Rakyat Menuntut MK (2): Batalkan UU IKN No.3/2022, Tunjukkan MK Bebas Moral Hazard
Oleh Marwan Batubara, PNKN
Pada tulisan pertama PNKN telah menguraikan berbagai alasan objektif, logis, dan faktual mengapa UU IKN No.3/2022 harus dibatalkan. Proses pembentukan tidak sesuai konstitusi dan kaidah hukum berlaku. Karena itu, PNKN telah meminta MK memutus Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan PNKN, terregistrasi sebagai Perkara No.25/PUU-XX/2022 sesuai tuntutan, yakni membatalkan UU IKN.
PNKN telah mengingatkan MK untuk bersikap adil, independen, konsisten, objektif, transparan, demokratis, serta taat hukum dan konstutusi. Jika prinsip-prinsip bernegara ini dijadikan pedoman, maka PNKN sangat yakin bahwa MK *otomatis* akan membatalkan UU IKN, karena proses pembentukannya inskonstitusional.
Jika akhirnya putusannya justru meloloskan UU IKN, maka PNKN yakin ada masalah besar dengan MK dan Para Yang Mulia Hakim-Hakim MK. Tulisan ini sedikit mengungkap sebagian isu yang diduga terjadi seputar hakim-hakim tersebut. Tapi tulisan ini sekaligus ingin mengingatkan Para Yang Mulia untuk memutus Perkara No.25 sebagaimana seharusnya.
Pada tanggal 20 Juni 2022, MK telah menolak Permohonan Uji Formil & Materil UU MK No.7/2022. Putusan MK atas uji formil dan materil UU MK tersebut merujuk pada Putusan Perkara-perkara No.90, 96, 100/PUU-XVII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022. Dari putusan tersebut, minimal publik perlu paham dan mendapat sedikit gambaran tentang siapa, serta bagaimana sepak terjang dan “profil” Para Yang Mulia Hakim MK.
Dalam perkara *Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020*, Para Yang Mulia telah menyatakan menolak tuntutan para pemohon. Prinsipnya, Para Yang Mulia menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku, dengan berbagai alasan dan argumentasi tidak relevan. Padahal proses pembentukan UU MK berlangsung melawan konstitusi dan kaidah hukum yang berlaku. Pembentukan UU MK tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan tidak pula didukung naskah akademik yang seharusnya dipersiapkan sesuai perintah UU No.12/2011.
Revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over dan azas pembentukan peraturan yang baik. Bahkan, diduga terjadi penyelundupan hukum, memasukkan norma yang sebelumnya tidak dibahas dalam RUU, dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Penyeludupan norma hukum ini diduga terjadi karena didorong kepentingan pragmatis para penguasa oligarkis.
Proses pembentukan UU MK berlangsung tertutup, tergesa-gesa, dan memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang mengalami pandemi Covid-19, para pemegang kekuasaan seolah bertindak seperti mengail di air keruh. Pembentuk UU telah merampas hak-hak konstitusional rakyat, mengabaikan koridor formil, melanggar konstitusi dan merampas hak partisipasi publik. Tampaknya pembentuk UU telah bertindak otoriter dan prilaku sarat moral hazard.
Dalam perkara Permohohonan Uji Materil UU MK No.7/2020, norma-norma yang digugat antara lain termaktub dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf a dan b. Khusus Pasal 87 huruf a yang digugat adalah norma tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, sedang *Pasal 87 huruf b yang digugat adalah norma batas usia hakim*, akhir masa jabatan hakim MK sampai usia 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun.
Terkait Pasal 87 huruf a, mayoritas hakim MK mengabulkan permohonan uji material UU MK, bahwa ketua dan wakil ketua MK tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatan hingga lima tahun. Dengan putusan MK ini, maka ketua dan wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama 9 bulan sejak putusan dibacakan. Sebelum berubah menjadi lima tahun (dalam UU No.7/20202), masa jabatan ketua/wakil Ketua MK dalam UU No.24/2003 adalah 2,5 tahun. Kita tidak yakin akhirnya akan terjadi perubahan pimpinan MK, jika kepentingan sempit berpran lebih dominan.
Terkait Pasal 87 huruf b, semua hakim MK, kecuali hakim Wahiduddin Adam, telah menolak gugatan para pemohon. Artinya, meskipun bermasalah, mayoritas Yang Mulia Hakim MK tersebut setuju dan jusru mendukung norma atau “fasilitas” menguntungkan yang diatur dalam UU MK No.7/2020. Mereka akan mendapat kenikmatan, bisa menjabat hingga mencapai usia 70 tahun, atau paling lama menjabat hingga 15 tahun.
Padahal mestinya masa jabatan hakim MK adalah lima tahun, sebagaimana berlaku untuk jabatan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR. Karena aspek politik dalam lingkup tugas sangat dominan, dan mayoritas hakimnya dipilih lembaga politik (Presiden dan DPR), maka sangat relevan membatasi jabatan hakim MK selama lima tahun dan bisa dipilih satu periode lagi.
Terlepas dari persoalan lingkup tugas MK, pada dasarnya seperti disinggung di atas, masalah “fasilitas” peningkatan batas usia jabatan hakim MK sejak semula memang tidak dibahas atau tercantum dalam naskah akademik UU MK. Norma tersebut, out of the blue, tiba-tiba masuk dalam RUU. Telah terjadi penyeludupan norma hukum yang tampaknya sengaja direkayasa: memberi fasilitas kepada para hakim MK dengan tujuan agar MK terpengaruh, dapat dikendalikan atau berhutang-budi kepada pemberi fasilitas, sehingga berpotensi gagal bersikap independen.
Rakyat bisa saja menilai telah terjadi suap-menyuap atau gratifikasi jabatan atau tindakan menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan. Dengan adanya kenikmatan/gratifikasi yang diperoleh, Para Yang Mulia Hakim MK bisa terpengaruh, sehingga gagal membuat putusan-putusan yang adil, objektif, konstitusional, dan sesuai kepentingan rakyat. Namun pada saat yang sama, putusan tersebut akan menguntungkan para oligarki kekuasaan, karena tampaknya itulah tujuan gratifikasi atau norma peningkatan usia masa jabatan tersebut.
Faktanya, meskipun proses pembentukannya cacat konstitusional dan diduga sarat moral hazard dan conflict of interest, secara sadar MK telah menolak Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020 yang. MK menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku. Tampaknya MK sangat menikmati fasilitas yang disediakan para pembentuk UU yang diduga sarat kepentingan oligarki tersebut. Sikap MK yang berwenang mensahkan aturan untuk diri sendiri ini, meskipun sarat conflict of interest, bukan saja menyangkut aspek kenegarwanan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyangkut aspek moralitas.
Apakah “nasib” Permohonan Uji Formil UU IKN No.3/2020 sama seperti Uji Formil UU MK No.7/2020, akhirnya akan ditolak MK? Apakah MK akhirnya akan menerbitkan putusan yang akan menyatakan UU IKN No.3/2020 akan tetap berlaku? Jawabannya kemunginan besar YA! Meski demikian, sebelum putusan diambil, kami dari PNKN ingin mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk menyadari bahwa mayoritas rakyat sudah paham “what is going on”, apa yang terjadi. Para Yang Mulia Hakim MK harus ingat akan Sumpah Jabatan, memihak kepentingan rakyat dan adanya pengadilan sesudah kematian. Tulisan kami dari PNKN ini lebih ditujukan untuk berfungsi sebagai pengingat: friendly reminder.[]
Jakarta, 28 Juni 2022.