Salim Said dan Islam (2)
Oleh Fathorrahman Fadli I Wartawan Senior FNN
Sebagai warga Indonesia berketurunan Arab, tentu saja Salim Said sangat mencintai Indonesia dengan sepenuh jiwa. Terkadang ia sering mengeluhkan sebutan orang pada dirinya sebagai orang Arab. Ia lebih senang menyebut dirinya orang Indonesia. Lahir dan besar di Indonesia, dan dia lahir dari orangtua yang sudah menjadi Indonesia sejak lahir. Disitu dia kerapkali.marah jika disebut sebagai orang Arab. Dia bahkan tidak mau disebut sebagai orang Arab.
Salim juga mengkritik keturunan Arab yang masih belum mau sepenuhnya menyatu dengan warga lokal. Hal itu ia contohkan misalnya, masih enggannya warga keturunan Arab untuk menikahi warga lokal dimana ia tinggal. Assyegaf maunya menikah dengan sesama Assyegaf, Shihab hanya mau dengan Shihab dan seterusnya. Kondisi ini menurut Salim dapat memperlambat proses akulutrasi atau penyatuan warga keturunan Arab dengan warga negara Indonesia.
Salim bukan sekadar menuding, namun ia mencontohkannya sendiri. Oleh karena kesadaran tersebut, Salim membuktikan dirinya menikah dengan orang Palembang yang kemudian menjadi istrinya hingga sekarang. Semua itu ia lakukan karena dirinya ingin Indonesia betul betul menjadi warga Indonesia. Dari pernikahannya itu ia berinama anaknya dengan nama desa dikampungnya, Amparita, dnegan tujuan lebih cepat melebur menjadi Indonesia. Amparita yang kini hidup dan berkeluarga dengan warga Amerika itu kini bermukim di Amerika.
Mengapa Salim melakukan hal itu?
Setidaknya kepada saya dia menjelaskan, agar percepatan menjadi Indonesia itu bisa lebih mudah tercapai. Sebab Indonesia dimata Salim Said masih berupa cita-cita, belum menadi sesuatu yang "maujud" sebagai bangsa.
Salim berkeyakinan bahwa Islam itu merupakan agama yang sangat kosmopolit. Bukan agama lokal Arab yang hanya dipeluk oleh negara Arab. Salim melihat perkembangan Islam di Indonesia ini masih jauh dari cita-cita nasionalnya sebagai bangsa yang jaya raya.
Nabi Muhammad Kurang Berhasil?
Dalam diskusi terbatas, sesaat setelah diskusi umum bubar saya kerapkali diskusi bertiga dengan Salim dan Ichan. Dalam diskusi yang sangat terbatas itu, Salim sering melontarkan hal-hal yang tak terduga. Pernah suatu ketika, Salim beroendapat bahwa sesuangguhnya dakwah Nabi Muhammad di Jazirah Arabia itu kurang berhasil.
"Ini hanya untuk konsumsi kita saja ya, menurut saya pekerjaan rumah kita sebagai umat Islam itu masih sangat banyak. Itu tak perlu kita sesalkan, yang penting kita terus maju melakukan perbaikan sejauh yang kita bisa. Sebab Rasulullah Muhammad pun menurut saya, dakwahnya di jazirah itu belum berhasil," cetusnya suatu ketika.
Salim melihat Rasullah belum berhasil menjadikan akhlak masyarakat berubah menjadi baik sebagaimana yang dikehendaki Rasulullah. Akhlak Rasulullah yang oleh alquran disebut sebagai akhlak Alquran itu ternyata memang susah untuk ditiru dan diikuti oleh masyarakat biasa. Sebab dalam filsafat, anjuran Rasulullah agar kita berakhlak mulia itu merupakan Das Sollen.sedangkan kenyataan masyarakat Arab yang masih belum beradab hingga saat ini itu adalah das sein, fakta objektif dalam hidup kita bermasyarakat.
Menurut saya, kata Salim, Indonesia mungkin dikatakan sebagai lebih baik kondisinya daripada masyarakat Arab hingga saat ini. Masyarakat Arab dalam pandangan Salim Said masih terbentur oleh realitas kulturalnya yang terdiri berkabilah-kabilah, dan masing-masing kabilah itu mempertahankan dan membanggakan budayanya sendiri-sendiri dengan tingkat egosentrisme yang kaku.
Dalam konteks dan nalar psikologis seperti itu, Salim benci pada orang yang menyebutnya sebagai orang Arab. Bahkan ketika ada orang di luar negeri dimana dia sedang bertugas sebagai duta besar menyebut dirinya orang Arab. "Saya tidak suka kalau saya dibilang Arab, saya orang Indonesia yang berasal dari Amparita," jelasnya.
Mengapa Arab belum Islami?
Menurut Salim Said dikarenakan banyak hal. Salah satunya adalah karena egosentrisme kesukuan orang-orang Arab yang masih sangat kental. Mereka masih terlalu terikat oleh ritus-ritus kebudayaan Arab masa lalu yang belum modern. Padahal Islam, lanjut Salim merupakan agama yang modern, agama yang kosmopolit.
Atas dasar itulah kemudian, negara-negara Arab berdasarkan hasil riset yang dilakukan Unieristas Harvad dan Stanford University; negara negara Arab tidak tergolong dalam negara yang mampu menjalankan nilai-nilai substantif Islam dalam institusi-institusi sosial dalam masyarakatnya. Yang justru berhasil menjadi negara-negara sekular seperti New Zealand dan Norwegia.
Negara-negara yang mampu menyerap nilai-nilai substantif Islam kedalam kehidupan negaranya sangatlah potensial untuk menjadi negara yang maju dan berkeadilan. Demikian Salim Said menjelaskan. (Bersambung)