Setelah Mega, Anies Bakal Menghadapi Tragedi Demokrasi Konstitusi
Hanya Soekarno dan Soeharto yang mampu menampilkan demokrasi yang bersumber dari pikiran, ucapan dan tindakannya sendiri. Dua figur pemimpin besar yang menjabat presiden Indonesia itu, bahkan menjadi superior di atas konstitusi dalam proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Soekarno dengan demokrasi terpimpin, Soeharto identik dengan demokrasi semu. Pun demikian, sejarah melukiskan kedua pemimin sipil dan militer itu, cenderung sama-sama memiliki karakter anti demokrasi. Mereka merupakan putra-putra terbaik Indonesia yang berhasil menaklukkan sekaligus menjadi korban demokrasi konstitusi.
Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI
PASCA kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, terutama di ujung berakhirnya kekuasaan orde baru. Politik Indonesia berupaya menampilkan transisi kekuasaan yang otoriterian menuju kehidupan rakyat yang lebih demokratis. Selain karena tekanan politik, ekonomi, hukum dan keamanan, geliat perubahan mengemuka juga dipengaruhi oleh bangkitnya kesadaran dan gerakan "civil society". Isu HAM, demokratisasi, penerapan Pancasila dan UUD 1945 serta tema-tema strategis lainnya, begitu deras mengalir hingga bermuara pada kelahiran era reformasi.
Banyak catatan historis dan ideologis yang mewarnai kehidupan rakyat, negara dan bangsa Indonesia terutama setelah lepas dari cengkeraman orde baru dan orde lama. Meskipun pada akhirnya rakyat merasakan betapa iklim reformasi tak luput mengalami distorsi. Apa yang kemudian diperjuangkan terkait penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, bebas dari praktek-praktek KKN, supremasi hukum, profesionalitas birokrasi dan militer. tanpa eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan dll. Ternyata tak lebih baik dapat diwujudkan dalam era reformasi. Bahkan kecenderungan semakin merosotnya kualitas dan kuantitas kehidupan rakyat, terlihat begitu kentara.
Rezim reformasi jauh lebih bengis dan lebih buruk ketimbang pelbagai gugatan dan perlawanan rakyat yang pernah dilakukan pada era orde lama dan ode baru.
Simbol Perlawanan Rakyat
Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, biar bagaimanapun sejarah pernah menjadi saksi bahwasanya kehudupan demokrasi di Indonesia pernah menghadirkan Megawati Soekarno Putri seorang figur yang gigih memperjuangkannya. Mega sedikit pemimpin di jamannya yang mampu bersikap tegas dan mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan rezim saat itu. Sebagai pegiat demokrasi dan pemimpin partai politik, Mega telah melewati masa-masa sulit dan mengambil beragam resiko dari pandangan dan sikap politiknya. Putri sulung Bung Karno itu harus mengalami teror, intimdasi, hujatan dan fitnah langsung dari rezim dan anasir kekuasaannya. Bukan hanya diselimuti rasa permusuhan dan kebencian. Mega juga ditempatkan sebagai lawan berbahaya pemerintahan dan telah menjadi musuh negara versi rezim.
Begitupun dengan Anies Rasyid Baswedan, tak pernah lepas dari pengalaman-pengalaman yang sama yang pernah dialami Megawati Soekarno Putri. Baik Anies yang lebih banyak menyelami dunia pendikan, maupun Mega yang lebih intens dengan partai politik. Keduanya tak pernah bisa menghindari pusaran politik yang memikul beban hajat hidup orang banyak. Secara empiris, keduanya bisa dibilang matang bersentuhan dengan dunia politik dan birokrasi di Indonesia. Menariknya, antara Mega dan Anies memiliki irisan yang kuat yang berkorelasi erat dengan dinamika dan konstelasi politik nasional. Mega sebagai ketua umum PDIP yang menjadi "the rolling party" dan memiliki kader sebagai presiden Indonesia sekaligus petugas partai. Di lain sisi, Anies sebagai figur pemimpin masa depan yang memangku jabatan gubernur Jakarta dan capres potensial yang tidak memiliki partai politik. Mega dan Anies seperti sebuah hubungan sosial yang saling kenal, tidak jauh tapi tidak dekat juga, sewaktu-waktu bisa intim dan tidak berjarak untuk bertemu dan saling berinteraksi.
Pada akhirnya bukan hanya "inner circle" Mega dan Anies, lebih dari itu seluruh rakyat Indonesia akan menanti sejaumana episode hubungan keduanya. Apakah sebatas hubungan politik praktis kontemporer yang hanya bisa jenghasilkan koalisi atau oposisi semata di antara keduanya, atau akan ada hubungan antar dua figur negarawan. Mega dan Anies akan bertemu dalam konstelasi dan konfigurasi pilpres 2024. Akankah karakter sejati keduanya bertemu dalam hubungan yang hangat dan mesra menjadi sinergi dan harmoni. Menjadi kedua kekuatan politik yang bukan sekedar berkolaborasi, akan tetapi mendorong Mega dan Anies sebagai faktor penting dan berengaruh menghasilkan solusi problematika negara dan bangsa.
Mega yang pernah menjadi harapan dan simbol perlawanan rakyat terhadap kedzoliman rezim, akankah berubah setelah memiliki kekuasaan. Sanggupkah Mega melihat figur Anies seperti dirinya sendiri yang pernah berjuang untuk tegaknya demokrasi dan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik. Mungkinkah Mega menjadi ahistoris dan kontra revolusioner, terus memelihara dendam sejarah dan dendam sosial ke panggung politik nasional. Akankah Mega terjebak pada demokrasi konstitusi yang pernah menjadi tragedi dalam kehidupan pribadi dan rekam jejak politiknya.Kalau itu tak akan terjadi, besar kemungkinan karakter simbol perlawanan rakyat tak akan hilang dan tetap diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Siapa pemegang estafetnya yang mumpuni dan layak mengemban amanat itu?. Tak harus biologis yang penting ideologis, sebagai pemimpin rvolusioner bagi kepentingan nasional dan internasional. Setidaknya nilai-nilai dan kepribadian itu ada pada Anies yang ideologis Soekarno, dan bisa saja Puan yang biologis Mega yang mendampinginya. Keduanya mungkin saja menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk yang ada pada etalase kepemimpinan nasional. Minimal mampu menghindari tirani dan tragedi demokrasi konstitusi atau pseudo demokrasi. Terlihat samar-samar dalam lampu temaram republik, rakyat Indonesia belum punya kemampuan mengambil keputusan politik dan masa depannya sendiri.
Kecuali hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir sejarah.
Wallahu a'lam bishawab.
Munjul-Cibubur, 28 Juni 2022.