Satgas Polri VS Civil Society
Oleh Farid Gaban - Jurnalis Senior
DALAM beberapa hari ini terungkap bahwa Satgas Khusus Polri yang dipimpin Fredy Sambo dipakai pula untuk membungkam oposisi dan mengkriminalisasi demonstran serta aktivis.
Satgas itu dibentuk oleh Tito Karnavian, kini Menteri Dalam Negeri. Tito adalah mantan Kapolri yang naik daun secara politik berkat sukses membasmi terorisme (war on terror).
Lebih setahun lalu saya telah menulis tentang bagaimana isu terorisme (war on terror) sangat rawan dipakai tidak hanya untuk menangkapi orang Islam, tapi juga para aktivis sekuler (HAM dan lingkungan).
Perluasan cakupan Satgas Polri sangat mudah terjadi karena kita (publik) cenderung permisif, bahkan memberi "blanko kosong" kepada polisi dan badan intelijen negara. Tanpa kritisisme, kerja "perang melawan teror" mudah tergelincir disalahgunakan.
"War on terror" di Indonesia sudah 20 tahun lebih, operasi anti-teror terlama di dunia di luar wilayah konflik.
Alih-alih menagih tanggungjawab polisi, Densus, BNPT dan badan intelijen, kaum intelektual, akademisi serta jurnalis cenderung percaya begitu saja cerita polisi dan intel.
Memberi blanko kosong kepada polisi dan intel punya konsekuensi luas bagi demokrasi kita dan bagi civil society keseluruhan (tak hanya bagi umat Islam yang selalu dijadikan sasaran kecurigaan).
Pada 2003, Human Rights Watch membuat laporan yang menyimpulkan bahwa "war on terror" dimanfaatkan oleh para despot dan diktator sebagai dalih untuk mempersempit kebebasan sipil, memberangus oposisi dan meredam protes.
Lewat "perang melawan teror", kekuasaan polisi dan aparat intel makin kuat. Tak hanya anggaran makin besar, tapi juga kekuasaannya, yang jarang dipertanyakan.
Kita tidak peka lagi terhadap standar normal kehidupan bernegara. Kita cenderung membiarkan polisi melenggang begitu saja meski telah membunuh 100 lebih terduga teroris tanpa proses hukum (extra-judicial killing).
Kita tidak peka lagi ketika kekuasaan polisi/intel dipakai untuk memberangus demonstrasi damai.
Kita menutup mata bahwa polisi menangkap 5.000 demonstran dalam dua gelombang besar demonstrasi: anti-korupsi dan anti-Omnibus Law dua tahun terakhir.
Kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan cenderung mengarah pada pendekatan keamanan dan negara-polisi (police state). Memberi impunitas kepada aparat dan mendorong satu warga memata-matai warga lain.
Dan itu tak hanya merugikan aktivisme Islam. Kekuasaan polisi dan aparat intel dipakai juga untuk meredam demonstrasi tanpa motif agama, aspirasi politik lokal seperti Papua, aktivisme sosial melawan penggusuran dan aktivis pembela lingkungan.
Lebih segalanya, blanko kosong kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan memperkuat posisi kaum oligark, melindungi perselingkuhan politisi dan bisnis yang makin korup dan menindas. (*)