dari itu, saya ingin mengingatkan. Negara ini tidak boleh semata bekerja berdasar hukum. Negara juga mesti bekerja berdasar kepada etika dan kemanusiaan. Kedudukan etika dan kemanusiaan, bagi negara, lebih tinggi daripada hukum. Mengapa? Karena negara itu pertama-tama berdiri atas dasar persetujuan rakyatnya. Jangan dilupakan, Negara Republik Indonesia berdiri dengan melanggar hukum (kolonial) Belanda dan hanya bisa kokoh karena disokong oleh rakyatnya. Apa dasar sokongan itu?
Sokongan itu didasarkan kepada kepercayaan (trust) rakyat. Rakyat percaya bahwa hidup merdeka lebih baik daripada hidup terjajah. Rakyat mempercayai Soekarno, Hatta, Syahrir dan bapak bangsa lainnya, untuk menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju negara yang adil dan makmur.
Kepercayaan publik itu tidak sama dengan hukum. Kepercayaan publik adalah basis untuk menopang dan mengokohkan hukum. Hukum tidak mungkin ditegakkan tanpa kepercayaan publik.
Kepercayaan kepada negara tidak selalu bisa diperoleh melalui penegakkan hukum. Apalagi di negara dimana politik telah mengendalikan hukum. Di negara seperti itu hukum dibikin untuk keuntungan politik sepihak. Hukum semacam itu tidak akan pernah bisa adil.
Tetapi apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini? Seorang Kepala BRIN terkesan bangga melempar pegawai rendahan ke jalanan. Membiarkan ribuan keluarga mereka hidup tanpa sokongan. Puih!
Apa artinya Riset dan Inovasi kalau bukannya membuat negeri ini menjadi lebih beradab, lebih manusiawi? Kebijakan anda memberitahu saya bahwa anda tidak mengerti apa-apa tentang apa yang menjadi tugas jabatan anda. (*)