Rocky Gerung : Amandemen Seperti Renovasi Rumah yang Bikin Kegerahan
Jakarta, FNN - Pengamat kebangsaan, Rocky Gerung menganalogikan rencana amandemen UUD sebagai program renovasi rumah yang membuat pemilik rumah tidak nyaman. Hal itu merujuk pada suara penolakan yang mencuat atas isu yang bergulir dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut. Menurut Rocky, percuma ada amandemen jika malah membuat rakyat kegerahan.
Karena itu, amandemen semestinya diarahkan untuk perombakan total kehidupan kebangsaan. Tidak parsial pada rencana Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) semata. Apalagi dikaitkan dengan isu penambahan periode kepemimpinan dan masa jabatan Presiden yang diinginkan segelintir elit.
Rocky menyebut berbagai masalah kebangsaan justru dipendam. Kejahatan bahkan dikunci rapat, seperti kisah klasik kotak pandora. Ia mencontohkan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang saat ini justru tidak diberi peran. “Padahal DPD ini suara paling murni dari rakyat. Dia tidak diedit. Tidak diiintervensi dan diatur-atur (oleh parpol). Semestinya, DPD yang mengatur MPR,” terangnya.
Kritik Rocky terhadap rencana amandemen disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Presiden Perseorangan, Presidential Threshold, dan Penataan Kewenangan DPD”, Jumat (10/9) di Tangerang. Selain Rocky, sederet tokoh penting hadir dalam diskusi yang digelar oleh Kelompok DPD di MPR tersebut. Antara lain, ekonom senior Rizal Ramli, Senator DPD RI Tamsil Linrung, pakar hukum Refly Harun, dan aktivis HAM Natalius Pigai dan Gregerius Seto Hartanto.
Dalam sambutannya, Ketua Kelompok DPD di MPR, Tamsil Linrung menyampaikan kegundahan rakyat. Menurutnya, masyarakat justru mempertanyakan jika isu amandemen yang bergulir dikaitkan dengan penambahan periode ketiga jabatan presiden, atau perpanjangan masa jabatan presiden merujuk pada isu penundaan pemilu.
Menurut politisi senior ini, agak aneh jika ada niat perpanjangan jabatan presiden. Sementara tidak ada indikator keberhasilan pemerintah yang diapresiasi rakyat, meski telah diberi waktu lebih dari satu periode. Yang logis malah, pemerintah bisa saja ada yang meminta berhenti di tengah jalan karena dianggap telah gagal, seperti sering disuarakan publik.
Merespons upaya DPD mendorong kontestasi elektoral yang lebih kompetitif, pakar hukum Refly Harun menguraikan salah satu alasan mendasar pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Yaitu menghilangkan trauma pada masa Orde Baru dimana jumlah calon dibatasi sedemikian rupa. Capres hanya itu-itu saja. Menurut Refly, dengan membuka kran yang seluas-luasnya, maka republik dapat menjaring putra terbaik bangsa. Karena itu, ia mengapresiasi upaya mendorong presidential threshold nol persen, atau diturunkan dari ambang batas 20 persen yang berlaku saat ini.
Senada, ekonom senior yang juga aktif bersuara tentang presidential threshold, Rizal Ramli melontarkan perspektif kritis terhadap sistem pemilu yang hanya menghasilkan pemimpin karbitan. “Dibiayai oleh orang-orang kaya, oleh cukong dan bandar. Akibatnya, ketika terpilih, harus tunduk dan mengabdi mengikuti mereka dibandingkan memperhatikan kepentingan rakyat,” ujarnya.
Hal serupa, menurut Rizal, juga terjadi di level partai politik yang tadinya diharapkan menjadi medium seleksi kepemimpinan dan kaderisasi. “Sumbangan kepada partai politik tidak pernah di audit dan tidak ada transparansi. Sistem kita ini seperti diijon, sehingga pembangunan ekonomi hanya untuk membiayai para cukong,” terang mantan Menteri Koordinator Kemaritiman ini.
Aktivis dan mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai berpendapat bahwa sistem pemilu saat ini belum merefleksikan keseriusan negara dalam menegakkan hak asasi manusia. Hal itu lantaran sistem perwakilan yang diterapkan tidak representatif sehingga sebagian besar masyarakat tidak terwakili aspirasinya dalam kebijakan-kebijakan politik.
Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR, Gregerius Seto Hartanto menyatakan, amandemen merupakan keputusan hukum, namun harus ditempuh dengan konsensus politik. DPD sebagai unsur politik elementer di MPR, dapat berperan strategis dalam isu amandemen UUD. (JD)