Sikap Politik PDIP Tak Jelas, Oposisi atau Koalisi
Jakarta | FNN - Dinamika yang terjadi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-Perjuangan pada akhir pekan dinilai menunjukkan “isyarat kuat” bahwa partai tersebut akan menjadi oposisi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menurut sejumlah pakar politik.
Tapi mengapa PDIP belum mengumumkan sikap partainya secara resmi dan tegas?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menyatakan sikap partainya soal akan berada di dalam atau di luar pemerintahan “harus dihitung secara politik”.
“Loh enak ae kalau menit ini saya ngomong, kan harus dihitung secara politik,” kata Megawati dalam pidato penutupan Rakernas PDIP di Jakarta pada Minggu (26/05) sambil menyinggung soal banyak pihak yang menantikan sikap politik partainya.
"Gua mainin dulu," kata Mega.
Dia kemudian meminta kader-kader partainya untuk fokus pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan segera digelar.
Namun Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana sekaligus dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia menilai "suasana kebatinan" yang terlihat sepanjang rakernas menunjukkan bahwa PDIP tampaknya akan menempatkan diri sebagai oposisi.
"Tampaknya PDIP tidak akan masuk ke pemerintahan karena ada banyak kekecewaan kadernya terkait pelaksanaan Pemilu 2024,” kata Aditya kepada BBC News Indonesia.
Dalam hasil rakernasnya, PDIP menyebut Pemilu 2024 sebagai "yang paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia", meminta maaf atas perilaku kadernya yang "tidak menjunjung tinggi etika politik", dan menyoroti perlunya "fungsi kontrol dan penyeimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi".
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor juga memprediksi bahwa kecenderungan PDIP untuk menjadi oposisi "relatif kuat".
Hanya saja, PDIP disebut masih mempertimbangkan untung-rugi terkait sikap politik mereka hingga kepentingan elektoral jelang Pilkada.
Apa hasil Rakernas PDIP?
"Pemilu 2024 adalah pemilu paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia," kata Puan Maharani ketika membacakan hasil rakernas PDIP di Jakarta pada Minggu (26/05).
Menurut PDIP, penilaian itu muncul karena telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan, intervensi aparat penegak hukum, pelanggaran etika, penyalahgunaan sumber daya negara, dan masifnya praktik politik uang.
PDIP turut menyuarakan soal “evaluasi yang objektif” atas pelaksanaan Pemilu 2024.
PDIP juga meminta maaf soal perilaku kader partai yang disebut tidak menjunjung tinggi etika politik, tidak berdisiplin, melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi partai, serta melanggar konstitusi dan demokrasi.
Poin lainnya menyoroti soal perlunya fungsi kontrol dan penyeimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
PDIP mendorong adanya perlakuan setara dan adil antara partai politik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan.
Selain itu, suara arus bawah PDIP juga meminta agar Megawati hanya menjalin komunikasi politik dengan pihak-pihak yang berkomitmen tinggi menjamin agenda reformasi.
Meski belum ada ketegasan dari Megawati selaku ketua umum partai, Ganjar Pranowo mengatakan bahwa poin-poin yang disampaikan dalam hasil rakernas tersebut telah menggambarkan arah politik PDIP.
“Poin kedua dari rekomendasi tadi saya kira menjelaskan dengan sangat bagus bahwa mendorong pemerintah agar membuat regulasi yang adil terhadap partai yang berada di dalam pemerintahan dan di luar pemerintahan, saya kira pasti teman-teman sangat bisa membaca soal itu," kata Ganjar kepada wartawan.
“Saya kira itu juga menggambarkan sikap politik yang ada di PDI Perjuangan, meskipun nanti resminya, ketua umum akan menyampaikan,” sambung Ganjar.
Pengamat politik BRIN Firman Noor memprediksi bahwa sikap resmi PDIP nantinya tidak akan jauh melenceng dari rekomendasi yang disuarakan lewat rakernas.
Firman mengatakan hubungan buruk dengan Jokowi akan menjadi penghalang terbesar bagi PDIP untuk bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Itu mengingat ada persoalan mendasar dari PDIP yang melihat bahwa pemerintahan yang baru ini dibentuk atas campur tangan sosok [Presiden Joko Widodo] yang punya riwayat buruk dengan PDIP," kata Firman ketika dihubungi.
“Apalagi di dalam pemerintahan ini ada Gibran. Kalau PDIP bergabung ke dalam pemerintahan, itu sama saja seperti memberi pengakuan apa yang dilakukan oleh Gibran, Jokowi, itu sebagai sesuatu yang bisa diterima oleh PDIP,” jelas Firman.
Pemilu 2024 disebut telah membuat PDIP merasakan "tekanan rezim" sehingga kandidat yang mereka usung gagal dan suara mereka dalam pemilu legislatif turun drastis.
Menurutnya, permintaan maaf PDIP soal kader yang "tidak menjunjung tinggi etika, melanggar konstitusi dan demokrasi" hingga sindiran soal "pemimpin otoriter populis" jelas ditujukan kepada Jokowi.
Jokowi sendiri tidak diundang untuk hadir dalam Rakernas V PDIP. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan yang diundang adalah "mereka yang memiliki spirit menjaga demokrasi hukum".
Hitung-hitungan politik PDIP
Setelah memperlihatkan isyarat-isyarat itu, lalu mengapa PDIP belum juga menegaskan sikap politiknya?
Pengamat politik UI Aditya Perdana menilai itu karena PDIP masih ingin menilik untung-rugi dari posisi yang mereka ambil dalam pemerintahan selanjutnya.
Keputusan akhirnya, menurut Aditya, akan sangat bergantung pada seberapa jauh Jokowi dilibatkan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Mereka masih akan melihat seberapa dominan peran Jokowi di pemerintahan Prabowo, dan seberapa jauh akomodasi politik yang bisa ditawarkan oleh Prabowo kepada PDIP," kata Aditya.
Apalagi, hubungan politik Megawati dengan Prabowo dinilai masih tergolong baik meski berbeda kubu.
Sementara itu, Firman Noor mengatakan PDIP akan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan politiknya pada level daerah, terutama menjelang Pilkada 2024.
"Kalau sikap politik mereka diumumkan secara tegas, mereka khawatir itu akan menjadi hambatan politik dalam membangun koalisi di daerah-daerah," ujar Firman.
"Kecenderungannya pada pilkada kali ini, PDIP banyak bergabung dengan Golkar, bahkan juga membangun koalisi dengan Gerindra. Ini juga menjadi bagian perhitungan," tuturnya.
Ketika dihubungi terpisah, kader PDIP Chico Hakim mengatakan bahwa hitung-hitungan politik yang dimaksud oleh Megawati bukan semata soal kursi kekuasaan.
“Tapi juga soal ideologi, bagaimana visi dan misi dari presiden dan wakil presiden terpilih, apakah sesuai dengan visi-misi kami,” kata Chico.
Menurutnya, PDIP juga akan mempertimbangkan bagaimana fungsi kontrol dan penyeimbang akan berjalan di pemerintahan selanjutnya.
Fungsi kontrol dan penyeimbang, dalam pandangannya, bisa dilakukan dari dalam pemerintahan meskipun dia mengakui akan lebih efektif jika dlakukan dari luar pemerintah.
Dia menuturkan bahwa PDIP tidak mau buru-buru menentukan sikap karena "menyadari keputusan kami sangat penting bagi siapa pun yang akan menyusun pemerintahan ke depan".
Chico juga mengatakan bahwa komunikasi politik dengan kubu Prabowo "tidak pernah tertutup".
"Nanti kita lihat saja bagaimana ke depannya, dan seperti yang disampaikan Ibu Megawati, yang jadi fokus hari-hari ini adalah memperkuat barisan menghadapi pilkada serentak," kata Chico.
Seberapa signifikan sikap PDIP?
Sejauh ini, koalisi dari partai-partai pendukung Prabowo-Gibran akan menguasai lebih dari 50% kursi di parlemen.
Koalisi itu terdiri dari Partai Golkar yang meraih 15,29% suara, Gerindra sebanyak 13,22% suara, Partai Amanat Nasional (PAN) sebanyak 7,24% suara, dan Partai Demokrat sebanyak 7,43% suara.
Partai Nasdem (9,66%) dan Partai Kebangkitan Bangsa (10,61%) yang tadinya mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga telah merapatkan barisan ke kubu Prabowo-Gibran.
Itu artinya hanya tersisa dua partai yang belum menentukan sikap. Pertama, PDIP sebagai pemenang pileg dengan suara sah sebesar 16,72% dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan suara sah sebesar 8,42%.
Meski kalah jumlah, Firman Noor mengatakan sikap politik PDIP “tetap penting” dalam mengawasi kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran.
Apalagi, posisi Ketua DPR diprediksi akan kembali diisi oleh Puan Maharani.
“Setidaknya peran oposisi itu tetap ada dan dijalankan, sehingga pemerintah ketika membuat kebijakan itu tidak semudah raja menitahkan perintahnya,” kata Firman. (BBC).