PNI, PKI, Sukarno, Nasakom, dan Angkatan Darat

Jakarta, FNN - Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengungkapkan, sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno sempat gusar ketika partai berideologi marhaenisme itu diisi tokoh-tokoh yang dianggapnya sudah tua dan tidak progresif revolusioner. Maka pada Kongres PNI 1963 di Purwokerto, sejumlah tokoh PNI disingkirkan.

“Yang mengejutkan, para aktivis PKI (Partai Komunis Indonesia) justru dimasukkan dalam kepengurusan PNI. Misalnya Karim DP, Satya Graha, Walujo, Djarwoto. Bahkan mereka menduduki posisi-posisi penting di dalam kepengurusan partai dan media massa. Inilah yang disebut PKI berjaket PNI,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta, Kamis (30/9).

Selanjutnya, menurut Ginting, pada sidang Badan Pekerja Kongres (BPK) 1 PNI di Bandung tahun 1964, PNI menafsirkan marhaenisme sebagai marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia. Keputusan ini dikenal dengan istilah Deklarasi Marhaenis.

Di situ, lanjutnya, PNI menonjolkan unsur marxisme sebagai suatu paham revolusioner yang berdiri di atas sendi-sendi aksi massa yang revolusioner. Maka, unsur buruh dan tani ditetapkan sebagai soko guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan-golongan progresif revolusioner lainnya. Sekaligus menyingkirkan unsur-unsur non marhaenisme di dalam kepemimpinan partai.

Dikemukakannya, TNI dan sejumlah partai Islam, tidak menyukai perubahan PNI menjadi semakin ke kiri dan menyatu dengan PKI. Hal itu juga sudah terlihat sejak 1958. Ketika Sukarno dan Angkatan Darat berbeda sikap dalam menyelesaikan masalah PRRI/Permesta.

“Para pemimpin Angkatan Darat lebih cenderung menghendaki penyelesaian secara damai. Sedangkan Sukarno berpendapat rehabilitasi terhadap pemberontak hanya mungkin dengan penyerahan mereka terlebih dahulu,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu.

Kemudian, kata dia, Sukarno mencari dukungan dari PKI dan Nahdlatul Ulama (NU). Di sisi lain, Sukarno malah lebih dekat dengan PKI daripada dengan PNI. Ia mengontrol PNI dengan memperkuat kedudukan Ruslan Abdul Gani dalam kepemimpinan PNI. Namun tetap tidak efektif. Ruslan dianggap kurang progresif revolusioner.

“Alasan itulah yang digunakan untuk memasukan aktivis PKI, seperti Karim DP dan lain-lain ke dalam PNI. Itulah PKI berjaket PNI,” ujar Selamat Ginting yang lama menjadi wartawan politik di sejumlah media massa.

Dari sinilah, kata Ginting, PNI sebagai pemenang Pemilu 1955 justru dianggap sebagai pengikut setia PKI. Hal ini, karena pengurus PNI nyaris tanpa kreasi, dan imajinasi. PNI mengeluarkan rumusan-rumusan ‘copy paste’ milik PKI. Misalnya ikut-ikutan membuat tuntutan bubarkan ABRI, bubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), istilah setan kota, kapitalis birokrat, dll.

Dikemukakan, hal itu juga dikemukakan oleh Ketua Umum PNI Ali Sastroamijoyo pada ulang tahun ke 45 PKI. Ia menyatakan PNI bersedia bekerjasama dengan PKI. Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1959-1960 sudah terang-terangan menyatakan ketidaksukaan kedekatan Sukarno dengan PKI. Ia akhirnya mundur dari posisi Wakil Presiden, karena Sukarno dianggap sudah tidak bisa diberitahu lagi.

“Termasuk keputusan Sukarno yang otoriter, membubarkan dua partai, yakni: Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), karena berbeda sikap dengan dirinya. Bahkan dianggap terlibat mendukung PRRI/Permesta pada 1958-1959,” ujar pengamat politik dari Unas ini.

Dengan disingkirkannya Masyumi sebagai partai kedua terbesar, maka tinggal PNI, NU, dan PKI. Dari ketiga partai itulah kaki politik Sukarno dalam wadah Nasakom (Nasional, Agama, Komunis).

Celakanya, ungkap Ginting, PKI yang paling diandalkan Sukarno untuk menjadi sekutu kuatnya dalam menghadapi Angkatan Darat, justru mulai terang-terangan berseberangan dengan Presiden Sukarno. Itulah era tiga polarisasi kekuatan: Sukarno-PKI-Angkatan Darat.

Nasakomisasi terus digulirkan, termasuk upaya untuk memasukkannya dalam organisasi ABRI pada 1964-1965. Begitu juga soal Angkatan kelima di luar AD, AL, AU, Polri. Tentu saja yang paling getol adalah PKI dan lagi-lagi PNI mengekor PKI. PNI tidak menolak pembentukan angkatan kelima. Kedua partai ini seperti tidak ada lagi bedanya.

Karena itu pula mulai terjadi bentrok antara aktivis PNI dengan personel Angkatan Darat pada Mei 1965 di Kalasan, Yogyakarta. Agar konflik tidak berkepanjangan, pimpinan PNI Ali Sastroamijoyo, Surahman, dan Ruslan Abdulgani menemui Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani. “Di situ Jenderal Yani mengingatkan agar PNI jangan ikut-ikutan PKI. PNI itu nasionalis bukan komunis,” ujar Yani tegas. (sws)

510

Related Post