Sistem Demokrasi, Peradilan, dan Keputusan Pengadilan di Indonesia Masih Mabuk

Oleh: Chris Komari - Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA).

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akhirnya membantah adanya putusan pengadilan yang memerintahkan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Hal itu disampaikan Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo menanggapi putusan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait proses Pemilu 2024 yang dikabulkan oleh majelis hakim.

"Tidak mengatakan menunda pemilu ya, tidak, cuma itu bunyi putusannya seperti itu, "menghukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024". Ya itu amar putusannya itu," kilah Zulkifli Atjo saat ditemui di PN Jakarta Pusat, Kamis (3/2/2023).

Keputusan hakim pengadilan, sering ambiguous dan memperkeruh suasana hukum dan politik.

Itu tandanya seorang hakim pengadilan yang belum mumpuni (lack of knowledge and lack of experience) untuk bisa menjadi seorang hakim pengadilan dalam memutuskan satu perkara.

1). Keputusan pengadilan itu memutuskan perkara, semestinya bisa memutuskan satu perkara, once and for all, dengan clarity (jelas) dan decisive (keputusan yang kuat) dan tidak ambiguous, sehingga menciptakan polemik hukum dan politik yang semakin ruwet, mbulet dan jlimet.

2). RUU dan UU yang keluar dari DPR itu juga seharusnya begitu, untuk memutuskan perkara hukum dan politik di masyarakat, once and for all, dengan clarity (jelas), decisive dan  binding (kuat dan mengikat).

Kalau ada keputusan pengadilan (judicial ruling) dan UU baru yang lolos dari DPR yang isinya tidak jelas, ambiguous dan membikin masalah hukum dan politik tambah ruwet, mbulet dan jlimet, itu artinya tidak mampu menjadi hakim pengadilan dan tidak mampu menjadi law makers (anggota legislative).

Banyak orang yang mengklaim sebagai ahli hukum, ahli konstitusi, tetapi tidak mengerti hukum dan konstitusi. 

Banyak orang yang ngoceh sana sini mengklaim sebagai ahli demokrasi, tetapi 11 pilar demokrasi dan 13 asas demokrasi tidak tahu.

Mana ada keputusan pengadilan (judicial ruling) yang boleh menabrak dan melanggar Konstitusi UUD 1945?

Bukankah PEMILU itu diwajibkan dilakukan sekali dalam 5 tahun, pasal 22E, ayat 1, UUD 1945.

Pasal Konstitusi UUD 1945 itu tidak boleh dikudeta oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi oleh hakim PN Jakarta.

Yang ngaco dan tidak mengerti hirarki hukum dan konstitusi itu jelas hakim PN Jakarta.

Keputusan hukum (judicial ruling) hakim PN Jakarta dalam memutuskan perkara gugatan partai PRIMA terhadap keputusan KPU pusat bersifat ambiguous, tidak jelas (lack of clarity) dan tidak mematuhi hirarki hukum, sehingga menimbulkan suasana politik dan hukum dalam masyarakat menjadi semakin ruwet, mbulet dan jlimet.

Itu contoh judicial ruling yang buruk, tidak profesional dan mabuk.

Banyak anggota DPR yang bikin RUU baru dan meloloskan ratusan UU yang tidak mengikuti  hirarki hukum dan konstitusi, karena banyak UU baru itu dimana isinya mengkudeta hak dan kedaulatan rakyat yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.

Di bawah ini beberapa contoh saja:

1). Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat, BAB I, Pasal 1, ayat 2, UUD 1945.

2). Tetapi hak dan kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia itu dikudeta oleh banyak UU yang dibuat oleh anggota DPR sendiri, seperti:

- UU MD3 yang memberikan hak pergantian antar waktu anggota DPR kepada petinggi partai politik.

- UU PEMILU nomor 7 tahun 2017, pasal 222, yang memberikan kekuasaan dan monopoly bursa capres kepada partai politik dan gabungan partai politik yang memiliki 20% kursi di DPR.

Kedaulatan tertinggi rakyat dikudeta dan pindah tangan, dari tangan rakyat beralih atau berpindah tangan ke petinggi partai politik dengan proses dan mekanisme politik dan produk hukum berupa UU yang dibuat oleh kader-kader partai politik di DPR.

Inilah kadalisasi demokrasi di Indonesia yang berubah menjadi partai-krasi.

Di Indonesia juga masih belum ada standar dan hirarki hukum untuk mengukur keputusan pengadilan (judicial ruling) dan untuk mengukur RUU yang lolos dari DPR itu konstitusional atau tidak.

✓ Ini sebenarnya tugas dari para ahli hukum, ahli konstitusi dan dunia akademik untuk bisa mengoreksi judicial ruling dari hakim pengadilan yang salah dan juga RUU yang lolos di DPR, tetapi inkonstitusionil.

✓ Tidak mungkin semua itu diremedy, diputuskan dan diselesaikan hanya di Mahkamah Konstitusi (MK).

✓ Kalau hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan pengadilan (judicial ruling) yang salah dan inkonstitusionil, bagaimana?

✓ Siapa yg mengoreksi kesalahan hakim Mahkamah Konstitusi (MK)?

✓ Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Banyak keputusan pengadilan (judicial rulings) dan ratusan RUU yang lolos DPR isinya yang inkonstitusional dan tidak demokratis karena menabrak UUD 1945 dan sekaligus mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.

Parahnya lagi, banyak hakim di pengadilan termasuk hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak patuh terhadap hirarki hukum, tidak patuh terhadap konstitusi, tidak mampu menegakkan hukum dan tidak mampu melindungi kedaulatan tertinggi rakyat yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945.

Sehingga mencari keadilan di Indonesia sangat sulit karena sistem judiciary di Indonesia mirip sinetron dan Srimulat.

Belum lagi setiap kasus harus minta BAP dari kepolisian dan banyak oknum-oknum polisi yang korup, model Ferdy Sambo dan gengster-gengster lainya di Polri, Propam, Mabes Polri dan Bareskrim.

Sudah bukan rahasia lagi, para polisi dan hakim di pengadilan mudah dibeli, mudah disogok, korup,  tidak memiliki etika hukum dan sering membuat keputusan pengadilan (judicial ruling) yang tidak mematuhi hirarki hukum , selalu berubah-ubah, mudah dipengaruhi oleh penguasa dan suka bermain politik dalam membuat keputusan hukum.

Ada istilah yang sangat menghina jiwa dan budaya bangsa Indonesia, yang disebut UUD (ujung-ujungnya duit).

Semua perkara politik, hukum dan kriminal di Indonesia yang menjadi orientasi adalah UUD (ujung-ujungnya duit).

Judicial system di Indonesia masih parah, bahkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saja terkesan:

1). Takut berdebat dengan penggugat, atau lawyers yang mewakili penggugat.

2). Tidak ada direct interchange (perdebatan langsung) dalam sistem dan proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi (MK), hakim MK terkesan diktator dan memiliki jiwa penjajah, merasa paling superior.

3). Tidak ada badan atau lembaga negara yang bisa menegakkan hirarki hukum, melindungi Konstitusi dan menghormati kedaulatan tertinggi rakyat.

Sehingga kedaulatan tertinggi rakyat hanya tulisan di dalam konstitusi, tidak ada mekanisme dan implementasi dari kedaulatan tertinggi rakyat itu secara real, nyata dan kongkrit.

Banyak masalah yang digugat dalam proses dan sistem pengadilan, khususnya di Mahkamah Konstitusi (MK) yang sulit untuk bisa digali dan diperdebatkan secara luas, dalam dan komprehensif dalam proses judicial system di tanah air.

Beda dengan sistem dan proses persidangan seperti di US Supreme Court, dimana sesama anggota hakim Supreme Court bisa saling berdebat dan berargumentasi di depan para penggugat dan lawyers yang mewakili penggugat dalam menggelar perkara yang menyangkut hak, wewenang dan kedaulatan yang dijamin oleh konstitusi.

Itulah mengapa para aktifis Forum Tanah Air (FTA) di seluruh dunia, baik didalam negeri maupun yang berada diluar negeri, merumuskan 10 tuntutan perubahan politik dan ekonomi dalam manifesto politik FTA (MPFTA) agar status quo (kenyamanan dalam kebobrokan) ini bisa segera diakhiri once and for all. (*)

560

Related Post