RUU ASN: Asa Terakhir Guru Honorer

Seorang guru honorer sepuh bernama Imas Kustiani (53) meninggal dunia sebelum mengikuti seleksi PPPK tahap 2. Pemerintah harus belajar dari kasus ini guna mengatrol empatinya.

Oleh: Tamsil Linrung,  Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD.

GURU honorer tak lelah membangun harapan, tak surut memperjuangkan hak-haknya. Mereka bergerilya, mengemis empati negara di sana-sini. Mereka mengetuk pintu DPRD, menyambangi kantor-kantor kepala daerah, berdiskusi dengan forum-forum masyarakat sipil setempat, berkunjung ke beberapa kementerian terkait, hingga mengadu ke Senayan, di kantor DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI  dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Merespon aduan itu, DPD telah membentuk Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer (Pansus GTKH). Setelah enam bulan bekerja maraton, penghujung 2021 lalu, Pansus GTKH telah menyelesaikan tugasnya. Sepuluh rekomendasi dihasilkan dan telah dikirim ke hadapan presiden. Salah satu rekomendasi tersebut adalah mendesak Presiden RI meneken Peraturan Presiden untuk mengangkat guru honorer berusia 40 tahun ke atas menjadi Pegawai Negeri Sipil tanpa melalui tes.

Kini, separuh peluang guru honorer meraih mimpi ada di tangan presiden. Kita berharap presiden merespon rekomendasi Pansus GTKH DPD sesegera mungkin. Mudah-mudahan hasilnya positif dan sedikit banyak menjadi obat bagi luka panjang kawan-kawan guru honorer. 

Separuh peluang lainnya ada di tangan DPR. Kita tahu, selain membentuk Panitia Kerja Pengangkatan Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (Panja PGTKH-ASN), DPR juga bakal menggodok perubahan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang merupakan RUU Program Legislasi Nasional 2022, sebagai 

arapan guru honorer menjadi PNS muncul dari pasal 131A RUU ASN. Ayat 1 menyebutkan, tenaga honorer atau Pegawai Tidak Tetap yang telah secara terus-menerus bekerja pada instansi pemerintah diangkat menjadi PNS secara langsung. Ayat dua menegaskan pengangkatan didasarkan pada kelengkapan syarat administrasi, sementara ayat tiga memberi prioritas kepada mereka yang memiliki waktu kerja paling lama, tanpa batasan usia. 

Terkait guru honorer, bunyi pasal ini kurang lebih masih sejalan dan senapas dengan rekomendasi Pansus TGKH DPD. 

Penolakan Menteri PANRB

Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, 8 April 2021,  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menolak usulan tenaga honorer, pegawai tetap non PNS dan pegawai kontrak dapat diangkat langsung menjadi PNS. Alasannya, PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer jadi CPNS, menyatakan pejabat pembina kepegawaian (PPK) dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis. 

MenPANRB juga menilai pengangkatan tidak sesuai dengan sistem merit, yakni kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi.

Persoalannya, bagaimana kita menempatkan kata adil dan wajar tanpa diskriminasi itu? Sebab, kalau menilik substansi masalahnya, aspek keadilan dan kepantasan justru hanya bisa ditegakkan bila negara memberikan kebijakan afirmasi kepada guru honorer senior. 

Kebijakan afirmasi itu perlu dilakukan karena beberapa hal. Pertama, sebagai apresiasi negara atas jasa guru honorer yang telah mengabdikan nyaris separuh umurnya mendidik generasi bangsa meski negara memperlakukan mereka di luar kepantasan. 

Guru honorer adalah solusi bagi kurangnya tenaga pendidik.

Ketua Umum PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Unifah Rosyidi bahkan mensinyalir sekolah akan lumpuh tanpa guru honorer. Karena negara memilih guru honorer sebagai solusi sementara, maka apresiasi negara mengangkat guru honorer menjadi PNS adalah adil dan pantas.

Kepantasan dan keadilan itu dipertegas oleh batasan usia dan pengabdian, sebagaimana rekomendasi pansus  GTKH DPD.

Kedua, PPPK sebagai program yang digadang-gadang pemerintah menjadi solusi bagi persoalan akut guru honorer justru tidak adil bagi guru honorer senior. Mereka harus melalui tes dengan calon guru fresh lainnya, passing grade atau nilai ambang batas yang tinggi, tempat tes yang jauh yang menyulitkan guru-guru honorer senior, dan berbagai persoalan teknis lainnya. 

Seorang guru honorer sepuh bernama Imas Kustiani (53) meninggal dunia sebelum mengikuti seleksi PPPK tahap 2. Pemerintah harus belajar dari kasus ini guna mengatrol empatinya.

Lagi pula, status PPPK memosisikan guru sebagai pihak yang lemah karena ikatan kerja dalam PPPK memungkinkan guru dapat dipecat setiap saat. Hal tersebut tidak sebanding dengan profesi terhormat guru. 

Ketiga, guru honorer menjadi PNS adalah janji Jokowi yang disampaikan dalam berbagai kesempatan saat kampanye Pilpres 2014. Saat berkuasa, pemerintah Jokowi menjanjikan hal yang sama melalui pernyataan Menpan RB (ketika itu) Yuddy Chrisnandi. Namun, belakangan, Yuddy membatalkan janji tersebut dengan dalih pemerintah tidak punya dana. 

Hentikan Infrastruktur

Meskipun Menpan RB Tjahjo Kumolo mengungkap berbagai alasan teknis dan prosedural UU saat menyatakan penolakannya mengangkat guru honorer menjadi PNS, namun alasan mantan Menpan RB Yuddy boleh jadi masih terselip sebagai salah satu silent factor penolakan pemerintah. Mengapa? situasi ekonomi negara saat ini nyatanya tidak lebih baik dari periode pertama Jokowi. Utang negara, misalnya, semakin menumpuk dan kian membebani APBN. Saking besarnya utang negara RI, BPK pernah menyatakan kekhawatirannya bahwa pemerintah tidak mampu membayar utang tersebut.

Namun, kondisi keuangan negara yang boleh jadi merupakan faktor pendukung batalnya guru honorer diangkat menjadi PNS justru tidak terlihat pada sikap dan ambisi pemerintah membangun infrastruktur. Pemindahan ibukota negara baru, misalnya, tetap diagendakan. Pun dengan pembangunan infrastruktur yang mubazir, seperti rel kereta api cepat Jakarta-Bandung yang pada akhirnya membebani APBN. Belum lagi infrastruktur yang tidak tepat sasaran, misalnya Bandara Kertajati, Sumedang, Jawa Barat.

Semua itu menjelaskan, ada yang keliru dalam masalah prioritas pembangunan negeri. Infrastruktur bukan tidak penting. Namun, jauh lebih penting mengutamakan kualitas pendidikan demi masa depan bangsa yang lebih baik. Sebab, diakui atau tidak, pengelolaan dunia pendidikan kita belum maksimal.

Urusan data saja masih carut-marut. 

Oleh karena itu, rekomendasi lain dari Pansus GTKH DPD adalah mendesak presiden menginisiasi rancangan _grand design_ atau _blue print_ tentang guru. Cetak biru dimaksud adalah pemetaan nasional yang memotret seluruh persoalan guru Indonesia, baik kebutuhan guru, sebaran guru, jenjang karir, kesejahteraan, dan semua hal terkait guru dari hulu ke hilir, dari masalah sinkronisasi data hingga implementasi lapangan. 

Kini, asa terakhir guru honorer menunggu pengesahan RUU ASN. Semoga hasilnya sesuai harapan guru. Sembari menanti, ada baiknya Presiden Jokowi segera merespon rekomendasi Pansus GTKH DPD, dengan mengeluarkan Perppu pengangkatan guru honorer usia 40 tahun ke atas menjadi PNS tanpa melalui tes. Kalau bisa sekarang, mengapa ditunda?

316

Related Post